Thursday, 28 August 2014

REFORMASI BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE “PERAN BIROKRASI DAN POLITISI”



REFORMASI BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE
“PERAN BIROKRASI DAN POLITISI”

Pendahuluan
Terselenggaranya kepemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance) telah lama menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Konsep governance dalam clean and good governance banyak masyarakat merancukan dengan konsep government. Konsep governance lebih inklusif dari pada government. Konsep government menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Konsep governance tidak sekedar melibatkan pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie Rochman, 2000: 141). Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif (Ganie Rochman, 2000: 141), Pinto dalam Nisjar (1997 : 119) mengatakan bahwa governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi khususnya. United Nations Development Programme (UNDP)  (1997;9) mengemukakan “ governance is defined as the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affairs”. Kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan adminstratif untuk memanage urusan-urusan bangsa. Lebih lanjut, UNDP menegaskan “it is the complex mechanisms, process, relationships and institutions through which citizens and group articulate their interest, exercise their rights and obligations and mediate their differences” Pemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks sebagai jalan bagi warga negara (citizens) dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka. Pengertian governance yang dikemukakan oleh UNDP ini, menurut Lembaga Adminstrasi Negara (2000 : 5) mempunyai tiga kaki yaitu economic, politic, dan administrative. Economic governance includes processes of decision – making that directly or indirectly affect a country’s economic activities or its relationship with other economics. Economic governance mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya baik secara langsung atau tidak langsung. Karena itu economic governance memiliki pengaruh atau implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance refer to decision making and policy implementation of a legitimate and authoritative state. Political governance merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara yang legitimate dan authoritative. Berkaitan  dengan sistem kepemerintahan UNDP (1997 : 10) mengemukakan bahwa “ Systemic governance encompasses the processes and structures of society that guide political and socio economic relationship to protect cultural and religious belieft and value, and to create and maintain an environment of health, freedom, security and with the opportunity to exercise personal capabilities that lead to a better life for all people”. Sistem kepemerintahan mencakup proses dan struktur masyarakat yang mengarahkan hubungan-hubungan sosio ekonomi dan politik untuk melindungi budaya, keyakinan agama, dan nilai-nilai serta menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang sehat, bebas, aman dan memberi kesempatan melatih kapabilitas tiap individu yang mengarah pada suatu kehidupan yang lebih baik bagi setiap manusia. Unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan kepemerintahan menurut UNDP terdiri atas tiga macam, yaitu the state, the private sector, dan civil society oraginzations.
Reformasi birokrasi dalam paparan ini dilakukan dalam konteks reformasi administrasi negara, sejauh mana reformasi birokrasi selama ini menyentuh aspek-aspek budaya birokrasi dalam transformasi struktural pembangunan Indonesia. Ada 3 (tiga) hal yang menjadi landasan dalam pembahasan makalah ini. Pertama, budaya birokrasi menduduki posisi strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh sebab itu secara normatif, elemen kultur birokrasi mewarnai perkembangan birokrasi dalam setiap periode pembangunan. Kedua, struktur birokrasi telah menjadi acuan dalam tahapan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan. Perubahan struktural yang telah terjadi, suatu akselerasi transisional dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Birokrasi sebagai strategic instrumental tidak semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan birokrasi harus mampu mengemban tugas melaksanakan pembangunan sumber daya manusia. Secara faktuai birokrasi harus berakar (embedded) di ruang lingkup sosio kultural, yang dapat mempengaruhi kultur birokrasi dalam dinamika struktur dan sistem dalam birokrasi. Ketiga, birokrasi yang demikian mencerminkan interaksi antara faktor nilai (value) dan faktor faktual. Reformasi birokrasi tidak lain merupakan sebuah proses memanipulasi nilai menjadi determinan struktural prosedural yang dapat menjangkau aspek kultural dan struktural. Dalam kerangka mendiagnosis orientasi pembangunan dewasa ini, reformasi birokrasi harus mampu menunjukkan tingkat ketepatan mengidentifikasi nilai dalam determinan birokrasi, yang akan memberikan dan menghasilkan terapi yang akurat dalam menentukan sosok reformasi birokrasi di berbagai elemen birokrasi di Indonesia.

Budaya Birokrasi
Pemahaman budaya birokrasi tidak lepas keterkaitannya dengan                pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oieh Weber. Thoha, dalam Ridjal dan Karim, ed, (1991) mengatakan bahwa budaya birokrasi merupakan suatu budaya yang mengatur dirinya dengan cara-cara hirarkis, impersonal, rasional, yurisdiktif legalistik, dan meritokrasi. Budaya birokrasi dalam space yang diformulasikan Weber bersifat hirarkhis yang menginginkan kerja yang cepat dan rasional, Sifat impersonal memberikan penekanan pada cara kerja yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi, Sifat yuridiktif legalistik, bahwa budaya birokrasi dibatasi oleh ketentuan hukum. Meritokrasi merupakan budaya birokrasi yang mendasarkan dirinya dalam proses rekrutmen melalui ketentuan keahlian teknis, bukan didasarkan patronase sistem. Budaya birokrasi yang diformulasikan oieh Weber merupakan ideal type yang dapat diwujudkan dalam pemerintahan, tetapi dalam realitasnya ideal type bureaucracy selalu berbenturan dengan sistem nilai dari budaya setiap masyarakat. Hummel (1977) birokrasi sebagai new culture yaitu: The conflict between bureaucracy and society is between systems needs and human needs, atau dengan istilah norms of bureau- cratic life dan norms of social life. Birokrasi di Indonesia adalah birokrasi yang berkembang terkait dengan sistem norma, sistem nilai, dan sistem budaya yang mewarnai dalam birokrasi itu sendiri. Hummel (1977) mengatakan bahwa: "CuIture is the pattern of norms and behaviors that have proved adaptive in keeping society and its members alive in the past. These patterns are frozen into standards to keep society and its members alive in the present and future. ..., the purpose of culture is to keep the bureaucracy alive.
 Hummel (1977) menandaskan bahwa sistem nilai dalam budaya birokrasi cenderung untuk melanggengkan budaya birokrasi yang telah berlangsung pada masa lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Budaya birokrasi Hummel (1977), memiliki sinkronisasi budaya birokrasi Indonesia, terutama budaya birokrasi yang bersumber pada sistem nilai konsep kekuasaan Jawa. Pemerintahan Orde Lama menempatkan pembangunan politik mendominasi pemikiran para pemimpin dan birokrasi pada saat itu. Pembangunan politik sebagai nation building membentuk suatu bangsa atas kesamaan pandangan hidup. Tugas utama para pemimpin dan birokrat adalah mentransformasikan kultur parochial menuju terbentuknya identitas nasional.Terdapat pergeseran budaya birokrasi dari solidarity maker type bureaucracy menuju kepada Weberian type bureaucracy yang mendasarkan diri pada prinsip rasionalitas, certainity, dan efisiensi. Namun demikian dalam perjalannya nilai-nilai Weberian tidak nampak dalam budaya birokrasi Orde Baru. Dengan kata lain kecenderungan persistence lebih mendominasi daripada transformasi. Budaya birokrasi telah berinteraksi dengan sistem nilai, dalam rezim Orde Baru dengan segala bentuk perpolitikannya menempatkan budaya birokrasi sebagai suatu keharusan (unevitable). Oleh sebab itu melalui budaya birokrasi yang menekankan nilai-nilai kompetisi, meritokrasi, dan demokratisasi, lebih utama daripada membangun jaringan-jaringan patrimonial dan patron-client relationship. Budaya birokrasi sebagaimana tersebut di atas terkait erat dengan konsep budaya itu sendiri yang terintegrasi dalam sistem nilai atau disebut juga sebagai norm of social life. Sebagai suatu sistem nilai yang terikat di dalamnya, dianalisis meliputi. Pertama, budaya birokrasi yang dipandang sebagai suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, oleh sebab itu budaya birokrasi yang perlu diketengahkan adalah budaya politik, karena antara budaya politik dan birokrasi memiliki sumber yang sama, yaitu norm of social life. Kedua, konsep kekuasaan Jawa merupakan bagian dari norm of social life sebagai high context culture yang dipandang sebagai budaya birokrasi melalui konsepsi kekuasaan Jawa. Konsepsi kekuasaan Jawa ini didasarkan atas pandangan Anderson dan Noedjianto, yang kemudian melahirkan budaya birokrasi patrimonial dan budaya birokrasi patron-client relationship. Ketiga, birokrasi patrimonial bagian dari norm of social life yang dipandang sebagai budaya birokrasi patrimonial berdasarkan pemahaman sejarah; yaitu: patrimonialisme tradisional, dan patrimonialisme Orde Baru. Keempat, birokrasi patron-client relationship merupakan bagian dari norm of social life yang dipandang sebagai budaya birokrasi patron-client relationship berdasarkan konsepsi patron-client relationship yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa. Beberapa analisis yang dipergunakan bahwa model-model kepolitikan pemerintahan Orde Baru yang secara esensial memiliki pararellisasi. Seperti: bureaucratic polity neo patrimonial regime, bureaucratic authoritarian regime, bureaucratic capitalist state, beamtenstaat, technocratic state, repressive developmentalist regime, personal rule. Model perpolitikan birokrasi ini menempatkan posisi pemerintah sangat central, sangat kuat dalam mengendalikan pemerintahan. Birokrasi yang seharusnya netral menjadi alat dalam pemerintahan.

Birokrasi dan Perubahan Struktural
Struktur birokrasi telah menjadi acuan dalam tahapan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan. Perubahan struktural yang telah terjadi, menjadi suatu akselerasi transisional dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Birokrasi sebagai postulat wahana yang menentukan efektifitas pembangunan, secara instrumental diorientasikan bagi pencapaian tujuan tersebut, maka diperlukan suatu upaya untuk mentransformasikan pada tingkatan struktural. Loncatan struktural dari masyarakat agraris menuju industri merupakan hasil dari policy adjustment. Kebijakan policy adjustment yang responsif di Indonesia telah membuahkan hasil dalam menanggulangi dampak krisis ekonomi global tahun 1980-1990, yaitu; harga minyak yang mengalami penurunan, kondisi ekonomi yang stagnan, dan pergeseran mata uang dolar Amerika ke mata uang Yen dan Deutsche Mark, mendorong krisis ekonomi menyebar ke segala penjuru negara. Policy adjustment yang diterapkan mampu melepaskan ketergantungan minyak dan mendorang akselerasi perubahan struktur ekonomi. Beberapa kebijakan yang diterapkan berkaitan dengan policy adjustment diantaranya; (1) devisa mengambang, (2) devaluasi, reformasi perpajakan,      (3) reformasi perdagangan, (4) reformasi perijinan, (5) deregulasi dan debirokratisasi, (6) ekspor non migas, (7) debt management yang sehat, (8) penataan kembali proyek-proyek besar. Kebijakan yang diterapkan mendorong Indonesia telah melampui titik terendah, dan mencapai economic recovery, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 7,4% pada tahun 1990, untuk sector non migas tumbuh 7,9%, sektor industri mengalami peningkatan yang ditentukan oleh UNIDO (20%), yaitu 21,3% pada tahun 1991. Demikian juga membawa dampak terhadap penurunan angka kemiskinan yaitu menjadi 25 juta (15%) di tahun 1992. Kinerja pembangunan seperti yang tergambarkan di atas telah mengindikasikan bahwa birokrasi atau reformasi birokrasi akan menentukan kinerja pembangunan menjadi lebih baik, dengan kata lain bahwa reformasi secara       terus-menerus untuk meningkatkan kinerja merupakan suatu keharusan yang dilakukan. Namun demikian pada perkembangannya pertumbuhan ekonomi lndonesia mengalami fiuktuasi. Pada tahun 1996: 7,82%; tahun 1997: 4,7%; tahun 1998: -13,1%; tahun 1999: 0,79%; tahun 2000: 4,8%; tahun 2001: 3,6%; tahun 2002: 4,5%; tahun 2003: 4,8%; tahun 2007: 6,3% (Kompas, 30 April 2007, 15 Desember 2008), dan pada tahun 2011 mengalami kenaikan;pada triwulan I 2011: > 6%; triwulan II 2011: 6,5%; triwulan III 2011=6,5%. (BPS Tahun 2011).sedangkan di sektor industri yang terjadi adalah penurunan industri (deindustrialisasi), para pengusaha banyak mengalihkan usahanya pada negara lain yang memiliki nilai yang kompetitif. Demikian juga pertambahan jumlah penduduk miskin dan pengangguran mengalami peningkatan.

Hambatan Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi harus merefleksikan sebuah nilai yang menjadi dasar dalam melakukan reformasi, nilai-nilai itu harus mampu merombak apa yang selama  ini menjadi hambatan dalam birokrasi, diantaranya: (1) birokrasi yang formalism, nepotism and coruption (KKN); (2) intervensi birokrasi politik terhadap birokrasi pemerintahan;           (3) orientasi kekuasaan (powership) bukan pada pelayanan publik; (4) sentralisasi pemerintahan bukan desentralisasi; (5) berorientasi pada produk (output) bukan pada manfaat dan dampak kesejahteraan rakyat; (benefit and infact); (6) cenderung untuk kepentingan birokrasi (kawan, partai dan golongan) bukan kepentingan publik; (7) organisasi yang besar dan birokratis tidak ramping dan prefesional, fungsional dan proporsional; (8) inefensiensi/pemborosan sumber daya organisasi dan birokrasi pemerintahan, dan sebagainya. Birokrasi yang demikian harus mencerminkan interaksi antara faktor nilai (value) dan faktor faktual. Oleh karena reformasi birokrasi tidak lain merupakan sebuah proses memanipulasi nilai menjadi determinan struktural prosedural yang dapat menjangkau aspek kultural dan struktural menjadi lebih baik dan berorientasi kepada masyarakat.
Politik dan birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Kehadiran politik dalam  birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perlu diikuti dengan kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam birokrasi pemerintah tidak mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberikan kesempatan hadirnya institusi politik. Rancang bangun penghuni birokrasi pemerintah akan dijumpai hadirnya jabatan birokrasi-birokrasi karier dan jabatan-jabatan politik. bangunan jabatan-jabatan tersebut tidak hanya terjadi di institusi pemerintah pusat tetapi melainkan terdapat pula institusi pemerintah lokal atau daerah.  
Lembaga rakyat merupakan tempat beraktivitasnya kegiatan politik. Di dalam lembaga rakyat itu hidup subur partai politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dalam tatanan civil society. Partai politik itu sendiri adalah jalan yang harus dilewati oleh jabatan politik dalam lembaga pemerintahan. Partai politik merupakan bentuk transformasi dari lembaga rakyat dan harus diikuti oleh kualitas partai politik yang lebih baik, sehingga iklim dan suasana demokrasi akan berkembang dengan baik. Jika demokrasi berjalan dengan baik yang dimulai dari tatanan kehidupan berpartai tersebut, maka masyarakat madani (civil society) akan bisa segera  diwujudkan melalui reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan bentuk ikut sertanya para politisi yang duduk di lembaga rakyat walaupun belum secara maksimal, jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita, maka kondisi perubahan sistem politik antara pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan Reformasi hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku Orde Baru yang mayoritas tunggal menjadi sikap demokratis yang multi partai. Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan dibedakan akses politik dalam birokrasi pemerintah. Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Reformasi birokrasi yang sedang dilakukan di Indonesia telah memiliki fondasi yang kuat melalui; (1) Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. (2) Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Dalam implementasinya tahun 2010 ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan Reformasi Birokrasi Instansi (RBI), saat ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI. Untuk meningkatkan koordinasi, telah ditempuh berbagai langkah-langkah kebijakan, melalui; (1) Keppres Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, kemudian yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010, (2) Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menpan dan RB Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance). Kebijakan terkait Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bentuk political will atau andil dari politisi dalam mendukung percepatan reformasi birokrasi, substansinya diantaranya akan mengurangi peran politisi termasuk para menteri dalam birokrasi, dengan demikian nantinya tidak terjadi bias politik dalam manajemen kepegawaian terutama dalam rekrutmen dan promosi jabatan. Dalam manajemen kepegawaian diperlukan adanya kontrol dalam hal ini akan dilakukan oleh Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), KASN akan memastikan bahwa promosi jabatan akan berjalan sesuai sistem merit, sistem rekrutmen, dan promosi terhindar dari KKN serta politisasi.
Dengan demikian nilai reformasi yang ditanamkan sudah berjalan pada koridor yang benar, tetapi berjalan sangat lambat dan justru terjerembab pada persoalan-persoalan yang dalam, baik di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang terbelit kasus korupsi. Secara faktual kalangan legislatif yang terlibat kasus suap cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 melibatkan 24 anggota DPR, kasus suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, dan kasus proyek kompleks olahraga terpadu di Hambalang Bogor. Beberapa kasus korupsi tersebut melibatkan banyak politisi di Senayan (DPR) di DPRD, yaitu dengan mengeruk anggaran dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan modus mendapatkan fee di Badan Anggaran DPR di dalam pembahasan suatu proyek. Di DPR daerah pun juga demikian, dengan menitipkan anggaran pada dinas-dinas terkait. Eksekutif perilakunya juga sama saja dengan legislatif, baik di pusat dan daerah. Banyak menteri dan mantan menteri, serta dirjen yang terindikasi korupsi. Kepala daerah (bupati/wali kota, dan gubernur) yang terindikasi korupsi sebanyak 213 orang dari total 495 kepala daerah tersangkut persoalan korupsi, berarti ada 43% kepala daerah yang bermasalah dengan korupsi. Oleh sebab itu reformasi bisa dikatakan tidak berjalan secara kelembagaan, karena tidak ada satupun kementerian termasuk Pemerintah Daerah yang terbebas dari kasus korupsi. Dikalangan yudikatif juga sama dengan eksekutif, dan legislatif mereka juga terlibat korupsi. Lembaga penegakan hukum yang seharusnya bersih ternyata juga berada pada lingkaran korupsi, baik di kepolisian, kejaksaan, hakim, dan para pengacara beramai-ramai melakukan korupsi. Korupsi merupakan sebuah dampak bahwa reformasi tidak berjalan pada rel yang sebenarnya, hal ini ditandai dengan penggelembungan birokrasi di tingkat pusat, yaitu jumlah kementrian yang lebih dari 30, serta penambahan sejumlah wakil menteri, yang seharusnya tidak perlu karena tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi. Pada tingkat daerah bahkan ada dinas di kabupaten yang jumlahnya 35 dinas, jelas ini merupakan pemborosan yang bertentangan dengan reformasi birokrasi. Kepala daerah hanya mengakomodasi kepentingan para elit-elit politik lokal. Dengan kata lain; "Birokrasi buruk karena selama ini selalu berada dalam subordinasi politik. Akibatnya, sebagai sebuah entitas, birokrasi sangat sulit untuk profesional, netral, dan melayani kepentingan rakyat ' (Kompas, 24 Juli 2012).

Kesimpulan
Berdasarkan atas analisis tersebut di atas, ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian, yaitu; (1) Kebijakan reformasi birokrasi dan perubahan struktural di Indonesia tidak secara otomatis dapat menciptakan budaya birokrasi yang kondusif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (2) Reformasi birokrasi indonesia menunjukkan adanya pasang surut yang mengalami fluktuasi, dan kalau ditarik dalam bentuk garis batas ambang reformasi birokrasi (threshold line of bureaucratic reform), Indonesia pernah berada sedikit di atas garis, dan berada jatuh di bawah garis reformasi birokrasi. Kondisi yang ada sekarang adalah tetap posisi pada threshold line of bureaucratic reform. ' (3) Reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan harus mencakup berbagai dimensi kehidupan dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan di negeri ini, terutama persoalan pelayanan publik (public services).
            Reformasi birokrasi harus mendapat dukungan dari seluruh stake holder yaitu the state, the private sector, dan civil society organizations sehingga dapat mencapai tujuan good governance. UNDP sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (2000;7) mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut:
1.        Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti itu, dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2.        Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk Hak Azasi Manusia (HAM).
3.        Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.        Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholder.
5.        Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih  luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6.        Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.        Effectiveness dan efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8.        Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung kepada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.        Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan, sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.

Dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), pemerintah harus memiliki perilaku bertanggungjawab, sekaligus menciptakan mekanisme akuntabilitas maupun struktur kelembagaan bagi berkembangnya partisipasi masyarakat (Nisjar, 1997 ;124). Paradigma kepemerintahan yang baik menuntut pejabat publik (politisi dan birokrasi publik) harus bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku, dan kebijakannya kepada publik. Dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pertanggungjawaban para pemegang kekuasaan kepada yang memberi kekuasaan, disamping agar rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka, sekaligus rakyat dapat melakukan kontrol atas apa yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan tersebut. Dalam setiap pembuatan kebijakan publik, substansi dari kebijakan publik tadi harus berpihak pada kepentingan publik. Dengan demikian, maka pemerintahan yang demokratis dapat disimpulkan sebagai pemerintahan (politisi dan birokrasi publik) yang dalam proses maupun hasil keputusan benar-benar mencerminkan atau mewakili kepentingan, aspirasi dan keinginan rakyat yang diwakilinya.






















DAFTAR PUSTAKA
Amitai, Etziomi, 1964, Modern Organization, Englewood Clifst, Prentice Hall New Jersey.
Caiden, Gerald, E, 1982, Public Administratio, Edisi ke 2, Californian Pilisades Oublisher.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Cetakan I, Thafa Media, Dua Satria Offset, Yogyakarta.
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Cetakan 9, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Weber, Max, 1947, The Teory of Social and Economis.
Widodo, Joko, 2005Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Cetakan 1, Malang: Bayumedia Publishing.









No comments:

Post a Comment