REFORMASI
BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE
“PERAN BIROKRASI DAN POLITISI”
Pendahuluan
Terselenggaranya kepemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance) telah lama
menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Konsep governance dalam clean and
good governance banyak masyarakat merancukan dengan konsep government. Konsep governance lebih inklusif dari pada government. Konsep government menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan
berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Konsep governance tidak sekedar melibatkan
pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan
negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie Rochman,
2000: 141). Governance adalah
mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh
sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif (Ganie
Rochman, 2000: 141), Pinto dalam Nisjar (1997 : 119) mengatakan bahwa governance adalah praktek penyelenggaraan
kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan
secara umum dan pembangunan ekonomi khususnya. United Nations Development Programme (UNDP) (1997;9) mengemukakan “ governance is defined as the exercise of political, economic, and
administrative authority to manage a nation’s affairs”. Kepemerintahan
diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan adminstratif
untuk memanage urusan-urusan bangsa. Lebih lanjut, UNDP menegaskan “it is the complex mechanisms, process,
relationships and institutions through which citizens and group articulate
their interest, exercise their rights and obligations and mediate their
differences” Pemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan
hubungan yang kompleks sebagai jalan bagi warga negara (citizens) dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya,
melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan
di antara mereka. Pengertian governance
yang dikemukakan oleh UNDP ini, menurut Lembaga Adminstrasi Negara (2000 : 5)
mempunyai tiga kaki yaitu economic,
politic, dan administrative. Economic governance includes processes of
decision – making that directly or indirectly affect a country’s economic
activities or its relationship with other economics. Economic governance mencakup proses
pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi negara atau berhubungan
dengan ekonomi lainnya baik secara langsung atau tidak langsung. Karena itu economic governance memiliki pengaruh atau
implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance refer to decision making and policy implementation
of a legitimate and authoritative state. Political governance merujuk pada
proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara yang legitimate dan authoritative. Berkaitan dengan sistem kepemerintahan UNDP (1997 : 10)
mengemukakan bahwa “ Systemic governance
encompasses the processes and structures of society that guide political and
socio economic relationship to protect cultural and religious belieft and
value, and to create and maintain an environment of health, freedom, security
and with the opportunity to exercise personal capabilities that lead to a
better life for all people”. Sistem kepemerintahan mencakup proses dan
struktur masyarakat yang mengarahkan hubungan-hubungan sosio ekonomi dan
politik untuk melindungi budaya, keyakinan agama, dan nilai-nilai serta
menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang sehat, bebas, aman dan memberi
kesempatan melatih kapabilitas tiap individu yang mengarah pada suatu kehidupan
yang lebih baik bagi setiap manusia. Unsur utama yang dilibatkan dalam
penyelenggaraan kepemerintahan menurut UNDP terdiri atas tiga macam, yaitu the state, the private sector, dan civil society oraginzations.
Reformasi birokrasi dalam
paparan ini dilakukan
dalam konteks reformasi
administrasi negara, sejauh mana reformasi birokrasi
selama ini menyentuh aspek-aspek budaya birokrasi
dalam transformasi struktural pembangunan Indonesia. Ada 3 (tiga) hal yang menjadi landasan dalam pembahasan makalah ini. Pertama, budaya
birokrasi menduduki posisi
strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan
nasional. Oleh
sebab itu secara normatif, elemen kultur birokrasi mewarnai perkembangan birokrasi dalam setiap periode pembangunan.
Kedua, struktur birokrasi telah menjadi acuan
dalam tahapan untuk mewujudkan
cita-cita pembangunan. Perubahan struktural
yang telah terjadi, suatu akselerasi transisional dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri. Birokrasi sebagai strategic instrumental tidak semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan birokrasi harus mampu mengemban tugas melaksanakan
pembangunan sumber daya manusia. Secara faktuai birokrasi harus berakar (embedded) di ruang lingkup
sosio kultural,
yang dapat mempengaruhi kultur birokrasi dalam dinamika
struktur dan sistem
dalam birokrasi. Ketiga, birokrasi
yang demikian mencerminkan interaksi antara faktor
nilai (value) dan faktor faktual.
Reformasi birokrasi tidak
lain merupakan sebuah proses memanipulasi nilai menjadi determinan struktural prosedural yang dapat menjangkau aspek kultural dan
struktural. Dalam kerangka
mendiagnosis orientasi pembangunan dewasa ini, reformasi birokrasi harus mampu menunjukkan tingkat ketepatan
mengidentifikasi nilai dalam
determinan birokrasi, yang akan memberikan dan menghasilkan
terapi yang akurat dalam menentukan sosok
reformasi birokrasi di berbagai elemen
birokrasi di Indonesia.
Budaya
Birokrasi
Pemahaman budaya
birokrasi tidak lepas
keterkaitannya dengan pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan oieh Weber. Thoha,
dalam Ridjal dan Karim, ed, (1991)
mengatakan bahwa budaya birokrasi merupakan suatu
budaya yang mengatur dirinya dengan cara-cara hirarkis,
impersonal, rasional, yurisdiktif legalistik,
dan meritokrasi. Budaya birokrasi dalam space yang diformulasikan Weber bersifat
hirarkhis yang menginginkan kerja yang cepat dan rasional, Sifat impersonal memberikan penekanan pada cara kerja
yang tidak didasarkan atas
hubungan pribadi, Sifat yuridiktif
legalistik, bahwa
budaya birokrasi dibatasi oleh ketentuan hukum.
Meritokrasi merupakan budaya birokrasi yang mendasarkan
dirinya dalam proses rekrutmen melalui ketentuan
keahlian teknis, bukan didasarkan patronase sistem. Budaya birokrasi yang
diformulasikan oieh Weber
merupakan ideal type yang dapat diwujudkan dalam
pemerintahan, tetapi dalam realitasnya
ideal type
bureaucracy selalu berbenturan dengan sistem nilai
dari budaya setiap masyarakat. Hummel (1977) birokrasi
sebagai new culture yaitu: The conflict between bureaucracy and society is between
systems needs and human
needs, atau dengan istilah norms of bureau- cratic
life
dan norms of social life. Birokrasi
di Indonesia adalah birokrasi
yang berkembang terkait dengan sistem
norma, sistem nilai, dan sistem budaya yang mewarnai
dalam birokrasi itu sendiri. Hummel (1977) mengatakan
bahwa: "CuIture is the pattern of norms and
behaviors that have proved adaptive in keeping society
and its members alive in the past. These patterns are frozen into standards to
keep society and its members
alive in the present and future. ..., the purpose of culture is to keep the
bureaucracy alive’.
Hummel (1977)
menandaskan bahwa sistem nilai dalam budaya birokrasi cenderung
untuk melanggengkan budaya birokrasi yang telah berlangsung pada masa lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Budaya birokrasi Hummel (1977),
memiliki sinkronisasi budaya birokrasi Indonesia, terutama budaya birokrasi yang bersumber pada sistem
nilai konsep kekuasaan Jawa. Pemerintahan Orde Lama menempatkan
pembangunan politik mendominasi pemikiran para pemimpin dan birokrasi pada saat itu. Pembangunan
politik sebagai nation building
membentuk suatu bangsa atas kesamaan pandangan
hidup. Tugas utama para pemimpin dan birokrat adalah mentransformasikan
kultur parochial menuju terbentuknya identitas
nasional.Terdapat pergeseran budaya birokrasi dari solidarity maker type
bureaucracy menuju kepada Weberian type
bureaucracy yang mendasarkan
diri pada prinsip rasionalitas, certainity, dan
efisiensi. Namun demikian
dalam perjalannya nilai-nilai Weberian
tidak nampak dalam budaya birokrasi Orde Baru.
Dengan kata lain
kecenderungan persistence lebih mendominasi
daripada transformasi. Budaya birokrasi telah
berinteraksi dengan sistem nilai, dalam rezim Orde Baru
dengan segala bentuk perpolitikannya menempatkan budaya birokrasi sebagai suatu
keharusan (unevitable). Oleh sebab
itu melalui budaya birokrasi yang menekankan
nilai-nilai kompetisi, meritokrasi, dan demokratisasi,
lebih utama daripada membangun jaringan-jaringan patrimonial dan patron-client
relationship. Budaya
birokrasi sebagaimana tersebut di atas terkait
erat dengan konsep budaya itu sendiri yang terintegrasi
dalam sistem nilai atau disebut juga sebagai norm of social
life.
Sebagai suatu sistem nilai yang
terikat di dalamnya, dianalisis meliputi. Pertama, budaya birokrasi yang dipandang sebagai
suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat,
oleh sebab itu budaya birokrasi yang perlu diketengahkan adalah budaya politik, karena antara
budaya politik dan birokrasi
memiliki sumber yang sama, yaitu norm of social life.
Kedua, konsep kekuasaan Jawa merupakan bagian
dari norm of social life sebagai high context culture yang dipandang sebagai budaya birokrasi
melalui konsepsi kekuasaan Jawa. Konsepsi
kekuasaan Jawa ini didasarkan
atas pandangan Anderson dan Noedjianto, yang
kemudian melahirkan budaya birokrasi patrimonial dan
budaya birokrasi patron-client
relationship. Ketiga, birokrasi
patrimonial bagian dari norm of social life
yang dipandang sebagai budaya birokrasi patrimonial
berdasarkan pemahaman sejarah; yaitu: patrimonialisme tradisional, dan patrimonialisme Orde
Baru. Keempat, birokrasi patron-client relationship merupakan
bagian dari norm
of social life yang dipandang sebagai budaya birokrasi patron-client relationship
berdasarkan konsepsi patron-client relationship
yang berkembang di Indonesia, khususnya
di Jawa. Beberapa analisis yang dipergunakan
bahwa model-model kepolitikan pemerintahan
Orde Baru yang secara
esensial memiliki pararellisasi. Seperti: bureaucratic
polity neo patrimonial regime, bureaucratic authoritarian
regime, bureaucratic capitalist state, beamtenstaat, technocratic state,
repressive developmentalist regime,
personal rule. Model perpolitikan birokrasi ini menempatkan posisi pemerintah sangat central,
sangat kuat dalam mengendalikan pemerintahan.
Birokrasi yang seharusnya
netral menjadi alat dalam pemerintahan.
Birokrasi
dan Perubahan Struktural
Struktur birokrasi
telah menjadi acuan dalam tahapan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan.
Perubahan struktural yang telah terjadi, menjadi suatu akselerasi transisional dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri. Birokrasi
sebagai postulat wahana yang menentukan efektifitas pembangunan, secara
instrumental diorientasikan bagi pencapaian tujuan tersebut, maka diperlukan suatu upaya untuk mentransformasikan
pada tingkatan struktural.
Loncatan struktural dari masyarakat agraris menuju
industri merupakan hasil dari policy adjustment. Kebijakan policy adjustment yang responsif di Indonesia telah membuahkan hasil dalam
menanggulangi dampak krisis
ekonomi global tahun 1980-1990, yaitu; harga minyak yang mengalami penurunan,
kondisi ekonomi yang stagnan,
dan pergeseran mata uang dolar Amerika ke mata
uang Yen dan Deutsche Mark, mendorong krisis ekonomi
menyebar ke segala penjuru negara. Policy adjustment yang diterapkan mampu melepaskan
ketergantungan minyak dan mendorang akselerasi perubahan
struktur ekonomi. Beberapa kebijakan yang diterapkan
berkaitan dengan policy adjustment
diantaranya; (1) devisa mengambang, (2) devaluasi, reformasi perpajakan, (3)
reformasi perdagangan, (4) reformasi perijinan,
(5) deregulasi dan debirokratisasi, (6) ekspor non migas, (7) debt management
yang sehat, (8) penataan kembali
proyek-proyek besar. Kebijakan
yang diterapkan mendorong Indonesia telah
melampui titik terendah, dan mencapai economic recovery,
yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional
mencapai 7,4% pada tahun 1990, untuk sector non
migas tumbuh 7,9%, sektor industri mengalami peningkatan yang ditentukan oleh UNIDO (20%),
yaitu 21,3% pada tahun 1991.
Demikian juga membawa dampak terhadap penurunan angka kemiskinan
yaitu menjadi 25 juta (15%) di tahun 1992. Kinerja pembangunan seperti yang
tergambarkan di atas telah mengindikasikan bahwa
birokrasi atau reformasi birokrasi akan menentukan kinerja pembangunan menjadi lebih baik, dengan kata lain bahwa
reformasi secara terus-menerus
untuk meningkatkan kinerja merupakan suatu keharusan yang dilakukan. Namun demikian pada perkembangannya pertumbuhan ekonomi
lndonesia mengalami fiuktuasi. Pada tahun 1996: 7,82%; tahun 1997: 4,7%; tahun 1998: -13,1%; tahun 1999: 0,79%; tahun 2000: 4,8%; tahun 2001: 3,6%; tahun 2002: 4,5%; tahun 2003: 4,8%; tahun 2007: 6,3% (Kompas, 30
April 2007, 15 Desember
2008), dan pada tahun 2011 mengalami kenaikan;pada
triwulan I 2011: > 6%; triwulan II 2011: 6,5%; triwulan III 2011=6,5%. (BPS Tahun 2011).sedangkan di sektor industri
yang terjadi adalah
penurunan industri (deindustrialisasi), para pengusaha
banyak mengalihkan usahanya pada negara lain yang memiliki nilai yang kompetitif. Demikian juga pertambahan
jumlah penduduk miskin dan pengangguran
mengalami peningkatan.
Hambatan Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi
harus merefleksikan sebuah
nilai yang menjadi dasar dalam melakukan reformasi, nilai-nilai itu harus
mampu merombak apa yang selama ini
menjadi hambatan
dalam birokrasi, diantaranya: (1)
birokrasi yang formalism,
nepotism and coruption (KKN);
(2) intervensi birokrasi politik terhadap birokrasi pemerintahan; (3) orientasi kekuasaan (powership) bukan pada pelayanan publik; (4) sentralisasi pemerintahan
bukan desentralisasi;
(5) berorientasi pada produk (output) bukan pada manfaat dan dampak kesejahteraan rakyat; (benefit and infact); (6) cenderung untuk kepentingan birokrasi
(kawan, partai dan golongan) bukan kepentingan publik; (7)
organisasi yang besar dan
birokratis tidak ramping dan prefesional, fungsional
dan proporsional; (8) inefensiensi/pemborosan sumber daya organisasi dan
birokrasi pemerintahan, dan sebagainya.
Birokrasi
yang demikian harus mencerminkan interaksi antara faktor nilai (value)
dan faktor faktual. Oleh karena reformasi birokrasi
tidak lain merupakan
sebuah proses memanipulasi nilai menjadi determinan struktural prosedural yang dapat menjangkau aspek
kultural dan struktural
menjadi lebih
baik dan berorientasi kepada masyarakat.
Politik dan birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi keduanya
tidak bisa dipisahkan. Kehadiran politik dalam
birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perlu diikuti
dengan kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam birokrasi pemerintah tidak
mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberikan kesempatan
hadirnya institusi politik. Rancang bangun penghuni birokrasi pemerintah akan
dijumpai hadirnya jabatan birokrasi-birokrasi karier dan jabatan-jabatan
politik. bangunan jabatan-jabatan tersebut tidak hanya terjadi di institusi
pemerintah pusat tetapi melainkan terdapat pula institusi pemerintah lokal atau
daerah.
Lembaga rakyat merupakan tempat beraktivitasnya kegiatan politik. Di dalam
lembaga rakyat itu hidup subur partai politik sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat dalam tatanan civil society. Partai
politik itu sendiri adalah jalan yang harus dilewati oleh jabatan politik dalam
lembaga pemerintahan. Partai politik merupakan bentuk transformasi dari lembaga
rakyat dan harus diikuti oleh kualitas partai politik yang lebih baik, sehingga
iklim dan suasana demokrasi akan berkembang dengan baik. Jika demokrasi
berjalan dengan baik yang dimulai dari tatanan kehidupan berpartai tersebut,
maka masyarakat madani (civil society)
akan bisa segera diwujudkan melalui
reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan bentuk ikut sertanya para
politisi yang duduk di lembaga rakyat walaupun belum secara maksimal, jika kita
menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita, maka
kondisi perubahan sistem politik antara pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan
Reformasi hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan
dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah ialah
diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku
Orde Baru yang mayoritas tunggal menjadi sikap demokratis yang multi partai.
Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan
dibedakan akses politik dalam birokrasi pemerintah. Menurut teori liberal bahwa
birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam
pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya
didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki
oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa dalam
birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai
politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Reformasi birokrasi
yang sedang dilakukan di Indonesia telah
memiliki fondasi yang kuat melalui; (1) Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025. (2) Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Dalam
implementasinya tahun 2010 ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan Reformasi Birokrasi
Instansi (RBI), saat
ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI. Untuk
meningkatkan koordinasi, telah ditempuh berbagai langkah-langkah kebijakan, melalui; (1) Keppres Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite
Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim
Reformasi Birokrasi Nasional,
kemudian yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010, (2) Keputusan
Menpan dan RB Nomor 355
Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen,
dan Keputusan Menpan dan RB Nomor 356
Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas
(Quality Assurance). Kebijakan terkait Undang-Undang Nomor 5
tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bentuk political will atau andil dari politisi
dalam mendukung percepatan reformasi birokrasi, substansinya diantaranya akan
mengurangi peran politisi termasuk para menteri dalam birokrasi, dengan
demikian nantinya tidak terjadi bias politik dalam manajemen kepegawaian
terutama dalam rekrutmen dan promosi jabatan. Dalam manajemen kepegawaian
diperlukan adanya kontrol dalam hal ini akan dilakukan oleh Komite Aparatur
Sipil Negara (KASN), KASN akan memastikan bahwa promosi jabatan akan berjalan
sesuai sistem merit, sistem rekrutmen, dan promosi terhindar dari KKN serta
politisasi.
Dengan demikian nilai
reformasi yang ditanamkan sudah
berjalan pada koridor yang benar, tetapi berjalan sangat
lambat dan justru
terjerembab pada persoalan-persoalan
yang dalam, baik di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang terbelit kasus korupsi. Secara faktual kalangan legislatif
yang terlibat kasus suap cek perjalanan
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 melibatkan 24
anggota DPR, kasus suap
proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, dan kasus
proyek kompleks olahraga terpadu di Hambalang Bogor. Beberapa kasus korupsi
tersebut melibatkan banyak
politisi
di Senayan (DPR) di DPRD, yaitu dengan mengeruk anggaran dari dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dengan modus mendapatkan fee
di Badan Anggaran
DPR di dalam pembahasan suatu proyek.
Di DPR daerah pun juga demikian, dengan menitipkan anggaran pada dinas-dinas
terkait. Eksekutif perilakunya juga sama saja dengan legislatif, baik di pusat dan daerah.
Banyak menteri dan mantan
menteri, serta dirjen yang terindikasi korupsi. Kepala
daerah (bupati/wali kota, dan gubernur) yang terindikasi
korupsi sebanyak 213 orang dari total 495 kepala
daerah tersangkut persoalan korupsi, berarti ada 43%
kepala daerah yang bermasalah dengan korupsi. Oleh
sebab itu reformasi bisa dikatakan tidak berjalan secara
kelembagaan, karena tidak ada satupun kementerian termasuk Pemerintah Daerah yang terbebas dari kasus korupsi. Dikalangan yudikatif juga sama dengan eksekutif, dan legislatif mereka juga terlibat
korupsi. Lembaga penegakan hukum yang seharusnya bersih ternyata juga berada pada lingkaran korupsi, baik di kepolisian, kejaksaan, hakim, dan para pengacara
beramai-ramai melakukan
korupsi. Korupsi merupakan sebuah dampak bahwa
reformasi tidak berjalan pada rel yang sebenarnya, hal ini ditandai dengan penggelembungan
birokrasi di tingkat pusat,
yaitu jumlah kementrian yang lebih dari 30, serta penambahan sejumlah wakil menteri, yang seharusnya tidak perlu karena tidak sejalan dengan
semangat reformasi birokrasi. Pada tingkat daerah bahkan ada dinas di kabupaten yang jumlahnya 35
dinas, jelas
ini merupakan pemborosan yang bertentangan dengan reformasi birokrasi. Kepala daerah hanya mengakomodasi kepentingan para elit-elit politik lokal. Dengan kata lain; "Birokrasi buruk karena selama ini
selalu berada dalam subordinasi
politik. Akibatnya, sebagai sebuah entitas, birokrasi
sangat sulit untuk profesional, netral, dan melayani
kepentingan rakyat '
(Kompas, 24 Juli 2012).
Kesimpulan
Berdasarkan atas analisis tersebut di
atas, ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian, yaitu; (1) Kebijakan reformasi birokrasi dan
perubahan struktural di
Indonesia tidak secara otomatis dapat menciptakan budaya birokrasi yang
kondusif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (2) Reformasi birokrasi indonesia
menunjukkan adanya pasang
surut yang mengalami fluktuasi,
dan kalau ditarik dalam
bentuk garis batas ambang reformasi birokrasi
(threshold line of bureaucratic reform),
Indonesia pernah berada
sedikit di atas garis, dan
berada jatuh di bawah
garis reformasi birokrasi. Kondisi yang ada sekarang adalah tetap posisi pada threshold line of bureaucratic reform. ' (3) Reformasi birokrasi yang selama ini
dilakukan harus mencakup
berbagai dimensi kehidupan dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan di
negeri ini, terutama persoalan pelayanan publik
(public services).
Reformasi birokrasi harus mendapat
dukungan dari seluruh stake holder yaitu the
state, the private sector, dan civil society organizations sehingga dapat
mencapai tujuan good governance. UNDP
sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (2000;7) mengajukan
karakteristik good governance, sebagai berikut:
1.
Participation.
Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi seperti itu, dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Rule
of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama
hukum untuk Hak Azasi Manusia (HAM).
3.
Transparency.
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses,
lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.
Responsiveness.
Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap
stakeholder.
5.
Consensus
orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk
memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan
maupun prosedur-prosedur.
6.
Equity.
Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk
meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.
Effectiveness
dan efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan
apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik
mungkin.
8.
Accountability.
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil bertanggungjawab
kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung kepada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.
Strategic
vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan
pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan, sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan.
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), pemerintah harus
memiliki perilaku bertanggungjawab, sekaligus menciptakan mekanisme akuntabilitas
maupun struktur kelembagaan bagi berkembangnya partisipasi masyarakat (Nisjar,
1997 ;124). Paradigma kepemerintahan yang baik menuntut pejabat publik
(politisi dan birokrasi publik) harus bertanggungjawab dan
mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku, dan kebijakannya kepada publik.
Dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Pertanggungjawaban para pemegang kekuasaan
kepada yang memberi kekuasaan, disamping agar rakyat dapat mengetahui apa yang
dilakukan oleh mereka, sekaligus rakyat dapat melakukan kontrol atas apa yang
dilakukan oleh para pemegang kekuasaan tersebut. Dalam setiap pembuatan
kebijakan publik, substansi dari kebijakan publik tadi harus berpihak pada
kepentingan publik. Dengan demikian, maka pemerintahan yang demokratis dapat
disimpulkan sebagai pemerintahan (politisi dan birokrasi publik) yang dalam
proses maupun hasil keputusan benar-benar mencerminkan atau mewakili
kepentingan, aspirasi dan keinginan rakyat yang diwakilinya.
DAFTAR PUSTAKA
Amitai, Etziomi, 1964, Modern Organization, Englewood
Clifst, Prentice Hall New Jersey.
Caiden, Gerald, E, 1982, Public Administratio, Edisi
ke 2, Californian Pilisades Oublisher.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi
Pemerintah Orde Baru, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di
Indonesia, Cetakan I, Thafa Media, Dua Satria Offset, Yogyakarta.
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Cetakan 9, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Weber, Max, 1947, The Teory of Social and Economis.
Widodo, Joko, 2005, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Cetakan 1, Malang: Bayumedia Publishing.
No comments:
Post a Comment