PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
PADA REZIM YANG BERKUASA
PENDAHULUAN
Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis„ Bureau
‟, yang berarti “kantor”, dan kata Yunani „ kratein ‟ yang berarti
aturan atau pemerintah. Kantor disini bukan
menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah sistem kerja yang berada dalam kantor tersebut. Dalam kamus bahasa Jerman arti
kata birokrasi adalah kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan dalam
menentukan kebijakan sistem administrasi sipil dalam
kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan pejabat dalam
administrasi pemerintah. Sebagai suatu bentuk institusi,
birokrasi telah ada sejak lama. Raison d’etre keberadaannya adalah
munculnya masalah-masalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan
koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan
fungsi. Demikianlah maka tugas rumit membangun dan mengatur saluran-saluran air
ke seluruh penjuru negeri pada zaman Mesir Kuno telah melahirkan birokrasi
skala besar yang pertama di dunia. Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga
membentuk birokrasi untuk menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal
ini sebagaimana yang ditemui di Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana
pengaturan birokrasinya mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Confucius tentang
kepegawaian. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus
diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi semakin
bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern.
Dalam bentuknya yang modern birokrasi pertama kali muncul di Prancis pada
abad ke 18. Seiring waktu pada abad ke 19 Jerman menjadi negara yang
paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan disiplin, sampai-sampai
negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya. Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah menjadi
paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat modern.
Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap tatanan
masyarakat modern yang dinamis dan rasional.Tanpa kehadiran birokrasi, tak
dapat dibayangkan bagaimana suatu pemerintahan akan mengimplementasikan
kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan pula bagaimana populasi
manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah
tertentu akan dapat diatur.
Birokrasi adalah faktisitas institusional masyarakat modern, birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu
diproblematisasikan lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang memiliki
tugas dan fungsi yang kompleks memberikan justifikasi yang lebih dari cukup
bahwa keberadaannya dilandasi oleh suatu perencanaan yang rasional dan sistematis.
Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi memberikan pengaruh
yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi.
Blau dan Meyer bapak ahli sosiologi mendefinisikan birokrasi adalah satu sistem kontrol dalam sebuah organisasi
yang dirancang berdasarkan aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujuan untuk mengkoordinasikan
dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka menyelesaikan
tugas administrasi. Birokrasi pemerintah merupakan
sistem pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah
berlandaskan hierarki dan jenjang jabatan. Birokrasi juga dapat diartikan
sebagai susunan cara kerja yang sangat lambat, dan menurut pada tata aturan
yang banyak likunya. Adapun fungsi dan peran
birokrasi pemerintah yakni:
1. Melaksanakan pelayanan publik;
2. Pelaksana pembangunan yang profesional;
3. Perencana, pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah);
4. Alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara
yang netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik
(netral).
Adapun tujuan birokrasi yakni:
1. Sejalan dengan tujuan pemerintahan;
2. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah
dan Negara;
3. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional;
4. Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan,
evaluasi, koordinasi, sinkronisasi dan lain-lain.
GAMBARAN UMUM BIROKRASI
PEMERINTAH DI INDONESIA
Di Negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan oleh Max Weber
Nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu negara
yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah
mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia
sudah mengenal dan menerapkan sejenis birokrasi kerajaan, sehingga dalam upaya
penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi hanya bentuk luarnya saja, belum
tata nilainya. Sebagaimana yang telah ditetapkan di Indonesia lebih mendekati
pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana jabatan dan perilaku di
dalam hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model Weber,
tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang
berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan
ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi
patrimonial menurut Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia
antara lain:
1. Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi;
2. Jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaaan;
3. Pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik atau pun administratif;
4. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia.
Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan
rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum seperti
efektifitas, efesiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia yakni:
1. Sentralisasi yang cukup kuat.
Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu
ciri umum yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia,
kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintahan. Hal
ini disebabkan karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang dalam
lingkungan yang kondusif terhadap hidup dan berkembangnya nilai-nilai
sentralisrik tersebut.
2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi.
Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam
struktur juga merupakan salah satu ciri umum yang sering melekat pada setiap
organisasi birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan,
jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam struktur
birokrasi pemerintah.
3. Pendelegasian wewenang yang kabur.
Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya
pendelegasian wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada
pemerintah di Indonesia sudah hierarkis, dalam praktek perincian wewenang
menurut jenjang sangat sulit dilaksanakan. Dalam kenyataannya, segala keputusan
sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan
antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan.
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi
merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya
secara lengkap. Kalaupun ada sering tidak dijalankan secara konsisten.
Disamping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam
penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya
dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah
kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan
fungsional akan berkembang dengan baik jika didukung oleh rumusan tugas yang jelas
serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah dirumuskan
secara jelas pula. Selain itu masih banyak aspek-aspek
lain yang menonjol dalam birokrasi di Indonesia, diantarannya
adalah perimbangan dalam pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar
antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan terendah.
Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi
pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan
hubungan yang bersifat pribadi, hubungan yang bersifat pribadi
sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan
adanya hubungan pribadi dengan para key
person banyak persoalan yang sulit menjadi mudah atau
sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih
banyak yang perlu diperbaiki.
PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
Birokrasi merupakan salah satu diantara tiga pilar kekuasaan Orde Baru selain
Golkar dan ABRI. Untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan Orde Baru yang
membangun kekuasaannya selama 32 tahun terutama dalam memanfaatkan birokrasi
pemerintah, menurut Eep Saefulloh Fatah (1998) terbangun melalui setidaknya
empat proses. Pertama, sentralisasi. Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi.
Pada awal kelahiran Orde Baru, penguasa berdalih bahwa sentralisasi (salah
satunya dalam bidang birokrasi) adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk
menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat. Kedua,
otonomisasi. Sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat
dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum.
Dimana penguasa dan rakyat disekat di dua ruangan yang terpisah. Inilah
otonomisasi, yakni proses yang mengarah pada pembentukan kekuasaan otonom vis
a vis masyarakatnya, yang pernah disebut oleh Karl W Jackson sebagai “bureaucratic
polity” atau kepolitikan birokratik. Sejalan dengan itu Orde Baru pun
mengonfirmasikan penggambaran Geovanni Gentile, seorang filsuf Italia terkemuka: “Negara bukanlah kehendak semua orang yang merealisasikan
dirinya, melainkan kehendak yang berhasil merealisasikan dirinya sendiri.
Hasilnya adalah subordinasi kehendak individu terhadap kehendak negara”. Ketiga,
personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasi di
tangan Presiden Soeharto. Proses ini terutama terlihat tegas semenjak akhir
1970-an segera setelah Presiden Soeharto berhasil mencapai “sukses” dalam tiga
proyek sekaligus. Yakni: Reseleksi lingkungan elit politik di sekitar presiden
dengan loyalitas yang terjaga yang dijalankan sejak peristiwa Malapetaka 15
Januari (Malari) 1974; pengumpulan tiga sumber kekuasaan sangat menentukan di
tangan Presiden Soeharto, yaitu Presiden-Kepala Negara, Panglima Tertinggi
ABRI, dan Ketua Dewan Pembina Golkar; dan pelembagaan format politik
otoritarian melalui pelbagai regulasi ekonomi dan politik. Dengan sendirinya
jelas, bahwa birokrasi pemerintah mulai dari tingkat yang paling tinggi, sampai
terendah memiliki loyalitas yang tinggi pada kebijakan Presiden Soeharto. Keempat,
sakralisasi. Orde Baru tidak hanya menjalankan sentralisasi, otonomisasi, dan
personalisasi, melainkan juga sakralisasi. Kekuasaan diposisikan sebagai
sesuatu yang sakral, yang tidak bisa khilaf, yang tidak bisa bersalah, bebas
dari kritik, tak bisa dituntut, digugat, dan apalagi dijungkirkan. Operasi
kekuasaan seakan-akan hanya mengenal dua aturan. Pasal pertama: penguasa tak
bisa salah. Pasal kedua: jika penguasa bersalah, lihat pasal pertama. Pada
lembaga birokrasi Orde Baru jelas sekali merasakan keadaan ini, walaupun
merupakan sakralisasi tersendiri oleh individu (Presiden Soeharto), dengan
loyalitas yang terus menerus dalam birokrasi yang ada dengan di topang oleh
faktor politik, ekonomi dan kekuatan ABRI, dengan sendirinya menciptakan
sakralisasi pada sosok Presiden Soeharto oleh kolega dan orang-orang birokrat
yang menikmati kekuasaannya.
Karena itu, birokrasi di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pada masa Orde
Baru seperti di jelaskan sebelumnya, kecendrungan tersebut tidak lepas dari
konfigurasi kultural, ekonomi, dan politik, ikut membentuk profil birokrasi
Indonesia. Karenanya sepanjang usia negara Indonesia dan terlebih lagi pada
masa pemerintahan Orde Baru dominasi politik atas birokrasi pemerintah sangat
besar pengaruhnya. Itulah sebabnya napas panjang kekuasaan Orde Baru tetap
terjaga oleh bertahannya aliansi strategi Orde Baru di antara Presiden dan
birokrasi, disamping militer, teknokrasi, dan pemodal. Dengan kata lain, Indonesia dapat dikatakan merupakan salah satu negara
yang memiliki sistem politik yang menggerakkan birokrasi sebagai salah satu
aktor utama dalam segala kegiatan politik. Terlebih lagi pada masa Orde Baru,
birokrasi merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melaksanakan kegiatan politik
secara mandiri, dimana hampir semua kegiatan masyarakat di kontrol dan
dikendalikan oleh birokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap proses
pembuatan kebijakan di Indonesia bersifat birokratik (Mas’oed, 2008: 332).
Salah satu program andalan dalam pembangunan di masa Orde Baru yakni Program
Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April
1969 setelah berhasilnya usaha-usaha “stabilisasi di bidang politik dan
ekonomi” yang dilancarkan sejak Oktober 1966, di kenal dengan Pelita 1
(Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 444). Program ini secara jelas
menunjukkan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada tehnokrat
yang berkedudukan dalam kursi birokrasi. Dengan dimulainya program Pelita ini,
para tehnokrat yang duduk di kursi birokrasi menjalankan tugasnya demi
menyukseskan program tersebut. Dalam level nasional, Mentri Keuangan dan Ketua BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional) bertindak sebagai “The
Guardian of Public Treasury” (Penjaga Kekayaan Negara). Sedangkan,
departemen-departemen dan badan-badan lainnya bertindak
sebagai “The Spending Advocates” (Pembelanja).
Karena sangat vitalnya peran demokrasi dalam pembangunan seperti di atas,
maka oleh Soeharto dengan melalui beberapa kriteria hubungan antara Presiden
dan birokrasi seperi melalui sentralisasi, otonomisasi, personalisasi, dan
sakralisasi berdasarkan isinya masing-masing dapat membuat birokrasi ke dalam
jalur politik yang tidak lagi netral kekuasan seperti pada masa Presiden
Soekarno, namun menjadi salah satu kekuatan politik untuk dapat melaksanakan
program pembangunan pada masa Orde Baru. Dalam bahasanya Karl D. Jackson,
seorang ahli politik dan birokrasi, model birokrasi Orde Baru disebut juga bureucratic polity yang memiliki suasana
politik menentukan segala yang terjadi dalam lingkungan domestik dan negara.
Karakteristik semacam ini didukung oleh beberapa ciri. Pertama,
lembaga politik yang dominan adalah birokrasi itu sendiri. Kedua, parlemen,
partai politik maupun kelompok kepentingan berada dalam posisi yang begitu
lemah tanpa mampu mengontrol jalannya birokrasi. Ketiga, massa di
luar demokrasi secara politik adalah pasif tanpa peran yang berarti. Keberadaan
birokrasi di era Orde Baru seakan disalahartikan oleh penguasa, karena
birokrasi dijadikan alat tanggungan untuk mempertahankan kekuasaan.
Setelah peristiwa 20 Mei 1998 yang di kenal dengan reformasi, telah
membuka kotak Pandora yang telah lama tersimpan dalam laci pemerintahan orde
baru. Bukan hanya keterbukaan menyatakan pendapat yang di bungkam dalam kotak
pandora tersebut, melainkan yang menjalankan birokrasi menjadi bagian lingkaran
satu atap dari sistem yang berlaku. Kecendrungan inilah yang dapat membuat
hubungan antara patron dan klien menjadi tetap terarah dalam satu lingkaran
kebijakan saling mendukung tanpa reseve dari bawahan. Terbukanya
kebebasan untuk berbicara dan berpendapat setelah lahirnya reformasi, membuka
jalan baru dalam memahami bagaimana sistem politik, sistem pemerintahan, yang
di jalankan oleh rezim orde baru tersebut. Begitulah memang kita dapat memahami
konteks kesejarahan dari sistem pemerintahan setelah rezim yang menguasai
pemerintahan tersebut sudah kehilangan taring atau lengser dari prabon
kekuasaannya. Terkecuali itu, jika sebuah rezim mampu menciptakan generasi baru
maka otomatis dengan sendirinya tidak akan ada mesin
atau kunci lain yang dapat membuka kedok pemerintahannya. Karena itu sebuah
pemerintahan di katakan berhasil (menurut logika politik praktis) jika mampu
menciptakan generasi baru yang sehaluan dengan kepentingannya, sehingga yang
nampak adalah sebuah kontinuitas dari sistem pemerintahan yang ada.
Adanya reformasi yang membuka jalan untuk menaikkan Prof. Ing. B.J. Habibie
sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga telah membuka sebuah jalan baru
untuk memahami sistem pemerintahan atau birokrasi pada masa sebelumnya yaitu
pada masa pemerintahan rezim Soeharto yang di kenal dengan Orde Baru. Berbagai dinamika politik dan pemerintahan serta kejelekan
pemerintahan rezim Orde Baru menjadi diskusi hangat dalam forum publik, tulisan
pelurusan sejarah pada masa itu baik melalui buku, koran, buletin dan media lainnya mengulas tentang orde baru bagaikan
cendawan di musim hujan.
Kini hampir 15 tahun reformasi telah berlalu, namun satu hal yang tetap
menarik dari perjalanan bangsa ini salah satunya adalah sistem sentralisasi
birokrasi yang menjadi ciri Orde Baru yang telah mendahuluinya. Sisi positif
dan negatif akan selau ada dalam setiap pemerintahan, karena kita harus
memahaminya dengan logika kemanusiaan. Namun di balik itu semua, di bandingkan
dengan masa politik yang lain, Orde Baru telah memberikan gambaran sistem
birokrasi yang berbeda dari masa pemerintahan yang lain tersebut. Sentralisasi
dalam berbagai variannya menjadi jurus andalan sebagai ciri birokrasi pada saat
itu.
Kemampuan Soeharto sebagai patron (bos besar) dalam mengakumulasi birokrasi
pemerintahan sampai pada birokrasi negara yang paling rendah (klien) dengan
kekuatan yang dimilikinya menciptakan sistem birokrasi yang memiliki warna
tersendiri, bahkan ada opini yang mengatakan bahwa salah satu akibat dari
sentralisasi birokrasi tersebut adalah apa yang di kerjakan oleh birokrasi
bukan untuk melayani rakyat yang semestinya di jalani, melainkan bagaimana
melayani atasan (birokrasi yang semestinya melayani menjadi di layani). Selain
itu, loyalitas yang tinggi pada atasan dan kebijakan atasan, sampai puncak
tertinggi (Soeharto) melalui alat negara telah mampu membuat birokrsi sejalan
dengan kehendak dan skenario serta logika birokrasi dari dirinnya sendiri.
Karena itu keseragaman adalah ciri utama dari sistem birokrasi pada saat itu,
yang pada intinya disinilah terciptanya birokrasi yang patrineal.
KESIMPULAN
Birokrasi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari proses dan kegiatan
politik. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang
be perilaku dan bertindak politik (consist
of people acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh
kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk
mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya
dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung
atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat. Kepentingan politik dapat muncul dari nilai bagi seseorang atau
kelompok orang yang bisa diperoleh atau bisa pula hilang dari apa yang
dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dihampir semua masyarakat semua
orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang dijalankan melalui mesin
birokrasinya adalah merupakan cara terbaik untuk menciptakan otorisasi dan
menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan
institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik
yang timbul diantara orang secara individu dan orang secara kelompok-kelompok.
Konsep ideal birokrasi Max Weber memandang birokrasi sebagai unsur pokok
dalam rasionalisasi dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para anggota
staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan
(berkemampuan memisahkan urusan pribadi dengan urusan dinas).
2. Hierarki jabatan (perjenjangan, tingkatan) jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas (adanya pembagian kerja yang jelas).
4. Mereka
dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, berdasarkan suatu diploma (ijazah)
yang diperoleh melalui ujian.
5. Mereka
memiliki gaji berjenjang menurut kedudukan di dalam hirarki dan hak-hak pensiun. Pejabat dapat selalu
menempati posnya dalam keadaan tertentu dapat juga dihentikan.
6. Pos jabatan
adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu
struktur karir dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas atau keahlian.
7. Pejabat
mungkin tidak sesuai dengan posnya, maupun dengan sumber yang tersedia dalam
pos tersebut.
8. Pejabat yang
tunduk dalam sistem disipliner dan kontrol yang seragam
Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering
dikritik karena dalam prakteknya hanya menimbulkan problem inefisiensi. Menjadi
sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres
dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi batu penghalang yang tidak
lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang
politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan
jabatan politis atau dapat dikatakan bahwa
birokrasi merupakan mesin politik bagi rezim yang berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di
Indonesia, Cetakan I, Thafa
Media, Dua Satria Offset, Yogyakarta.
Amitai, Etziomi, 1964, Modern Organization, Emglewood
Clifst, Prentice Hall New Jersey.
Caiden, Gerald, E, 1982, Public Administratio, Edisi
ke 2, Californian Pilisades Oublisher.
Weber, Max, 1947, The Teory of Social and Economis.
Santoso, Priyo Budi,
1993, Birokrasi Pemerintah Orde
Baru, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment