Thursday, 28 August 2014

PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK PADA REZIM YANG BERKUASA



PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
PADA REZIM YANG BERKUASA

PENDAHULUAN
Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis„ Bureau ‟, yang berarti “kantor”, dan kata Yunani „ kratein ‟ yang berarti aturan atau pemerintah. Kantor disini bukan menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah sistem kerja yang berada dalam kantor tersebut. Dalam kamus bahasa Jerman arti kata birokrasi adalah kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan dalam menentukan kebijakan sistem administrasi sipil dalam kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan pejabat dalam administrasi pemerintah. Sebagai suatu bentuk institusi, birokrasi telah ada sejak lama. Raison d’etre keberadaannya adalah munculnya masalah-masalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi. Demikianlah maka tugas rumit membangun dan mengatur saluran-saluran air ke seluruh penjuru negeri pada zaman Mesir Kuno telah melahirkan birokrasi skala besar yang pertama di dunia. Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga membentuk birokrasi untuk menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal ini sebagaimana yang ditemui di Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana pengaturan birokrasinya mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Confucius tentang kepegawaian. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern.
Dalam bentuknya yang modern birokrasi pertama kali muncul di Prancis pada abad ke 18. Seiring waktu pada abad ke 19 Jerman menjadi negara yang paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan disiplin, sampai-sampai negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya. Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah menjadi paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat modern. Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap tatanan masyarakat modern yang dinamis dan rasional.Tanpa kehadiran birokrasi, tak dapat dibayangkan bagaimana suatu pemerintahan akan mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan pula bagaimana populasi manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah tertentu akan dapat diatur.
Birokrasi adalah faktisitas institusional masyarakat modern, birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu diproblematisasikan lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi yang kompleks memberikan justifikasi yang lebih dari cukup bahwa keberadaannya dilandasi oleh suatu perencanaan yang rasional dan sistematis. Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi.
Blau dan Meyer bapak ahli sosiologi mendefinisikan birokrasi adalah satu sistem kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berdasarkan            aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka menyelesaikan tugas administrasi. Birokrasi pemerintah merupakan sistem pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah berlandaskan hierarki dan jenjang jabatan. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai susunan cara kerja yang sangat lambat, dan menurut pada tata aturan yang banyak likunya. Adapun fungsi dan peran birokrasi pemerintah yakni:
1.     Melaksanakan pelayanan publik;
2.     Pelaksana pembangunan yang profesional;
3.     Perencana, pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah);
4.     Alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netral).
Adapun tujuan birokrasi yakni:
1.     Sejalan dengan tujuan pemerintahan;
2.     Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan Negara;
3.     Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional;
4.     Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi dan lain-lain.

GAMBARAN UMUM BIROKRASI PEMERINTAH DI INDONESIA
Di Negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan oleh Max Weber Nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis birokrasi kerajaan, sehingga dalam upaya penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi hanya bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang telah ditetapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model Weber, tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:
1.     Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi;
2.     Jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaaan;
3.     Pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik atau pun administratif;
4.     Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum seperti efektifitas, efesiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia yakni:
1.    Sentralisasi yang cukup kuat.
Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu ciri umum yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif terhadap hidup dan berkembangnya nilai-nilai sentralisrik tersebut.
2.   Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi.
Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam struktur juga merupakan salah satu ciri umum yang sering melekat pada setiap organisasi birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam struktur birokrasi pemerintah.
3.    Pendelegasian wewenang yang kabur.
Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah di Indonesia sudah hierarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanakan. Dalam kenyataannya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
4.    Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan.
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun ada sering tidak dijalankan secara konsisten. Disamping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan baik jika didukung oleh rumusan tugas yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan  yang telah dirumuskan secara jelas pula. Selain itu masih banyak aspek-aspek lain yang menonjol dalam birokrasi di Indonesia,  diantarannya adalah perimbangan dalam pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan terendah.
Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi, hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang  sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak yang perlu diperbaiki.

PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
Birokrasi merupakan salah satu diantara tiga pilar kekuasaan Orde Baru selain Golkar dan ABRI. Untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan Orde Baru yang membangun kekuasaannya selama 32 tahun terutama dalam memanfaatkan birokrasi pemerintah, menurut Eep Saefulloh Fatah (1998) terbangun melalui setidaknya empat proses. Pertama, sentralisasi. Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi. Pada awal kelahiran Orde Baru, penguasa berdalih bahwa sentralisasi (salah satunya dalam bidang birokrasi) adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat. Kedua, otonomisasi. Sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum. Dimana penguasa dan rakyat disekat di dua ruangan yang terpisah. Inilah otonomisasi, yakni proses yang mengarah pada pembentukan kekuasaan otonom vis a vis masyarakatnya, yang pernah disebut oleh Karl W Jackson sebagai “bureaucratic polity” atau kepolitikan birokratik. Sejalan dengan itu Orde Baru pun mengonfirmasikan penggambaran Geovanni Gentile, seorang filsuf Italia terkemuka: “Negara bukanlah kehendak semua orang yang merealisasikan dirinya, melainkan kehendak yang berhasil merealisasikan dirinya sendiri. Hasilnya adalah subordinasi kehendak individu terhadap kehendak negara”. Ketiga, personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasi di tangan Presiden Soeharto. Proses ini terutama terlihat tegas semenjak akhir 1970-an segera setelah Presiden Soeharto berhasil mencapai “sukses” dalam tiga proyek sekaligus. Yakni: Reseleksi lingkungan elit politik di sekitar presiden dengan loyalitas yang terjaga yang dijalankan sejak peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974; pengumpulan tiga sumber kekuasaan sangat menentukan di tangan Presiden Soeharto, yaitu Presiden-Kepala Negara, Panglima Tertinggi ABRI, dan Ketua Dewan Pembina Golkar; dan pelembagaan format politik otoritarian melalui pelbagai regulasi ekonomi dan politik. Dengan sendirinya jelas, bahwa birokrasi pemerintah mulai dari tingkat yang paling tinggi, sampai terendah memiliki loyalitas yang tinggi pada kebijakan Presiden Soeharto. Keempat, sakralisasi. Orde Baru tidak hanya menjalankan sentralisasi, otonomisasi, dan personalisasi, melainkan juga sakralisasi. Kekuasaan diposisikan sebagai sesuatu yang sakral, yang tidak bisa khilaf, yang tidak bisa bersalah, bebas dari kritik, tak bisa dituntut, digugat, dan apalagi dijungkirkan. Operasi kekuasaan seakan-akan hanya mengenal dua aturan. Pasal pertama: penguasa tak bisa salah. Pasal kedua: jika penguasa bersalah, lihat pasal pertama. Pada lembaga birokrasi Orde Baru jelas sekali merasakan keadaan ini, walaupun merupakan sakralisasi tersendiri oleh individu (Presiden Soeharto), dengan loyalitas yang terus menerus dalam birokrasi yang ada dengan di topang oleh faktor politik, ekonomi dan kekuatan ABRI, dengan sendirinya menciptakan sakralisasi pada sosok Presiden Soeharto oleh kolega dan orang-orang birokrat yang menikmati kekuasaannya.
Karena itu, birokrasi di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pada masa Orde Baru seperti di jelaskan sebelumnya, kecendrungan tersebut tidak lepas dari konfigurasi kultural, ekonomi, dan politik, ikut membentuk profil birokrasi Indonesia. Karenanya sepanjang usia negara Indonesia dan terlebih lagi pada masa pemerintahan Orde Baru dominasi politik atas birokrasi pemerintah sangat besar pengaruhnya. Itulah sebabnya napas panjang kekuasaan Orde Baru tetap terjaga oleh bertahannya aliansi strategi Orde Baru di antara Presiden dan birokrasi, disamping militer, teknokrasi, dan pemodal. Dengan kata lain, Indonesia dapat dikatakan merupakan salah satu negara yang memiliki sistem politik yang menggerakkan birokrasi sebagai salah satu aktor utama dalam segala kegiatan politik. Terlebih lagi pada masa Orde Baru, birokrasi merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melaksanakan kegiatan politik secara mandiri, dimana hampir semua kegiatan masyarakat di kontrol dan dikendalikan oleh birokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap proses pembuatan kebijakan di Indonesia bersifat birokratik (Mas’oed, 2008: 332). Salah satu program andalan dalam pembangunan di masa Orde Baru yakni Program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha “stabilisasi di bidang politik dan ekonomi” yang dilancarkan sejak Oktober 1966, di kenal dengan Pelita 1 (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 444). Program ini secara jelas menunjukkan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada tehnokrat yang berkedudukan dalam kursi birokrasi. Dengan dimulainya program Pelita ini, para tehnokrat yang duduk di kursi birokrasi menjalankan tugasnya demi menyukseskan program tersebut. Dalam level nasional, Mentri Keuangan dan Ketua BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional) bertindak sebagai “The Guardian of Public Treasury” (Penjaga Kekayaan Negara). Sedangkan, departemen-departemen dan        badan-badan lainnya bertindak sebagai “The Spending Advocates” (Pembelanja).
Karena sangat vitalnya peran demokrasi dalam pembangunan seperti di atas, maka oleh Soeharto dengan melalui beberapa kriteria hubungan antara Presiden dan birokrasi seperi melalui sentralisasi, otonomisasi, personalisasi, dan sakralisasi berdasarkan isinya masing-masing dapat membuat birokrasi ke dalam jalur politik yang tidak lagi netral kekuasan seperti pada masa Presiden Soekarno, namun menjadi salah satu kekuatan politik untuk dapat melaksanakan program pembangunan pada masa Orde Baru. Dalam bahasanya Karl D. Jackson, seorang ahli politik dan birokrasi, model birokrasi Orde Baru disebut juga bureucratic polity yang memiliki suasana politik menentukan segala yang terjadi dalam lingkungan domestik dan negara. Karakteristik semacam ini didukung oleh beberapa ciri. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi itu sendiri. Kedua, parlemen, partai politik maupun kelompok kepentingan berada dalam posisi yang begitu lemah tanpa mampu mengontrol jalannya birokrasi. Ketiga, massa di luar demokrasi secara politik adalah pasif tanpa peran yang berarti. Keberadaan birokrasi di era Orde Baru seakan disalahartikan oleh penguasa, karena birokrasi dijadikan alat tanggungan untuk mempertahankan kekuasaan.
Setelah peristiwa 20 Mei 1998 yang di kenal dengan reformasi,  telah membuka kotak Pandora yang telah lama tersimpan dalam laci pemerintahan orde baru. Bukan hanya keterbukaan menyatakan pendapat yang di bungkam dalam kotak pandora tersebut, melainkan yang menjalankan birokrasi menjadi bagian lingkaran satu atap dari sistem yang berlaku. Kecendrungan inilah yang dapat membuat hubungan antara patron dan klien menjadi tetap terarah dalam satu lingkaran kebijakan saling mendukung tanpa reseve dari bawahan. Terbukanya kebebasan untuk berbicara dan berpendapat setelah lahirnya reformasi, membuka jalan baru dalam memahami bagaimana sistem politik, sistem pemerintahan, yang di jalankan oleh rezim orde baru tersebut. Begitulah memang kita dapat memahami konteks kesejarahan dari sistem pemerintahan setelah rezim yang menguasai pemerintahan tersebut sudah kehilangan taring atau lengser dari prabon kekuasaannya. Terkecuali itu, jika sebuah rezim mampu menciptakan generasi baru maka otomatis dengan sendirinya tidak akan ada mesin atau kunci lain yang dapat membuka kedok pemerintahannya. Karena itu sebuah pemerintahan di katakan berhasil (menurut logika politik praktis) jika mampu menciptakan generasi baru yang sehaluan dengan kepentingannya, sehingga yang nampak adalah sebuah kontinuitas dari sistem pemerintahan yang ada.
Adanya reformasi yang membuka jalan untuk menaikkan Prof. Ing. B.J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga telah membuka sebuah jalan baru untuk memahami sistem pemerintahan atau birokrasi pada masa sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan rezim Soeharto yang di kenal dengan Orde Baru. Berbagai dinamika politik dan pemerintahan serta kejelekan pemerintahan rezim Orde Baru menjadi diskusi hangat dalam forum publik, tulisan pelurusan sejarah pada masa itu baik melalui buku, koran, buletin dan media lainnya mengulas tentang orde baru bagaikan cendawan di musim hujan.
Kini hampir 15 tahun reformasi telah berlalu, namun satu hal yang tetap menarik dari perjalanan bangsa ini salah satunya adalah sistem sentralisasi birokrasi yang menjadi ciri Orde Baru yang telah mendahuluinya. Sisi positif dan negatif akan selau ada dalam setiap pemerintahan, karena kita harus memahaminya dengan logika kemanusiaan. Namun di balik itu semua, di bandingkan dengan masa politik yang lain, Orde Baru telah memberikan gambaran sistem birokrasi yang berbeda dari masa pemerintahan yang lain tersebut. Sentralisasi dalam berbagai variannya menjadi jurus andalan sebagai ciri birokrasi pada saat itu.
Kemampuan Soeharto sebagai patron (bos besar) dalam mengakumulasi birokrasi pemerintahan sampai pada birokrasi negara yang paling rendah (klien) dengan kekuatan yang dimilikinya menciptakan sistem birokrasi yang memiliki warna tersendiri, bahkan ada opini yang mengatakan bahwa salah satu akibat dari sentralisasi birokrasi tersebut adalah apa yang di kerjakan oleh birokrasi bukan untuk melayani rakyat yang semestinya di jalani, melainkan bagaimana melayani atasan (birokrasi yang semestinya melayani menjadi di layani). Selain itu, loyalitas yang tinggi pada atasan dan kebijakan atasan, sampai puncak tertinggi (Soeharto) melalui alat negara telah mampu membuat birokrsi sejalan dengan kehendak dan skenario serta logika birokrasi dari dirinnya sendiri. Karena itu keseragaman adalah ciri utama dari sistem birokrasi pada saat itu, yang pada intinya disinilah terciptanya birokrasi yang patrineal.

KESIMPULAN
Birokrasi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari proses dan kegiatan politik. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang be perilaku dan bertindak politik (consist of people acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan politik dapat muncul dari nilai bagi seseorang atau kelompok orang yang bisa diperoleh atau bisa pula hilang dari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dihampir semua masyarakat semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang dijalankan melalui mesin birokrasinya adalah merupakan cara terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul diantara orang secara individu dan orang secara kelompok-kelompok.
Konsep ideal birokrasi Max Weber memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.     Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan (berkemampuan memisahkan urusan pribadi dengan urusan dinas).
2.     Hierarki jabatan (perjenjangan, tingkatan) jabatan yang jelas.
3.     Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas (adanya pembagian kerja yang jelas).
4.     Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
5.     Mereka memiliki gaji berjenjang menurut kedudukan di dalam hirarki dan     hak-hak pensiun. Pejabat dapat selalu menempati posnya dalam keadaan tertentu dapat juga dihentikan.
6.     Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas atau keahlian.
7.     Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya, maupun dengan sumber yang tersedia dalam pos tersebut.
8.     Pejabat yang tunduk dalam sistem disipliner dan kontrol yang seragam
Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena dalam prakteknya hanya menimbulkan problem inefisiensi. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi batu penghalang yang tidak lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis atau dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan mesin politik bagi rezim yang berkuasa. 







DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Cetakan I, Thafa Media, Dua Satria Offset, Yogyakarta.
Amitai, Etziomi, 1964, Modern Organization, Emglewood Clifst, Prentice Hall New Jersey.
Caiden, Gerald, E, 1982, Public Administratio, Edisi ke 2, Californian Pilisades Oublisher.
Weber, Max, 1947, The Teory of Social and Economis.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.




No comments:

Post a Comment