REVIEW BUKU PERANG KOTA KECIL
Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia
(Gerry van Klinken)
Penulisan dalam buku ini telah menggunakan teknik-teknik
analisis yang cukup inovatif dari teori contentious politics (politik perseteruan, pengembangan dari
teori gerakan sosial), Contentious Politics atau
dalam beberapa tulisan diterjemahkan sebagai Politik Perseteruan, pada dasarnya
merupakan cara atau usaha kolektif untuk memperoleh posisi tawar yang lebih
baik dibanding lawan politiknya. Bisa juga dikatakan sebagai teknik yang merujuk
terhadap fenomena-fenomena pergerakan yang sering disertai kekerasan untuk
tujuan-tujuan tertentu, lebih kepada upaya menuntut perubahan terhadap tekanan
dan dominasi.dalam mengeksplanasikan enam episode kekerasan komunal yang
terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1997 sampai 2002. Secara keseluruhan,
keenam episode kekerasan tersebut terjadi di :
-
Kalimantan Barat,
-
Maluku (Ambon),
-
Sulawesi Tengah (Poso),
-
Maluku,
-
Maluku Utara dan,
-
Kalimantan Tengah.
Keenam episode tersebut, dalam artian tertentu, merupakan
“politik lokal dengan cara lain”. Pada tiap-tiap episode, orang-orang yang
mementukan jalannya konflik dengan peran utama mereka menggalang mobilisasi dan
koalisi yang semuanya termotivasi secara politis. Lebih lanjut, Van Klinken
membagi kekerasan yang terjadi di Indonesia menjadi empat tipe besar, yaitu:
1.
Kekerasan Pemisahan Diri. Yang paling terkenal adalah ledakan-ledakan
kekerasan yang disponsori oleh militer di Timor Timur yang mempermasalahkan
jajak pendapat pada tahun 1999. Kekerasan represif serupa tengah terjadi di
Aceh dan, di tingkat yang lebih rendah, Papua sepanjang masa itu.
2.
Kekerasan Komunal Skala Besar, yaitu kekerasan yang terjadi
antar agama atau antar etnis.
3.
Huru Hara Komunal Lokal, beberapa insiden kekerasan terjadi dengan
skala kota kecil atau kota besar dan berlangsung selama beberapa hari. Yang
paling terkenal adalah huru-hara besar-besaran di Jakarta pada Mei 1998 yang
mengarah pada pengunduran diri Soeharto. Sebelum itu, berbagai huru-hara anti Cina
yang pendek tetapi sengit terjadi pada tahun 1996 -1997 di kota-kota
Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Makasar (Sulawesi Selatan). Setelah itu berbagai
huru –hara Kristen- Muslim terjadi di Ketapang (Jakarta) dan Kupang (Timor
Barat) pada November 1998.
4.
Kekerasan Sosial. Kekerasan ini tidak begitu menonjol, tetapi
menuntut korban yang cukup besar, adalah fenomena “sosial” seperti vigilantisme
(main hakim sendiri terhadap para pencuri) dan perselisihan-perselisihan antar
desa. Kekerasan-kekerasan ini juga memuncak setelah jatuhnya Orde Baru, tetapi
tanpa hubungan “politics” yang jelas. Ini terjadi khusunya di Jawa, Lombok dan
Sulawesi selatan. Serangkaian pembunuhan yang menggegerkan terhadap orang-orang
yang dituduh sebagai tukang santet di Jawa Timur pada akhir 1998 agaknya bisa
digolongkan di antara huru-hara
komunal yang kurang lebih terorganisir di satu pihak dan kekerasan sosial di
pihak lain.
Kekerasan teroris yang baru-baru ini banyak menyedot perhatian
bisa dianggap sebagai tipe kelima. Dibandingkan dengan tipe-tipe kekerasan yang
lain, walaupun kekerasan ini menuntut korban tewas yang lebih kecil, namun
dampak goncangan dari korban yang tewas tentu tidak sebanding dengan angkanya.
Buku karya Van Klinken ini lebih memfokuskan diri terhadap kekerasan tipe nomor
dua, yaitu kekerasan komunal skala besar. Sebab kekerasan komunal skala besar
ini dianggap sebagai hal baru di Indonesia dan oleh karenanya buku ini mencoba
menjelaskannya secara lebih jauh. Van Klinken mulai bercerita dari kekerasan di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari dan Februari 1997.
Penduduk asli Dayak mulai menyerang para pendatang Madura di kota kecil Sanggau
Ledo yang menyebar ke kota lain di kabupaten itu sehingga membuat puluhan ribu
orang lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dan dua tahun setelah peristiwa
Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang Muslim dan Kristen di Ambon. Pada
saat yang hampir bersamaan, yaitu akhir tahun 1998 dan awal tahun 1999,
kekerasan komunal juga meledak di
dua tempat lain. Di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kekerasan kembali
terjadi, walaupun terjadi di tempat yang berbeda, namun sekali lagi
mengakibatkan penggusuran terhadap orang-orang Madura. Dan di Poso, sebuah kota
kecil Kalimantan Tengah, kekerasan terjadi antara orang Islam dan Kristen.
Setahun kemudian, pada akhir tahun 1999, ketegangan yang memuncak meledak di
Maluku Utara yang melibatkan beberapa pihak. Antara Muslim dengan Kristen dan
Muslim dengan Muslim. Kemudian lagi-lagi penduduk asli Dayak menyerang para pendatang
Madura di kota Sampit, Kalimantan Tengah pada Februari 2001.
Jadi di Kalimantan telah terjadi tiga kali kekerasan komunal dan
masing-masing adalah bentuk kekerasan sepihak dan bukan merupakan perang sipil antara
dua pihak yang mempunyai kekuatan yang seimbang. Tiap kali kekerasan terjadi,
kelompok etnik yang dominanlah (Dayak atau Melayu) yang melakukan pengusiran terhadap etnik minoritas
yang sangat dibenci, yaitu Madura. Kekerasan hanya berlangsung selama beberapa
minggu dan berakhir dengan kemenangan di pihak mayoritas.
Namun hal ini berbeda dengan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara
dan Poso dimana konflik telah menyerupai perang sipil. Berbeda dengan di
Kalimantan, semua episode disini menyangkut pertempuran antara kelompok-kelompok agama yang kira-kira
seimbang. Orang-orang Muslim dan Kristen saling bertempur di tiga wilayah itu,
meskipun di Maluku Utara pertempuran Muslim-Kristen juga dibarengi pertempuran
etnis Kao-Makian dan pertempuran antar sesama Muslim. Ketiga konflik tersebut
berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus dan gelombang demi
gelombang.
Pada saat terjadi konflik komunal di beberapa daerah di luar
Pulau Jawa tersebut peran negara menjadi hilang seolah-olah ada pembiaran oleh
negara, semestinya negara menggunakan segala daya dan upaya untuk memberikan
rasa aman dan kondusif kepada masyarakat di daerah-daerah konflik tersebut,
namun pada kenyataannya rasa aman tersebut hampir tidak ada atau dengan kata
lain negara memberikan rasa aman kepada masyarakat pada titik nadir terendah.
Pada saat hilangnya peran negara untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat
dalam hal ini dijalankan oleh fungsi aparat TNI/Polri, menjamurlah para penegak
keamanan swadaya dari masyarakat yang mengatasnamakan golongan etnis maupun
agama yang membantu saudara-saudara
mereka yang tertindas di daerah konflik, seperti contoh Laskar Jihad yang
dimobilisasi baik ke Ambon, Sambas, Sampit maupun daerah konflik lain yang
mengatasnamakan konflik agama sebagai pembenaran. Hal ini jelas-jelas sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila maupun UUD 1945 dimana bangsa
Indonesia sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan serta jiwa
nasionalisme, sehingga dapat dikatakan pada saat tersebut terjadi chaos atau
keretakan persatuan Bangsa Indonesia yang telah ditanamkan oleh para Founding
Father dengan mempersatukan Yong Ambon, Yong Celebes, Yong Borneo, Yong
Sumatra, Yong Jawa, Yong Bali dan sebagainya dalam ikatan Sumpah Pemuda.
Meskipun perbedaan ini nyata, di tingkat yang lebih dalam lagi,
kekerasan etnik dan kekerasan keagamaan yang terjadi di wilayah yang lebih
timur pada dasarnya bisa diperbandingkan. Di tiap-tiap kasus, orang biasa
sama-sama merasa digerakkan oleh ketakutan politis dan kemudian melakukan satu
aksi, sementara kaum elite lokal membuat perhitungan sendiri berdasar peluang
politis.
Berapa banyak yang mati? Kekerasan kolektif non-pemisahan
diperkirakan oleh United Nations Support Facility for Indonesian Recovery
(UNSFIR) telah melenyapkan lebih dari 10.000 nyawa di Indonesia pada periode
1990-2003 (Varshney, Panggabean dan Tadjoedin 2004). Secara keseluruhan (dan
dengan mempertahankan perkiraan-perkiraan konservatif UNSFIR) sebuah perkiraan
kasar untuk korban tewas akibat kekerasan yang terkait dengan transisi
Indonesia 1998 hampir mencapai
19.000 orang dan lebih dari separuhnya tewas akibat konflik komunal dan
sebagian besar sisanya akibat kekerasan pemisahan diri.
Dengan hanya menuliskan kekerasan non pemisahan diri dan
mengesampingkan kekerasan sosial, UNSFIR menarik beberapa kesimpulan: Pertama,
Baik jumlah kejadian maupun jumlah korban tewas meningkat tajam pada tahun 1996
dan mencapai puncaknya pada tahun 1999-2000 dan setelah itu menurun dengan
cepat. Kedua, hampir 90% dari korban tewas tersebut akibat kekerasan komunal.
Dengan demikian kekerasan komunal memakan korban tewas terbesar dari semua
kekerasan kolektif yang ada. Ketiga, keenam provinsi dengan kekerasan terbesar
adalah Maluku Utara (25% dari korban tewas), Maluku (sekitar Ambon18,3%),
Kalimantan Barat (13,6%), Jakarta (11,8%), Kalimantan Tengah (11,5%) dan
Sulawesi Tengah (6%). Kecuali Jakarta, tempat-tempat ini adalah lokasi
kekerasan komunal skala besar.
Episode-episode kekerasan komunal dalam sejarah Indonesia
mempunyai ideologi-ideologi politik bangsa atau kelas yang berbaur dengan
identitas-identitas etnis atau religius. Yang
membedakan kekerasan pasca Orde Baru adalah bahwa masalah-masalah kelas dan
bangsa Indonesia praktis tidak ada dan pertarungan dilakukan hampir sepenuhnya
berdasarkan identitas-identitas komunal. Inilah yang mengguncang publik
Indonesia yang sebelumnya percaya betul bahwa menjadi orang Indonesia tidak
banyak berkaitan dengan etnisitas atau agama. Kekerasan tersebut kini merupakan
masa lalu. Perlu diingat bahwa semua itu merupakan kekerasan transisional,
bukan sebuah perang yang permanen.
Dalam hal ini rakyat Indonesia perlu memulai debat yang lebih
serius dari yang pernah ada mengenai bentuk demokrasi seperti apa yang mereka
inginkan. Beberapa suara dalam debat tersebut tentu akan menyatakan bahwa
mereka dari dulu telah melihat bahwa demokrasi akan memberi kesempatan besar
bagi sentimen-sentimen “primodial” yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Bentuk-bentuk politik yang dialogis, sipil,
dan inklusif juga banyak dilakukan di Indonesia sekarang ini. Bahkan dalam
sebuah masyarakat yang begitu terbelah oleh identitas komunal yang merupakan
kasus yang tidak lain dihadapi Indonesia, demokrasi bisa diterapkan. Mungkin
perlu adanya semacam “koalisi politik” consociational (Lijphart 1977, 1999).
Perang reformasi di kota-kota kecil menghadapkan rakyat Indonesia pada apa yang
Partha Chattereje dalam bukunya yang sangat brilian disebut “politik
orang-orang yang diperintah” (Chatterjee 2004).
Pada zaman pascakolonial, ketika massa besar yang dia
namakan ‘sublatern citizen’ (warga
taklukan) mulai berpartisipasi dalam politik populer, mereka mengekpresikan pemahaman
mereka akan simbol kekuasaan populer yang inspiratif dengan cara berkelompok.
Mobilisasi etnik merupakan bagian dari hal ini, yang membuat galau para elite
modernisasi yang memiliki komitmen pada aturan-aturan formal demokrasi
parlementer.
Salah satu respons terhadap tantangan-tantangan itu, menurut
Chatterjje (2004 ; 50) adalah dengan mengalihkan pandangan ke sebuah varian dan
strategi kolonial pemerintahan tak langsung: “Ini melibatkan penundaan proyek
modernisasi, dengan memperkuat zona-zona masyarakat sipil sorjuis yang
dilindungi dan menjalankan fungsi-fungsi hukum dan ketertiban dan kesejahteraan
pemerintah lewat “ para pemimpin alam” dari populasi rakyat yang diperintah.”
Sebuah respons yang lebih berpencerahan, lanjut Chatterjee,
dimulai dengan pemahaman bahwa zona agak kabur dari politik populer pada
kenyataannya menyodorkan kemungkinan-kemungkinan positif. Baik kelas-kelas taklukan
serta elite-elite pembawa modernisasi sudah berada di jalan transformasi
internal, sebab mereka belajar dari satu sama lain. Respon terhadap “politik
orang yang diperintah” ini berusaha menyetir (proyek pencerahan itu) lewat
semak berduri perseteruan-perseteruan dalam apa yang disebut masyarakat
politis.
Secara keseluruhan, buku ini mampu menampilkan secara jelas
gambaran mengenai kekerasan komunal serta demokratisasi di beberapa wilayah
Indonesia. Didukung dengan pendeskripsian objek yang cukup akurat serta data
yang valid dan bahasa penyampaian yang komunikatif. Pemberian solusi dan pemecahan praktis
juga merupakan salah satu nilai plus dari buku ini.
REVIEW BUKU PERANG KOTA KECIL
Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia
(Gerry van Klinken)
(Disusun
dalam rangka memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Globalisasi, Demokrasi dan
Desentralisasi)
ANANG NOOR BAIQUNI
NIM: 071314453008
JURUSAN MAGISTER ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
No comments:
Post a Comment