PERAN MEDIA MASSA DALAM MARKETING POLITIK
PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2014
Pendahuluan
Media massa telah menjadi salah satu kekuatan penting abad
modern. Revolusi bidang sains dan teknologi membuat media massa memiliki
spektrum yang demikian luas, menjangkau seluruh wilayah, lapisan masyarakat
dengan intensitas yang masif. Dalam konteks politik, media massa merupakan
salah satu kekuatan politik penting yang mempengaruhi proses politik. Karena
itulah keberadaan media massa, terutama pers bebas dianggap sebagai salah satu
pilar dari demokrasi. Begitu
luar biasanya kekuatan media massa ini digambarkan oleh Malcolm X dengan
pernyataan bahwa “the media’s the most
powerfull entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and
to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds
of the masses”. Media massa merupakan entitas terkuat di muka bumi karena
kemampuannya dalam membentuk dan mengendalikan kesadaran massa. Dengan kekuatan
tersebut, media massa bahkan mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk
bagi masyarakat seperti halnya seorang dokter yang mengobati pasiennya.
Persoalannya kemudian, sejauh mana media massa itu berpegang
pada fakta-fakta objektif dan menghadirkan kebenaran bagi masyarakat? Apakah
media massa dapat menjaga independensinya dari berbagai penetrasi kepentingan?
Termasuk dalam konteks politik, mampukah media massa sebagai saluran marketing
politik untuk menjaga posisinya sehingga bersifat nonpartisan?
Pemasaran
politik atau yang umumnya dikenal dengan marketing politik (political marketing), sebagaimana
disampaikan oleh Firmanzah (2007) adalah seperangkat metode yang dapat
memfasilitasi kontestan (individu atau partai politik) dalam memasarkan
inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi politik,
karakteristik pemimipin partai dan program kerja partai kepada masyarakat. Iklim
demokrasi yang berkembang di Indonesia semenjak era reformasi telah membuka
kesempatan bagi berbagai partai politik untuk berkembang. Praktek politik di
Indonesia sendiri telah berkembang sedemikian pesat dengan memanfaatkan
aplikasi berbagai disiplin ilmu manajemen seperti marketing. Hal ini didorong
oleh heterogennya masyarakat Indonesia serta meningkatnya taraf ekonomi dan
pendidikan masyarakat yang membuat partai politik harus mengaplikasikan
berbagai praktek marketing untuk dapat bersentuhan dengan masyarakat.
Dewasa ini,
pemasaran (marketing) sudah banyak
diterapkan dalam politik, institusi politik pun membutuhkan pendekatan
alternative untuk membangun hubungan dengan, konstituen dan masyarakat luas,
dalam hal ini marketing sebagai
disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis yang diasumsikan berguna bagi
institusi politik. Dalam pemasaran politik, beragam cara dan pola dilakukan
dalam rangka tersebut. Misalnya ada yang memasang bendera di jalan-jalan. Lihat
saja pada untuk menyemarakkan Pemilu tahun 2014 yang telah berlalu, aneka
spanduk membanjiri di tiap-tiap sudut jalan, mulai dari sekedar memberikan
ucapan selamat Ramadhan dispanduk-spanduk hingga yang terang-terangan cari
dukungan. Dalam marketing politik yang di tekankan adalah pengunaaan pendekatan
dan metode pemasaran (marketing)
untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efesien dan lebih
efektif membangun dua arah dengan konstituen dan masyarakat. hubungan ini
diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan
komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.
Marketing politik
telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tetapi juga memunculkan
beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks
dunia usaha. Dalam marketing politik, isu politik bukan sekedar produk yang di
promosikan, melainkan juga keterkaitan simbol dan nilai yang menghubungkan
individu. Jika dicermati, aktivitas marketing politik yang dilakukan oleh
partai politik dan para tokohnya itu rata-rata baru sebatas pemanfaatan peran
media massa (publikasi) dan riset politik. Untuk riset politik, sudah lama
dimanfaatkan oleh elit parpol atau kandidat parpol yang maju dalam Pilkada, dan
riset untuk para caleg baru menjelang Pemilu 2014 yang lalu.
Konseptualisasi Marketing Politik
Marketing menurut Bruce I Newman
adalah proses memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian
mengembangkan inovasi produk, advertising,
harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian
Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa
image politisi, platform, pesan
politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen
yang tepat.Pendapat lain dikemukakan oleh Mauser, G yang mendifinisikan
marketing sebagai ‘influencing mass
behavior in competitive situations’. Marketing politik dianalogikan kepada
marketing komersial. Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audience dari pemilih yang harusnya
mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang
dipadati lebih dari satu ‘brand’
produk. Meskipun memang akan ada perbedaan mendasar antara marketing politik
dengan marketing komersial. Misalnya, marketing politik mengukur kesuksesan
tidak dalam term keuntungan melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power.
Dalam bukunya Hand Book of Political
Marketing, Newman menambahkan dalam peta marketing kandidat (Candidat Marketing Map) paling tidak ada
enam tahap yang harus diperhatikan:
1.
Riset lingkungan (environment
research) : yakni seting dan konteks dimana seorang kandidat
mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini terkait dengan upaya mendifinisikan
isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat. Misalnya pada tahap ini
meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter
satisfaction or dissatisfaction), isu dan konsern penting pemilih, peta
demografi pemilih, riset partai dominan atau independen dan sebnagainya.
2.
Analisis penilaian internal dan eksternal (internal and external assesment analysis).
Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya, kekuatan dan kelemahan
organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai
incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, kekuatan dan kelemahan
kompetitor.
3.
Marketing strategis (strategic
marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income,
pendidikan, etnis, ideologi kelompok dan lain-lain.), target dan positioning (citra kandidat versus citra
lawan).
4.
Sering tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campign strategy) misalnya menyangkut positioning
latar belakang dan qualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi
konsep pribadi kandidat dan sebagainya.
5.
Komunikasi, distribusi dan perencanaan organisasi (communication, distribution and
organization plan). Tahap ini misalnya menekankan pada sosok penampilan,
publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format serta desain medianya. Termasuk
penyiapan organisasinya misalnya saja, fundraiser
and development staff, Issue and Research Staff, Media and Publicity Staff,
Voulenteers and Party Workers dan sebagainya.
6.
Pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen
pemilih partai, segmen kontributor, segmen media dan publisitas.
Di dalam tulisan lainnnya di buku
lain, Newman menulis tentang formula kesuksesan marketing politik yang mestinya
mengikuti beberapa aturan dasar. Pertama, menyediakan waktu yang banyak untuk
mempelajari kebutuhan dari target customers. Kedua, membuat team pengembangan
customer. Ketiga, mendapatkan dukungan dari seseorang yang berkedudukan tinggi
di organisasi dan orang yang siap menjadi pembela, menyediakan banyak waktu
untuk mengumumkan produk baru, kesuksesan pengembangan produk baru meminta
organisasi untuk memapankan sebuah organisasi yang efektif untuk menangani
proses pengembangannya.
Marketing politik akan terlihat
dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh masing-masing kandidat. Dalam
definisi lainnya, Pfau dan Parrot mendefinisikan kampanye sebagai “A Campaign is conscious, sustained and
incremental process designed to be implemented over a specified period of time
for the purpose of influencing a specified audience (kampanye adalah suatu
proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang
dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak
sasaran yang telah ditetapkan.
Media Massa Sebagai Saluran Marketing Politik
Kalau merujuk kepada pendapat
Blumler dan Gurevitch, ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam
mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan
aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek
komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik.
Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik. Pendapat
hampir senada dikemukakan Suryadi, menurutnya sistem komunikasi politik terdiri
dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat
kita temui posisi penting media dalam marketing politik. Setiap persuasi
politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat
mempertimbangkan peranan media massa. Untuk memperkuat argumen bahwa media
sangat penting dalam proses marketing politik, baiknya kita memahami dulu
karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan “dapat” menjadi
sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan, komunikator dalam media
massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan
mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara
spasial terpisah. Dengan daya jangkau yang relatif luas dan dalam waktu yang
serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat
Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi
massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi
yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, situasi
komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang
ini, institusi media massa seperti televisi dan surat kabar dipercaya memiliki
kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi
pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang
realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan, bisa ditransformasikan media
massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara
luas.
Tentu saja dalam perkembangannya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan sebagainya. Proses marketing politik di era sekarang sangat sulit menafikan keberadaan media massa sebagai salah satu saluran utama yang dapat dipergunakan dalam komunikasi politik. Saluran media massa ini memegang posisi penting di luar saluran face-to-face informal, struktur sosial tradisional, saluran input dan saluran output.
Tentu saja dalam perkembangannya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan sebagainya. Proses marketing politik di era sekarang sangat sulit menafikan keberadaan media massa sebagai salah satu saluran utama yang dapat dipergunakan dalam komunikasi politik. Saluran media massa ini memegang posisi penting di luar saluran face-to-face informal, struktur sosial tradisional, saluran input dan saluran output.
Perspektif Teori Agenda Setting
Teori Agenda Setting
diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka
yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang telah
diterbitkan dalam Public Opinion
Quarterly pada tahun 1972. Menurut kedua pakar ini jika media memberikan
tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk
menganggapnya penting. Agenda Setting menggambarkan pengaruh yang kuat dari
media, terutama kemampuannya untuk mengatakan isu apa yang penting dan tidak.
McComb dan Shaw menyelidiki kampanye presiden di tahun 1968, 1972 dan 1976.
Dalam risetnya tahun 1968, mereka fokus pada dua elemen pokok yakni : kesadaran
dan informasi. Dalam riset empiris di sebuah wilayah di Chapel Hill North
Caroline. Saat itu riset mensurvey 100 orang pemilih yang belum memutuskan pilihan
tentang apa yang mereka pikirkan di tengah berita aktual yang dipublikasikan
media. Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat
(0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di
Chapel Hill dengan urutan prioritas pada responden. Hasil yang hampir identik
dan cocok dengan hipotesis mereka bahwa media massa memposisikan agenda opini
publik dengan penekanan topik-topik tertentu yang khusus. Alexis S Tan
meyimpulkan bahwa dalam Teori Agenda Setting,
meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan
meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak.
Dengan teknik pemilihan dan
penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting
mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media
kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada
persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap
penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media,
akan luput juga dari perhatian masyarakat. Sementara itu Manhein sebagaimana
dikutip oleh Effendy, menyatakan bahwa terdapat konseptualisasi agenda yang
potensial untuk memahami proses agenda setting yakni agenda media, agenda
khalayak dan agenda kebijakan. Masing-masing agenda tersebut mencakup
dimensi-dimensi sebagai berikut: pertama, untuk agenda media,
dimensi-dimensinya :
·
Visibility (visibilitas) yakni jumlah dan tingkat menonjolnya berita.
·
Audience salience (tingkat menonjolnya bagi khalayak) yakni relevansi isi
berita dengan kebutuhan khalayak.
·
Valence (Valensi) yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara
pemberitaan bagi suatu peristiwa.
Kedua, agenda khalayak, adapun dimensi-dimensi yang biasanya
ada dalam agenda khalayak adalah :
·
Familiarity (keakraban) yakni derajat kesadaran khalayak akan topik
tertentu.
·
Personal Salience (penonjolan pribadi) yakni relevensi kepentingan dengan
ciri pribadi.
·
Favorability (Kesenangan) yakni pertimbangan senang atau tidak senang
akan topik berita
Ketiga, agenda kebijakan, adapun dimensi-dimensi yang
biasanya ada dalam agenda kebijakan adalah :
·
Support (dukungan) yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu
berita tertentu.
·
Likelihood of action (kemungkinan kegiatan) kemungkinan
pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
·
Freedom of action (kebebasan bertindak) yakni nilai kegiatan yang mungkin
dilakukan pemerintah.
Marketing politik di media massa
tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry
point bahasan agenda setting. Komunikator politik yang hendak menggunakan media
massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami
masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent
effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada
atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling
penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh
responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek
lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan
(seperti memilih kontestan atau kandidat dalam Pemilu). Pada kenyataannya
menurut perspektif teori agenda setting,
media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara
selektif, “gatekeepers” seperti
penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas
diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Yang menarik dicermati, karena
pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media
massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public
agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota
masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa
yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak
untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau
peristiwa menjadi public sought
(permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media
dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan
akhirnya mendistribusikan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan
dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame
berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya
lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antara lain,
penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya,
generalisasi, simplikasi dan sebagainya. Framing
merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya
persuasif dalam kemasan marketing politik di media massa dari perspektif agenda
setting tentunya harus memperhatikan
beberapa hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu
tampilan marketing politik di media yang dapat diamati dengan melihat topik
atau tema yang dikedepankan. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur
marketing politik yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana
bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak
tersusun secara utuh.
Ketiga, struktur mikro, ini merupakan marketing politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian.
Ketiga, struktur mikro, ini merupakan marketing politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian.
Hal-hal yang diamati dalam struktur
mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang
dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks
berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu
dilakukan. Marketing politik dalam media massa tentu saja berbeda dengan
marketing yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di
lapangan. Marketing di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang
disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat
mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh
terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi
persepsi khalayak tentang apa yang di anggap penting. Bila Prabowo dan Partai
Gerindra secara terus menerus diberi label penolong dan pelindung para petani,
pedagang tradisional maka lambat laun Prabowo akan dianggap dalam persepsi
khalayak sebagai penolong dan pelindung wong cilik. Iklan Prabowo dalam
berbagai versi di televisi ternyata mampu menaikan tingkat penerimaan khalayak
akan sosok Prabowo dan partai Gerindra, jika media selalu mengangkat citra
Prabowo yang dekat dengan kaum petani nelayan dan pedagang pasar tradisional
maka pemilih pun akan memikirkan bahwa Prabowo sebagai sosok yang penting
sebagaimana yang dicitrakan oleh media.
Kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa marketing politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan marketing yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali cara pandang seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.
Kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa marketing politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan marketing yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali cara pandang seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.
Perspektif Teori Spiral Of Silence
Elizabeth Noelle-Neumann (seorang
professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman)
adalah orang yang memperkenalkan teori spiral keheningan/kesunyian ini. Teori
ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1984 melalui tulisannya yang berjudul
The Spiral of Silence. Secara ringkas
teori ini ingin menjawab pertanyaan, mengapa orang-orang dari kelompok
minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya
ketika berada dalam kelompok mayoritas? Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa
seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam
kelompok mayoritas. Ide terpenting yang mendasari model ini adalah bahwa
sebagian besar individu mencoba menghindari isolasi dalam pengertian sendirian
mempunyai kepercayaan atau sikap tertentu. Oleh karenanya seseorang
memperhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang
semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer.
Tesis teori ini bersandar pada dua
asumsi. Pertama, bahwa orang mengetahui mana opini yang berkembang dan mana
opini yanng tidak berkembang. Hal ini disebut quasistatistical sense karena orang mempunyai perasaan terhadap
presentase penduduk terhadap posisi-posisi tertentu. Asumsi kedua, adalah bahwa
orang menyesuaikan pengungkapan opini mereka terhadap persepsi-persepsi ini. Teori
Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut: individu memiliki opini
tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah
individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum. Untuk
meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan
bagi opini mereka dari lingkungannya, terutama dari media massa.
Sprial kesunyian tampaknya disebabkan oleh ketakutan terhadap keterasingan. Seperti yang dinyatakan oleh Noelle-Nueman, ”berjalan bersama dengan kelompok adalah keadaan yang membahagiakan, tetapi jika hal ini tidak dapat dilakukan karena anda tidak akan sependapat dengan keyakinan yang dinyatakan secara umum, paling tidak anda akan diam sebagai pilihan kedua, sehingga orang lain akan bersama anda”.
Sprial kesunyian tampaknya disebabkan oleh ketakutan terhadap keterasingan. Seperti yang dinyatakan oleh Noelle-Nueman, ”berjalan bersama dengan kelompok adalah keadaan yang membahagiakan, tetapi jika hal ini tidak dapat dilakukan karena anda tidak akan sependapat dengan keyakinan yang dinyatakan secara umum, paling tidak anda akan diam sebagai pilihan kedua, sehingga orang lain akan bersama anda”.
Dengan demikian, dapat kita nyatakan
bahwa spiral kesunyian bukan sekedar keinginan berada pada pihak yang menang,
melainkan merupakan usaha untuk menghindari keterasingan dari kelompok sosial.
Spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori media massa yang perkasa,
yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama.
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity); (2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan (3) konsensus tentang nilai-nilai di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity); (2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan (3) konsensus tentang nilai-nilai di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.
Kesimpulan
Pertumbuhan partai politik dan media massa muncul bersamaan
sebagai produk reformasi, dan keduanya menjadi pilar terpenting dalam
demokratisasi di Indonesia. Media massa yang demikian bebas diharapkan mampu
memberikan akses informasi yang beragam bagi kebutuhan masyarakat. Setiap saat
curahan informasi sedemikian masif, mencoba mengambil alih ruang publik dan
membentuk kesadaran massa. Tak terkecuali informasi politik terkait kontestasi
antar parpol maupun kandidat capres/cawapres yang diusungnya.
Adalah wajar jika setiap kandidat
capres/cawapres berkepentingan untuk berkomunikasi dengan massa dalam kerangka
sosialisasi gagasan maupun membentuk citra guna menarik dukungan massa. Media
massa karena itu menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan intensitas
interaksi secara langsung antara para capres/cawapres dengan konstituennya yang
demikian tersebar dan dalam jumlah yang besar.
Hubungan
kepentingan di antara dua kekuatan ini dalam perkembangannya tidak hanya
melahirkan kontrak-kontrak komersial yang bersifat profesional, seperti
periklanan dalam bisnis biasa. Seringkali, hubungan ini menjadi memiliki
dimensi politis dimana antara capres/cawapres dengan parpol pengusungnya
kemudian memiliki hubungan afiliatif
dengan media massa, baik karena tendensi politik dari media massa itu sendiri
maupun konflik status dimana pemilik media massa juga merangkap tim sukses dalam pilpres. Lihat saja setidaknya dalam pemberitaan MNC
Group dan TV One terhadap pasangan Prabowo Hatta dan Metro TV dengan pasangan
Jokowi Kalla. Meski perlu dibuktikan lebih jauh, namun setidaknya potensi
tendensius itu lebih besar bagi kelompok media tersebut.
Hubungan afiliatif media massa dengan
capres/cawapres maupun parpol pengusungnya berdampak pada objektifitas
informasi, bahkan potensi politisasi pemberitaan media. Perburuan rating dan
keuntungan tidak lagi menjadi satu-satunya motivasi, tetapi sangat dimungkinkan
insentif politik lain dari pembelaan media massa terhadap kelompok politik
tertentu. Hipotesis Mutz & Reeves (2005) tentang media massa dan
kepentingan politik setidaknya menjelaskan bahwa penggambaran politik di media
massa memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan, kecenderungan untuk
menyalahkan pihak tertentu, menempatkan politik selalu negatif, maupun
sebaliknya.
Pendekatan
marketing politik dalam Pilpres 2014 akan semakin intensif karena dukungan
media massa. Saat ini industri media di Indonesia sangat maju pesat, sehingga
memungkinkan digunakan secara intensif dalam marketing politik para kandidat
baik perseorangan maupun kelompok. Kedua teori yang dibahas di atas tentunya
memiliki cara pandang masing-masing dalam melihat fenomena ini. Teori Agenda
Setting lebih melihat bahwa media mampu menonjolkan apa yang nantinya juga akan
dianggap penting oleh khalayak. Teori Spiral
of Silence menunjukkan seseorang akan memerhatikan lingkungannya dalam
rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak
populer. Pandangan minoritas biasanya menyesuaikan diri dengan opini publik
yang berkembang. Sementara media massa biasanya menjadi berpengaruh dalam
pembentukan opini publik tersebut. Dengan demikian kedua teori tersebut, cukup
bisa menjelaskan realitas marketing politik dalam perhelatan Pemilu Presiden
2014.
Daftar Pustaka
Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan
Partai Politik. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1998).
Blumler, Jay G. and Gurevitch, Michael (1995).The Crisis of
Public Communication. (London and New York : Routledge).
Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, No Easy Choice:
Political Participation in Developing Countries (Cambridge : Harvard University
Press,1977).
McClosky, Herbert., Political Participation, International
Encyclopedia of the Social Sciences, Edisi ke-2 (New York: The McMillan Company
and the Free Press, 1972), XII.
Powel Jr., Bingham. Contemporary Democracies, Participan,
Stability and Violence. (New York : Harvard University Press. 1982).
Newman, Bruce., The Mass Marketing of Politics Democracy in
An Age of Manufactured Images, (London, New Delhi : Sage Publications, 1999).
Mauser, G., Political Marketing : An Approach to Campign
Strategy, (New York : Praeger, 1983).
Noer, Deliar., Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta :
Rajawali, 1983)
Newman, Bruce I (ed.), Handbook of Political Marketing,
(London : Sage Publication Inc., 1999).
Newman, Bruce I and Perloff, Richard M, Political Marketing
: Theory, Research and Applications, in Kaid, Lynda Lee, Handbook of Political
Communications Research, (London : Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004).
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. ( Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1994).
Roger, EM & Storey J.D. Communication Campaign. In C.R.
Berger & S.H Chaffee (ed..), Handbook of Communications Science, (New Burry
Park, CA : Sage, 1987)
Pfau, Michael & Roxanne Parrot. Persuasive Communication
Campaign, (Massachussets: Allyn and Bacon, 1993).
Suryadi,Syamsu. Elit Politik dalam Komunikasi Politik di
Indonesia. Dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun. Indonesia dan Komunikasi
Politik. (Jakarta : Gramedia, 1993).
Tan, Alexis S (1981). Mass Communication Theories and
Research. (Ohio : Grid Publising, Inc).
No comments:
Post a Comment