ANALISA
PERUMUSAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2012
TENTANG PENYELENGGARAAN
PARKIR DI SIDOARJO
Pendahuluan
Desentralisasi
pemerintahan, baik di negara federal maupun di negara kesatuan, menimbulkan
beberapa masalah yang paling sulit dalam bidang keuangan publik. Pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah memerlukan pengeluaran oleh Pemerintah
Daerah. Pemerintah Daerah tersebut harus mengamankan pendapatannya untuk
membiayai pengeluaran. Beberapa masalah yang sering kali timbul adalah: sumber
pendapatan apa yang terbaik, seberapa besar dan luas cakupannya, ketergantungan
terhadap pemerintahan yang lebih tinggi, apakah ketergantungan tersebut
mengurangi otonomi Pemerintahan Daerah dan melemahkan akuntabilitas dan
resposibilitas pemilih dan masyarakat, efek inflasi apa yang berpengaruh
terhadap pengeluaran daerah, mengapa beberapa pemerintah pusat menolak
pelimpahan pendapatan ke pemerintah daerah dan sebagainya.
Masalah keuangan
Pemerintah Daerah pasti erat hubungannya dengan sebagian besar keputusan-keputusan
lain yang harus dibuat tentang desentralisasi di negara-negara kontemporer.
Terutama hubungan antara pembiayaan pemerintah daerah dengan hubungan
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah dengan
keuangan publik yang terdesentralisasi hanya dapat dipisahkan secara artificial. Kontroversi yang terjadi
selama bertahun-tahun adalah mengenai pengaruh ketergantungan pemerintah daerah
terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat.
Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah merupakan desentralisasi kewenangan yang bertujuan
untuk memberikan pelayanan umum yang lebih berkualitas dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Berdasarkan prinsip money
follow function, maka pelaksanaan desentralisasi kewenangan tersebut harus
diikuti dengan desentralisasi fiskal. Sekalipun demikian, derajat
desentralisasi kewenangan dan derajat desentralisasi fiskal tidak selalu berada
pada tingkat yang sama sebab hal tersebut sangat bergantung pada kondisi suatu
negara. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa derajat desentralisasi
fiskal sangat tergantung pada kebutuhan terhadap pelaksanaan desentralisasi
kewenangan. Dengan kata lain bahwa efektifitas pelaksanaan desentralisasi
kewenangan sangat tergantung pada dukungan yang diberikan melalui
desentralisasi fiskal.
Kondisi tersebut
menyebabkan format dan pola desentralisasi fiskal sangat bervariasi dengan
dampak yang sangat bervariasi pula, “walaupun desentralisasi diterapkan dengan
format yang sama, dapat saja memberikan hasil berbeda, tergantung pada besar
kecilnya perbedaan kondisi di antara negara-negara tersebut “ (Richard M. Bird
& Francois Vaillancourt, 2000). Artinya idealisasi pola desentralisasi
fiskal sangat terkait dengan berbagai permasalahan negara, misalnya masalah
pemerintahan, kewenangan, politik, sosial maupun masalah budaya. Dengan
demikian penetapan format dan pola desentralisasi fiskal harus disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Terdapat tiga
bentuk pokok desentralisasi fiskal yang ditinjau dari derajat kemandirian pengambilan keputusan,
yaitu
“ Pertama, desentralisasi berarti
pelepasan tanggungjawab yang berbeda dalam lingkungan Pemerintah Pusat ke
instansi vertikal di daerah atau ke Pemerintah Daerah. Kedua, delegasi
berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan
pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah.
Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja
implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan,
berada di daerah “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000)
Dalam
pelaksanaan ketiga variasi bentuk desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan
dalam tingkat yang berbeda atau dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari
tingkat yang paling sentralistis mengarah pada tingkat desentralisasi mengarah
pada tingkat desentralisasi yang dianggap paling ideal. Dinyatakan pula bahwa
desentralisasi fiskal terutama mencakup beberapa hal, yaitu:
a.
Self
Financing atau cost recovery dalam pelayanan
publik terutama melalui pengenaan
retribusi daerah;
b.
Cofinancing
atau coproduction, dimana pengguna jasa publik
berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c.
Peningkatan PAD melalui
penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama pajak properti (PBB),
Pajak Penjualan (PPn), Pajak Penghasilan Perorangan.
Pelaksanaan
Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan
kewenangan yang lebih besar pada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi
daerah dalam pemenuhan PAD, namun hal tersebut belum sepenuhnya mendapat
dukungan yang memadai dari konsep implementasi desentralisasi fiskal. Kurangnya
dukungan tersebut Nampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar Pemerintah
Daerah untuk membiayai kegiatan pemerintahan, terlebih lagi untuk kegiatan
pembangunan, sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak dapat ditingkatkan
secara optimal sesuai tuntutan semangat otonomi. Fenomena ini merupakan hal
yang wajar sebab “ jika suatu negara mendestralisasikan tanggungjawab
pengeluaran yang lebih besar dibandingkan sumber-sumber yang tersedia, maka
tingkat pelayanan akan menurun “
(Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000).
Otonomi Daerah
merupakan perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, merubah
tatanan kehidupan ekonomi masyarakat yang masih rendah ke arah yang lebih baik,
serta mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
Sebagaimana
konsep dasar dari otonomi daerah adalah pemberian wewenang yang lebih luas
kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya
masing–masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan. Maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk
dapat menggerakan segala kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan serta mendorong
peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang dapat menjadi sumber pembiayaan di
daerah. Suatu daerah otonom akan mampu berotonomi apabila daerah tersebut
memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di
daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah Pusat mempunyai porsi
semakin kecil. Sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian terbesar
dalam memobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu
kemandirian atau kemampuan keuangan daerah dicerminkan dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah
dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Era otonomi
daerah telah terjadi pergeseran peran pelaku perekonomian nasional, meskipun
pada intinya tetap bertumpu pada; pemerintah, swasta, dan koperasi. Pemerintah
Daerah menjadi pelaku utama dalam perekonomian, karena dituntut mampu menggali
dan mencari dana bagi pembiayaan pembangunan sendiri. Pemerintah
Daerah dituntut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dengan memanfaatkan
peluang yang ada; baik itu dari sumber sendiri (daerah), nasional, serta
internasional. Sebaliknya setiap peristiwa ataupun kejadian di dunia
internasional dapat berdampak langsung kepada penyelenggaraan di daerah, hal
tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan. Dalam kerangka pembangunan
ekonomi seperti itulah peran ekonomi Pemerintah Daerah diletakkan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 6 menyebutkan bahwa PAD bersumber
dari :
1.
Pajak Daerah
2.
Retribusi Daerah
3.
Hasil pengelolaan kekayaan Daerah
yang dipisahkan, dan
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagai pelaku
ekonomi utama di daerah, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencoba menerapkan kebijakan
parkir berlangganan untuk meningkatkan PAD dengan mewajibkan pemilik kendaraan
yang berplat W Sidoarjo membayar retribusi parkir.
Parkir
berlangganan telah memiliki payung hukum
sejak tahun 2006, atau sejak Peraturan Daerah Nomor
1 Tahun 2006 namun, menurut informasi dari Dinas Perhubungan Sidoarjo, pelaksanan
parkir berlangganan mulai diselenggarakan secara optimal sejak tahun 2009
karena upaya babat alas-babat alas yang menemui kendala karena solidnya
sistem pemilik lahan yang sudah sejak lama berlangsung. Berbagai permasalahan
yang terdapat selama lebih dari 3 tahun dari lama pelaksanaan parkir berlangganan
diakui oleh pihak Dinas Perhubungan menghadapi banyak kendala, baik itu
mengenai pungutan liar oleh juru parkir
maupun tuntutan dari masyarakat agar tidak diwajibkan
dalam membayar dalam arti lain, masyarakat diperbolehkan memilih membayar
retribusi parkir secara berlangganan atau secara non berlangganan
(konvensional).
Berbagai penjelasan
dikemukakan oleh masing-masing stakeholder dan semua stakeholder sepakat bahwa
perumusan parkir berlangganan dalam Peraturan Daerah Nomor
2 Tahun 2012 ini dipengaruhi oleh faktor
ekonomi, yakni PAD yang besar bagi Kabupaten Sidoarjo yang nantinya akan
digunakan untuk pembangunan daerah. Aspek-aspek lain seperti aspek politik ditengarai masih ada, misalnya dengan
memanfaatkan momentum penolakan beberapa fraksi di DPRD terhadap parkir
berlangganan yang getol menolak pelaksanaan parkir
berlangganan hanya ketika berada di depan media sebagai bentuk pencitraan
terhadap partai mereka, juga mengenai pembangunan yang bisa dilakukan
Pemerintah Kabupaten
dengan peningkatan PAD dari sektor Retribusi Daerah.
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan
Peraturan Daerah tentang retribusi tersebut tidak berlaku surut. Peraturan
Daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur tentang ketentuan
mengenai:
a.
Nama,obyek, dan Subyek retribusi;
b.
Golongan retribusi;
c.
Cara mengukur tingkat pengguna jasa
yang bersangkutan;
d.
Prinsip yang dianut dalam penetapan
struktur dan besarnya tarif retribusi;
e.
Struktur dan besarnya tarif retribusi;
f.
Wilayah pemungutan;
g.
Tata cara pemungutan;
h.
Sanksi administrrasi;
i.
Tatacara penagihan;
j.
Tanggal mulai berlakunya.
Pemungutan retribusi parkir di Sidoarjo menurut Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo
pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa, Pemungutan retribusi pelayanan parkir dapat
dilakukan :
a.
Secara langsung, dan
b.
Secara berlangganan.
Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara langsung
sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) huruf a dipungut oleh Dinas Perhubungan
Kabupaten Sidoarjo, pemungutan retribusi baik parkir tepi jalan umum, parkir
ditempat khusus, maupun parkir insidentil dilaksanakan oleh petugas parkir
dengan menggunakan bukti pembayaran berupa media pungut. Media Pungut hanya berlaku
satu kali parkir dan sesudahnya tidak dapat dipakai kembali.
Sedangkan Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara
berlanggganan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) huruf b dilakukan dengan
cara kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dan Kepolisian Resort Sidoarjo, adapun pemungutan retribusi
dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang ber nopol W Sidoarjo dan terdaftar
pada Kantor Bersama SAMSAT Sidoarjo pada saat perpanjangan STNK/BBNKB. Setiap
pemilik kendaraan bermotor yang telah membayar retribusi parkir berlangganan
diberi tanda bukti pelunasan yang telah diporporasi dan bernomor seri serta
stiker. Retribusi parkir berlangganan berlaku untuk pelayanan parkir
tepi jalan umum dan parkir di tempat khusus parkir milik Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo.
Pada awalnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memandang
bahwa sektor parkir memiliki potensi menjadi sumber dana yang bagus apabila
dikelola sendiri oleh pemerintah sehingga terdapat dua keuntungan yang dapat dirasakan
sekaligus, yakni pendapatan bagi Kabupaten Sidoarjo yang meningkat serta
penataan parkir yang lebih rapi. Pada awal tahun 2006 Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2006 tentang
Retribusi Parkir dan mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo sebagai landasan hukum
untuk menetapkan besarnya retribusi dan pelaksanaannya di lapangan. Perumusan Peraturan
Daerah Nomor 1 tahun 2006 ini sempat ditentang oleh juru parkir yang bertugas
di wilayah Sidoarjo karena akan mematikan pekerjaan mereka, paling tidak
penghasilan mereka akan berkurang daripada saat pelaksanaan parkir
non-berlangganan (konvensional). Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama
masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara
stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan.
Kebijakan publik dapat dipahami sebagai sarana untuk
perebutan sumber-sumber kekuasaan (politik, ekonomi serta berbagai sumber
lainnya yang bisa diperebutkan dalam perumusan kebijakan). Kebijakan pembayaran
retribusi parkir secara berlangganan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
merupakan sarana perebutan sumber-sumber kekuasaan tersebut antar masing-masing
stakeholder. Stakeholder yang terkait dalam parkir berlangganan antara lain
adalah:
1.
Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo
Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo
sebagai lembaga pembuat kebijakan parkir berlangganan dan mengesahkan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo
yang bertujuan untuk peningkatan PAD
dari sektor retribusi.
2.
DPRD
Kabupaten Sidoarjo
DPRD
Kabupaten Sidoarjo sebagai lembaga pembuat Peraturan Daerah untuk
dijadikan landasan hukum untuk menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kabupaten Sidoarjo.
3.
Dinas
Perhubungan Kabupaten Sidoarjo
SKPD ini bertugas sebagai pelaksana
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Parkir berlangganan serta melakukan
pengawasan terhadap juru parkir yang nakal atau curang, serta berwenang untuk
menindak setiap pelanggaran yang ada, dan Dinas Perhubungan membuat karcis
parkir/ stiker parkir berlangganan sebagai tanda parkir.
4.
Masyarakat
Sidoarjo
Masyarakat sebagai pengguna jasa
atau yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten, serta
memenuhi kewajiban yang timbul akibat kebijakan tersebut, sebagai contoh
membayar retribusi parkir setiap tahun bagi pemilik kendaraan ber nopol W Sidoarjo.
5.
Juru
parkir kawasan parkir berlangganan.
Petugas yang melakukan teknis
pelaksanaan parkir sebagaimana perintah dalam Peraturan Daerah yang bertugas
untuk menjaga, mengatur dan menata parkir yang ada di Kabupaten Sidoarjo.
6.
Samsat
(Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Sidoarjo
Instansi Pemerintah yang ditunjuk
sebagai tempat pembayaran retribusi parkir berlangganan bersamaan dengan
pembayaran pajak kendaraan bermotor 1 tahun.
7.
Polres
Sidoarjo
Lembaga yang bertugas menindak,
menyelidiki, menyidik secara ranah hukum apabila terjadi penyimpangan terhadap Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo.
8.
DPPKAD
(Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Kabupaten Sidoarjo
Instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan
sebagai pengelola hasil dari penarikan retribusi parkir berlangganan. Serta
melaporkan kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo hasil dari retribusi yang
dipungut dari masyarakat.
Pelaksanaan parkir
berlangganan ini memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar terhadap PAD
Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan data dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Kekayaan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Sidoarjo pendapatan dari
retribusi parkir berlangganan 3 tahun dari 2010 s/d 2012 cukup besar yaitu pada tahun 2010 mencapai Rp.18.000.000.000,
tahun 2011 mencapai Rp.
20.258.103.000 sedangkan dan pada tahun 2012 sebesar 20.754.231.000.
Pada tahun 2013 Dinas Perhubungan memprediksi ada
12-14 persen kendaraan di Sidoarjo yang tidak membayar pajak. Jika tidak
membayar pajak, otomatis parkir kendaaraan tersebut tidak dibayarkan. sehingga
prediksi penerimaan pada tahun 2013 sebesar Rp 22.267.596.300. Potensi
pendapatan dari parkir berlangganan tersebut menyumbang 26 persen dari total
pendapatan retribusi yang menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sidoarjo. Adapun hasil dari retribusi tersebut dibagi lagi kepada beberapa
stakeholder, antara lain:
1.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
mendapatkan 82% dari Retribusi parkir .
2.
Polres Sidoarjo mendapatkan 5% dari
Retribusi parkir.
3.
Propinsi Jawa Timur Mendapatkan 13%
dari Retribusi parkir.
Faktor-faktor
penghambat pelaksanaan parkir berlangganan
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan yang dibuat
pemerintah Kabupaten Sidoarjo pasti tidak lepas dari permasalahan. Dari
permasalahan tersebut terjadi karena adanya beberapa faktor. Adapun faktor
penghambat pelaksanaan parkir berlangganan diantaranya:
1.
Kenakalan para jukir yang menarik
pungutan liar kepada pengguna retribusi parkir berlangganan;
2.
Lemahnya pengawasan terhadap jukir,
karena petugas pengawas terbatas;
3.
Adanya ancaman dari juru parkir yang
mau ditindak tegas oleh petugas dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo
4.
Gaji pengawas yang kecil,
yaitu sebesar Rp.1.000.000.-/Bulan.
5.
Kurangnya pro aktif dan antusias
dari masyarakat pengguna parkir berlangganan untuk lebih taat kepada peraturan
yang sudah tertulis tentang pelaksanaan retribusi parkir berlangganan di
Kabupaten Sidoarjo,
6.
Sedikitnya lahan parkir berlangganan
yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, yang tidak menjangkau pada
daerah pelosok atau perbatasan;
7.
Tidak disebutkannya perlindungan
hukum dan hak yang tertulis di dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Parkir Berlangganan untuk masyarakat.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaran parkir di Kabupaten Sidoarjo belum berjalan secara efektif dan
optimal selama pelaksanaannya di lapangan. Diharapkan kedepannya, masing-masing
pihak dapat saling memahami peranan dan tugasnya masing. Bagaimana aktor-aktor
pembuat kebijakan bisa membenahi kebijakan-kebijakan yang telah ada, dan
sebagai pelaksana di lapangan juru parkir dan masyarakat dapat mendukung kebijakan tersebut
dengan mentaati peraturan yang telah ditetapkan.
Selain Faktor Penghambat pelaksanaan parkir
berlangganan, adapula permasalahan berhubungan dengan keluhan dari Stakeholder yang
terlibat dalam pelaksanaan parkir berlangganan, antara lain :
1.
Masyarakat
pengguna jasa parkir
Kebanyakan masyarakat Sidoarjo tidak setuju dengan
adanya parkir berlangganan ini, karena masyarakat sering dirugikan. Mulai
banyaknya pungutan liar yag dilakukan oleh juru parkir resmi, keamanan
kendaraan tidak terjamin serta kurangnya titik parkir.
2.
Jukir
Sering
adanya laporan tentang pungutan liar yang dilakukan oleh jukir tidak terlepas
dari keluhan para jukir. Antara lain Seringnya gaji yang telat, Gaji jukir yang
minim yaitu sebesar Rp. 700.000,-/bulan, hal ini jauh dari KHL yang ditetapkan
oleh Gubernur Jatim, serta mahalnya karcis yang harus dibeli oleh jukir di Dinas
Perhubungan, yaitu Rp. 100,000,- /bendel untuk Motor dan Rp. 150,000,-/bendel
untuk Mobil, sehingga juru parkir tidak punya untung dalam penjualan
karcis..Selain itu para jukir harus setor kepada pemilik lahan.
3.
Pengawas
Dinas Perhubungan
Tidak hanya masyarakat dan jukir yang mempunyai
keluhan, begitupun juga petugas pengawas parkir berlanggganan pun juga
mempunyai kendala, yakni minimnya gaji petugas pengawas, kurangnya fasilitas
tempat yang digunakan untuk melakukan pengawasan, mulai dari tidak adanya
toilet, tendanya kurang layak, karena kalau hujan pasti petugas terkena
percikan air hujan, selain itu juga sering bingung dengan juru parkir resmi,
karena juru parkir resmi seringkali menyerahkan rompinya ke juru parkir tidak
resmi.
Kajian Teori
Kajian
terhadap perumusan kebijakan publik dapat menggunakan teori elit dan model
rasional - komprehensif. Model elit dalam formulasi kebijakan berangkat dari
teori yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan refleksi dari
kepentingan para elit pembuat kebijakan. Menurut model elit bahwa kebijakan
publik yang mencerminkan nilai-nilai
kepentingan rakyat hanyalah mitos dan bukan merupakan realitas kehidupan
masyarakat demokrasi. Thomas R. Dye mengatakan bahwa masyarakat memiliki
perilaku apatis dan tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kebijakan
publik, sehingga yang terjadi adalah opini-opini yang dikeluarkan oleh para
elit pembuat kebijakan yang mendorong masyarakat beropini mengenai permasalahan
dan kebijakan yang diperlukan yang berarti para elit membentuk opini masyarakat
dan bukan masyarakat yang membentuk opini elit pembuat kebijakan. Semakin
tinggi kadar elit dalam suatu kebijakan semakin besar pula keresahan masyarakat
terhadap suatu kebijakan.
Model
yang kedua adalah model rasional - komprehensif, yang mengggambarkan bahwa para
elit pembuat kebijakan cenderung memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan
sebuah kebijakan. Semakin besar dampak kerugian dalam pelaksanaan suatu
kebijakan, maka kecil kemungkinan kebijakan tersebut akan diundangkan. Salah
satu elemen dalam model perumusan kebijakan rasional - komprehensif ini adalah
mengenai kalkulasi untung rugi penerapan suatu kebijakan serta pemilihan
terhadap kebijakan yang dirasa memberikan dampak keuntungan lebih besar
daripada alternatif kebijakan lainnya.
Dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo merupakan tindaklanjut dari
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Secara politik ada beberapa pihak yang mempunyai kepentingan antara lain:
1.
Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo dalam hal ini Dinas Perhubungan yang mendorong rumusan
parkir berlangganan tetap dilaksanakan, karena selama ini sektor parkir
berlangganan memberikan kontribusi 26 % dari penerimaan PAD sektor retribusi,
selain memberikan kontribusi yang besar dibandinngkan dengan parkir non
berlangganan juga untuk mengatur ketertiban, keamanan dan kerapian kendaraan
bermotor yang diparkir di tepi jalan umum.
2.
DPRD
Kabupaten Sidoarjo, sebagai lembaga representatif bagi masyarakat Sidoarjo
memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo apakah sudah sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun
2012. Lembaga ini juga menampung segala
bentuk keluhan, kritik dan saran dari masyarakat pengguna jasa parkir
berlangganan, sehingga dari keluhan-keluhan ini, DPRD bisa mengambil
tindakan-tindakan yang dirasa perlu untuk keberlangsungan implementasi Peraturan
Daerah Nomor 2 tahun 2012.
3.
Provinsi
Jawa Timur dalam hal ini Dinas Pendapatan, merupakan SKPD teknis yang diberi
kewenangan Gubernur untuk mengadakan MoU bersama-sama dengan Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo dan Polres Sidoarjo terkait pelaksanan parkir berlangganan
di kab/kota, sehingga implementasi parkir berlangganan diusahakan tetap
berjalan secara berkelanjutan. Parkir
berlangganan ini memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi sebesar 13%,
kontribusi ini diberikan atas pemberian pelayanan pembayaran di Samsat Sidoarjo
serta penggunaan data base kendaraan bermotor yang ada di Samsat Sidoarjo.
4.
Kepolisian Resort Sidoarjo sebagai
unsur pengawal kebijakan parkir berlangganan, sehingga pelaksanaan di lapangan
berjalan dengan lancar, kepentingan untuk mempertahankan implementasi parkir
berlangganan karena adanya kontribusi yang diberikan sebesar 5% yang merupakan
bagian operasional keamanan parkir berlangganan di wilayah hukum Sidoarjo,
5.
Masyarakat terpolarisasi menjadi dua
ada yang menolak rumusan kebijakan ini
serta ada yang menerima. Masyarakat yang menolak lebih cenderung karena adanya
keluhan terkait pelaksanaan teknis di lapangan, satu sisi masyarakat sudah
membayar parkir berlangganan di Samsat Sidoarjo bersamaan dengan pembayaran
pajak kendaraan bermotor 1 tahun, tetapi masyarakat juga masih ditarik pungutan
parkir di area parkir berlangganan oleh para juru parkir
6.
Juru parkir lebih banyak menolak kebijakan
parkir berlangganan, mereka tidak mau disalahkan terkait komplain dan tuntutan
masyarakat mengenai pelaksanan parkir berlangganan. Para juru parkir menilai
bahwa mereka tidak memaksa bagi pengguna parkir di kawasan berlangganan untuk
membayar akan tetapi apabila ada yang memberi mereka menerima. Para juru parkir
sepakat bahwa kebijakan parkir berlangganan merugikan mereka, alasannya jelas
pendapatan mereka turun. Sebulan para juru parkir ini digaji Rp. 700.000,-,
namun mereka masih harus membaginya dengan pemilik lahan/bos mereka. Selain itu
gaji juru parkir sering dipotong oleh oknum Dinas Perhubungan.Dalam perumusan
kebijakan parkir berlangganan ini para juru parkir tidak pernah diundang rapat,
yang diundang hanya pemilik lahan parkir atau bos mereka.
7.
Para pengusaha parkir cenderung
dikalahkan kepentingannya dengan pelaksanaan kebijakan parkir berlangganan.
Pelaksanaan parkir berlangganan yang diatur dan dikelola oleh pemerintah
berarti mematikan sumber pendapatan para pengusaha parkir.
Saran
Kebijakan
pelaksanaan parkir berlangganan merupakan perumusan semua stakeholder yang
terkait baik dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, DPRD Kabupaten Sidoarjo, Dinas
Pendapatan Provinsi Jawa Timur maupun unsur kepolisian serta masyarakat sebagai
obyek kebijakan. Kebijakan yang sudah baik ini hendaknya terus dijalankan
dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan teknis di lapangan. Besarnya
potensi PAD dari retribusi parkir berlangganan ini merupakan modal untuk
membangun infrastruktur serta pelayanan publik kepada masyarakat Sidoarjo.
Hal-hal yang perlu di benahi dalam perumusan kebijakan parkir berlangganan
antara lain:
1.
Pemerintah kabupaten Sidoarjo selaku
pembuat kebijakan parkir berlangganan yang mempunyai kewenangan dibidang
pelayanan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, perlu untuk
melakukan pembenahan dalam sistem parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo.
Khususnya dalam pelayanan yang selama ini dikeluhkan para konsumen
(masyarakat). Diharapkan Dinas Perhubungan sebagai perwakilan Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo dalam pelaksanaan parkir berlangganan melakukan tindakan
sebagai berikut:
a.
Menindak tegas terhadap jukir yang
nakal,
b.
Melakukan evaluasi dalam perekrutan
jukir,
c.
Memberikan pengawasan dan pengecekan
yang lebih ketat terhadap petugas jukir resmi,
d.
Mengkaji ulang gaji para
jukir,
e.
Memberikan fasilitas yang layak
kepada pengawas,
f.
Memperluas kawasan parkir
berlangganan, khususnya di daerah perbatasan,
g.
Memperbaiki sistem perparkiran yang
selama ini jukir tidak memberikan bukti karcis resmi bagi pengendara motor yang
berlangganan, supaya memberikan bukti karcis yang bertujuan untuk bukti apabila
terjadi kehilangan kendaraan bermotor,
h.
Secara periodik melakukan sosialisasi
ke setiap kelurahan/desa yang bertujuan supaya masyarakat antusias dan
mendukung program parkir berlangganan.
2.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen
sebaiknya Pemerintah Kabupaten membuat suatu tim untuk menangani keluhan
konsumen dalam bentuk badan pengaduan masyarakat. Upaya penyelesaian sengketa
konsumen melalui upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan
upaya-upaya hukum, mengingat upaya hukum memerlukan proses yang ribet, biaya
mahal, tenaga dan waktu yang cukup lama. Masyarakat yang merasa dirugikan
karena pungutan liat terhadap parkir berlangganan hendaknya melapor kepada
Dinas Perhubungan, sehingga ada fungsi kontrol untuk menindaklanjuti laporan
dari masyarakat terhadap juru parkir yang nakal.
3.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, DPRD
Kabupaten Sidoarjo, Kepolisian Resort Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa
Timur dalam hal ini Dinas Pendapatan Provinsi harus terus aktif mengawal
kebijakan parkir berlangganan ini, jika semua komponen ini telah berjalan dalam
hal pengawasan sesuai tugas dan fungsinya, dapat dipastikan keluhan-keluhan
masyarakat terhadap juru parkir yang nakal dapat segera diselesaikan dengan
baik.
Pengawasan
komprehensif semua komponen stakeholder terhadap rumusan pelaksanan parkir
berlangganan diharapkan memberikan keuntungan bagi semua pihak karena besarnya
PAD suatu daerah akan kembali lagi kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan
serta pelayanan publik.
Daftar Pustaka
Ahmad Yani. 2004. Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Brian C. Smith. 1985. Decentralization
The Territorial Dimension of The State, Jakarta, 2012 telah dialih
bahasakan oleh MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).
Budiarjo, Miriam,
(1991). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiwinarno, (2008). Kebijakan Publik: Teori dan Proses.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin.
2004. Otonomi Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Dunn, William, (1998). Pengantar Analisa Kebijakan Publik.
Yogyakarta: edisi II Gajah Mada University Press.
Nugroho, Rian (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi
dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo.
Wibawa, Samudra,
(2011). Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Peraturan Daerah
Kabupaten Sidoarjo Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Parkir
Peraturan Daerah
Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di
Kabupaten Sidoarjo
No comments:
Post a Comment