DESENTRALISASI FISKAL
“ UPAYA PENGUATAN KEUANGAN DAERAH”
Pendahuluan
Menurut kamus bahasa,
desentralisasi berarti pengurangan pemusatan administrasi pada suatu pusat
tertentu dan pemberian kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (lokal). Pengertian
ini sekaligus menyatakan gagasan desentralisasi sebagai suatu gejala politik
yang melibatkan administrasi dan pemerintahan. Desentralisasi menyangkut
pendelegasian kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam suatu hirarki
teritorial, apakah hirarki tersebut merupakan tingkatan pemerintahan dalam
suatu negara ataukah tingkatan jabatan dalam suatu organisasi berskala besar.
Dalam studi ilmu
politik, desentralisasi merujuk pada distribusi kekuasaan berdasarkan
kewilayahan (teritorial). Desentralisasi berkenaan dengan sejauh mana kekuasaan
(power) dan kewenangan (authority) diserahkan melalui hirarki
yang secara geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan
proses yang memungkinkan berlangsung pembagian tersebut. Salah satu fokus
perhatian desentralisasi adalah mengenai pembagian utama dalam negara kesatuan,
misalnya Inggris dan Wales membagi “counties”
dan “distric’ ; di Prancis terdapat departement dan communes”. Selain negara kesatuan, model pembagian kekuasaan lain
adalah federalisme yang memberikan bukti hadirnya dua bentuk konstitusi utama
di mana desentralisasi dapat dipelajari.
Selain itu setiap
negara bagian dalam federasi, seperti 50 negara bagian di Amerika Serikat atau
19 negara bagian di Nigeria, masing-masing dapat dipandang sebagai suatu negara
kesatuan yang memiliki sistem pemerintah lokalnya sendiri-sendiri.
Desentralisasi mencakup
berbagai jenis hirarki yang merupakan gabungan beragam institusi dan fungsi
yang berbeda. Setiap tingkat pemerintahan dalam suatu negara kesatuan atau federal
dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah. Demikian pula, badan administratif pada semua tingkatan pemerintahan
dapat mempraktekan desentralisasi dalam organisasi mereka.
Kebutuhan akan
desentralisasi tampaknya bersifat universal. Bahkan negara-negara kecil pun
mempunyai Pemerintahan Daerah dengan kadar otonomi tertentu (P. King, 1982, 125: lihat juga Duehacek,
1970, 3ff). Semua negara dewasa
ini agaknya akan berhadapan dengan keharusan untuk memenuhi kebutuhan akan
desentralisasi ini. Kebutuhan tersebut secara sederhana dapat muncul
berdasarkan alasan-alasan adminstrasi praktis. Fungsi-fungsi negara modern
mensyaratkan kebutuhan itu dapat berlangsung pada tingkat lokal. Pajak-pajak
harus dikumpulkan dan peraturan mesti ditegakkan. Pada negara kesejahteraan
klaim (tuntutan) harus dinilai dan kemanfaatan (benefit) harus di bayar. Sementara pada negara-negara sedang
berkembang, para petani mesti diberikan pelayanan berkaitan dengan pinjaman,
benih, dan pupuk.
Daya tarik
desentralisasi tidaklah semata-mata merupakan kebalikan dari sentralisasi,
tetapi juga karena desentralisasi dapat diasumsikan mempunyai kemampuan untuk
menyembuhkan cacat dari sentralisasi. Desentralisasi mempunyai suatu sisi
positif. Desentralisasi umumnya dikaitkan dengan suatu lingkup tujuan-tujuan
ekonomi, sosial dan politik yang luas baik di negara maju maupun di
negara-negara sedang berkembang. Secara ekonomis, desentralisasi dimaksudkan
untuk memperbaiki efisiensi dengan tuntutan untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan secara lokal dan barang publik (Shefard, 1975).
Desentralisasi berguna untuk mengurangi biaya, memperbaiki output dan
memanfaatkan sumber daya manusia secara lebih efektif (D.K. Hart, 1972).
Secara politis,
desentralisasi diharapkan dapat memperkuat akuntabilitas (pertanggungjawaban),
keterampilan politis dan integrasi nasional. Desentralisasi membawa
pemerintahan lebih dekat kepada masyarakat. Desentralisasi menyediakan
pelayanan-pelayanan yang lebih baik terhadap kelompok masyarakat. Desentraliasi
mempromosikan kebebasan, kesamaan dan kesejahteraan (Maas, 1959; D.M. Hill,
1974).
Namun demikian,
desentralisasi tidaklah tanpa kritik. Dalam konteks beberapa teori mengenai
negara, desentralisasi tampak parokial (berwawasan sempit) dan separatis.
Desentralisasi mengancam kesatuan dari kehendak umum (general will). Desentralisasi memperkuat kepentingan-kepentingan
yang sempit dan tersekat-sekat (sectional).
Desentralisasi bersifat “anti egalitarian” (anti kesamaan) melalui dukungannya
pada keanekaragaman regional dalam penyediaan barang-barang publik.
Teori-Teori
Desentralisasi
Dewasa
ini desentralisasi memiliki banyak pendekatan dan diakomodasikan dalam berbagai bentuk pandangan tentang
negara. Apabila dipandang dari konteks teori politik, desentralisasi selalu
diasumsikan sebagai salah satu bentuk dari politik. Pemerintahan yang
menjalankan desentralissi dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk evaluasi
normatif dari bentuk-bentuk wewenang di bidang politik, dilaksanakan untuk
mengimplementasikan dua kondisi yang mendasar. Yang pertama, adalah bahwa
pemerintah di tingkat bawah yang lebih rendah yang akan menjalankan otonomi.
Pemerintah tingkat lebih rendah menjalankan pemerintahannya sendiri sebagai
suatu institusi politik yang berakar dari daerahnya dari mana mereka mendapatkan
kekuasaan hukumnya. Mereka tidak akan diatur oleh wakil-wakil pemerintah pusat
yang ada di daerah akan tetapi diatur oleh institusi politik yang muncul dari
daerah tersebut. Yang kedua adalah bahwa institusi –institusi yang dimaksudkan di
atas akan direkrut secara demokratis. Mereka akan memutuskan suatu
kebijaksanaan dengan mempertimbangkan prosedur-prosedur.
Kondisi yang pertama (pemerintahan
sendiri) tidak memerlukan kondisi kedua (demokrasi), apabila suatu masyarakat
mungkin akan menjadi lebih baik menjadi pemerintahan yang otonom lewat
pemerintahan sistem kerajaan yang turun-temurun, lewat institusi –institusi
federal ataupun bentuk pemerintahan yang
lain. Von Gneist, seorang idealis Prussia abad ke -19 sangat mempercayai bahwa Pemerintah
Daerah adalah merupakan suatu kondisi yang penting dari suatu negara yang ideal,
membatalkan institusi-institusi perwakilan dan persamaan politik untuk membantu
anggota-anggota dari kelas golongan atas. Pemerintah Daerah pada kenyataannya
menegaskan seperti itu sebagai satu cara menentang pelaksanaan demokrasi
(Whalen, 1960). Di Inggris Toulmin dan Smitt, dalam karangannya yang ditulis
pada pertengahan abad ke -19, juga menolak demokrasi sebagai referensi bagi tradisi
pemerintahan yang parokial sebelumnya dengan memilih pejabat-pejabat yang
dinominasikan oleh hakim setempat (D.M. Hill, 1974, hal.26).
Akan tetapi dewasa ini asumsi secara
umum bahwa penyelenggaraan pemerintahan sendiri suatu daerah dalam suatu negara
bangsa akan diorganisasikan secara demokratis, meskipun ada kesempatan untuk
pendapat-pendapat yang berbeda seperti misalnya seberapa
jauh seperangkat institusi dan prosedur dimaksud memenuhi persyaratan
demokratis.
Desentralisasi
Fiskal
Desentralisasi pemerintahan,
baik di negara federal maupun di negara kesatuan, menimbulkan beberapa masalah
yang paling sulit dalam bidang keuangan publik. Pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan di tingkat daerah memerlukan pengeluaran oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah
Daerah tersebut harus mengamankan pendapatannya
untuk membiayai pengeluaran. Beberapa masalah yang sering kali timbul adalah :
sumber pendapatan apa yang terbaik,
seberapa besar dan luas cakupannya,
ketergantungan terhadap pemerintahan yang lebih tinggi, apakah ketergantungan tersebut
mengurangi otonomi Pemerintahan
Daerah dan melemahkan akuntabilitas dan
resposibilitas pemilih dan masyarakat,
efek inflasi apa yang berpengaruh terhadap pengeluaran daerah, mengapa beberapa pemerintah pusat
menolak pelimpahan pendapatan ke pemerintah daerah dan sebagainya.
Masalah keuangan Pemerintah
Daerah pasti erat hubungannya dengan sebagian besar keputusan-keputusan lain
yang harus dibuat tentang desentralisasi di negara-negara kontemporer. Terutama
hubungan antara pembiayaan pemerintah daerah dengan hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah dengan
keuangan publik
yang terdesentralisasi hanya dapat dipisahkan secara artificial. Kontroversi yang terjadi selama bertahun-tahun adalah
mengenai pengaruh ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana dari
pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi
Daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah merupakan desentralisasi
kewenangan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang lebih
berkualitas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip money follow function, maka pelaksanaan
desentralisasi kewenangan tersebut harus diikuti dengan desentralisasi fiskal. Sekalipun demikian, derajat
desentralisasi kewenangan dan derajat desentralisasi fiskal tidak selalu berada pada tingkat yang
sama sebab hal tersebut sangat bergantung pada kondisi suatu negara. Namun yang
perlu digarisbawahi adalah bahwa derajat desentralisasi fiskal sangat
tergantung pada kebutuhan terhadap pelaksanaan desentralisasi kewenangan. Dengan
kata lain bahwa efektifitas pelaksanaan desentralisasi kewenangan sangat
tergantung pada dukungan yang diberikan melalui desentralisasi fiskal.
Kondisi tersebut
menyebabkan format dan pola desentralisasi fiskal sangat bervariasi dengan
dampak yang sangat bervariasi pula, “walaupun desentralisasi diterapkan dengan
format yang sama, dapat saja memberikan hasil berbeda, tergantung pada besar
kecilnya perbedaan kondisi di antara
negara-negara tersebut “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000).
Artinya idealisasi pola desentralisasi fiskal sangat terkait dengan berbagai
permasalahan negara, misalnya masalah pemerintahan, kewenangan, politik, sosial maupun masalah budaya. Dengan demikian penetapan format dan pola
desentralisasi fiskal
harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Terdapat tiga bentuk
pokok desentralisasi fiskal
yang ditinjau dari derajat kemandirian
pengambilan keputusan, yaitu
“ Pertama, desentralisasi berarti pelepasan
tanggungjawab yang berbeda dalam lingkungan Pemerintah Pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke Pemerintah Daerah.
Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak
sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas
nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi
yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang
perlu dikerjakan, berada di daerah “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt,
2000)
Dalam pelaksanaan
ketiga variasi bentuk desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan dalam tingkat
yang berbeda atau dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari tingkat yang
paling sentralistis mengarah pada tingkat desentralisasi mengarah pada tingkat
desentralisasi yang dianggap paling ideal. Dinyatakan pula bahwa desentralisasi
fiskal terutama mencakup beberapa hal, yaitu:
a.
Self
Financing atau cost recovery dalam pelayanan publik
terutama melalui pengenaan retribusi
daerah;
b.
Cofinancing
atau coproduction, dimana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran
jasa atau kontribusi
tenaga kerja.
c.
Peningkatan PAD melalui penambahan
kewenangan pengenaan pajak daerah terutama pajak properti (PBB), Pajak Penjualan (PPn), Pajak
Penghasilan Perorangan.
Transfer dari Pemerintah
Pusat terutama berasal dari sumbangan umum (DAU), sumbangan khusus (DAK),
sumbangan darurat (Dana Darurat) dan bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA. Desentralisasi
fiskal di Indonesia masih berada dalam
tingkat yang sentralistis, sebab “ hampir tiga perempat (75 persen) total
pengeluaran negara secara langsung ditentukan pusat, lainnya sebesar 10 persen
ditransfer ke Pemerintah Daerah. Namun, secara efektif penggunannya dikontrol oleh
pusat. Bahkan yang masih tersisa, sebesar 15 persen dari total pengeluaran
negara, juga banyak dipengaruhi pusat melalui proses perencanaan sampai dengan
persetujuan APBN. Sehingga, secara keseluruhan, distribusi dari tanggungjawab
pengeluaran anggaran masih tetap sentralisitis” (Anwar Shah, 2000).
Kondisi ini sangat
terkait dengan adanya kondisi bahwa sebagian besar kewenangan masih merupakan
tanggungjawab Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan kewenangan yang lebih besar pada Pemerintah Daerah, namun hal
tersebut belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari konsep
implementasi desentralisasi fiskal. Kurangnya dukungan tersebut Nampak dari
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar Pemerintah Daerah untuk membiayai kegiatan
pemerintahan, terlebih lagi untuk kegiatan pembangunan, sehingga pelayanan
kepada masyarakat tidak
dapat ditingkatkan secara optimal sesuai tuntutan semangat otonomi. Fenomena
ini merupakan hal yang wajar sebab “ jika suatu negara mendestralisasikan
tanggungjawab pengeluaran yang lebih besar dibandingkan sumber-sumber yang
tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun
“ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000).
Otonomi Daerah merupakan
perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, merubah tatanan
kehidupan ekonomi masyarakat yang masih rendah ke arah yang lebih baik, serta
mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Undang –
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
Sebagaimana konsep
dasar dari Otonomi Daerah adalah pemberian wewenang yang lebih luas kepada
daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing–masing
sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan. Maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk
dapat menggerakan segala kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan serta
mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang dapat menjadi sumber pembiayaan
di daerah. Suatu daerah otonom akan mampu berotonomi apabila daerah tersebut
memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya dengan tingkat ketergantungan
kepada Pemerintah Pusat mempunyai porsi semakin kecil. Sehingga Pendapatan Asli
Daerah harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Oleh karena itu kemandirian atau kemampuan keuangan daerah dicerminkan
dari adanya peningkatan Pendapatan Asli
Daerah dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam mendukung
penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan ketersedian sumber daya keuangan yang
tentunya bukan sedikit, apabila
suatu daerah yang tidak memiliki dana yang cukup atau memadai tentunya memerlukan
tambahan dari pihak lain dalam mendukung pelaksananan program pembangunan yang
telah direncanakan tersebut. Pihak lain yang dimaksud adalah suatu lembaga
Perbankan, Pemerintah Pusat atau pihak asing yang peduli dengan program
pembangunan suatu daerah. Realita yang terjadi umumnya pada kabupaten- kabupaten yang baru terbentuk atau baru
mengalami pemekaran dari kabupaten induk, bahwa sumber daya keuangan yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah yang menjadi sumber pembiayaan bagi daerah
cenderung menunjukan suatu kondisi yang masih jauh dari yang diharapkan,
indikasinya adalah bahwa kondisi ini akan menyebabkan kemandirian keuangan yang
rendah serta ketergantungan terhadap sumber pembiayaan kepada Pemerintah Pusat masih
tinggi.
Selain itu, kemandirian
yang lemah juga dapat disebabkan oleh adanya konsekuensi kebijakan yang
terkandung dalam konstitusi. Dalam UUD 1945, Pasal 33 menyatakan bahwa tanah,
air dan segala sesuatu yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan rakyat
dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Akibatnya
sumber penerimaan yang strategis seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) meskipun terletak di wilayah Pemerintah
Daerah menjadi sumber pendapatan bagi Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah
Daerah hanya mengelola sumber pendapatan yang nonstrategis seperti pajak hotel,
pajak reklame, dan pajak restoran. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya kemandirian
keuangan Pemerintah Daerah. Jika
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan tulang punggung sumber pembiayaan
pembangunan daerah itu mengalami kenaikan secara terus menerus akan berdampak
pada peningkatan kemampuan atau kemandirian sumber daya keuangan yang dimiliki Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, serta mengurangi ketergantungan
pembiayaan terhadap Pemerintah Pusat.
Kemampuan suatu daerah
dalam melaksanakan pembangunan daerah dapat dilihat dari derajat fiskal suatu
daerah yaitu dengan menggunakan variabel pokok kemampuan keuangan daerah, yang
selanjutnya kemampuan keuangan dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah
terhadap total pendapatan daerah dan total belanja yang mencerminkan
kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan merupakan suatu kondisi
dimana Pemerintah Daerah tidak rentan terhadap sumber pendanaan di luar kendalinya atau pengaruhnya
(CICA,1997).
Sebagai contoh
perbandingan realisasi PAD Dipenda Jawa Timur dengan Pendapatan Daerah Provinsi
Jawa Timur selama 5 (lima) tahun sebagaimana tabel di bawah ini:
PERBANDINGAN REALISASI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
DINAS PENDAPATAN PROVINSI JAWA TIMUR
DENGAN PENDAPATAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
No.
|
Tahun
|
PAD DIPENDA
|
Pendapatan Daerah
|
%
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
2009
2010
2011
2012
2013
|
4.931.762.475.042.00
6.016.523.349.824,94
7.339.553.859.353,52
7.863.227.376.466,00
9.464.416.237.214,37
|
7.827.694.815.532,45
8.837.303.648.090,00
11.843.162.193.867,00
15.551.059.767.017,00
17.390.237.194.309,00
|
63,00
68,08
61,97
50,56
54,42
|
Sumber: Penkas Dipenda
Prov. Jatim
Pada Tabel di atas
dapat diketahui bahwa, PAD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Provinsi Jawa
Timur selama 5 (lima) tahun terakhir rata-rata memberi kontribusi sebesar 59,6
%. Dari data tersebut menunjukan bahwa masih adanya ketergantungan Pemerintah
Daerah terhadap Pemerintah Pusat terkait pendapatan
daerah Provinsi Jawa Timur.
Keuangan Daerah
Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 379) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun
2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut. Dengan demikian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang dapat dinilai dengan uang. Keuangan
daerah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat.
Sumber Keuangan Daerah
Dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan daerah
terdiri atas :
a. Pendapatan Asli
Daerah
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah
terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
PAD yang sah
b. Dana Perimbangan
Merupakan sumber Pendapatan Daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan
kewenangan Pemerintahan Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah,
yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik. Dana Perimbangan
merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing
jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi (Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin, 2007 :
173-174). Dana Perimbangan terdiri dari :
1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
2. Dana Alokasi Umum
Dana
Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
sesuai prioritas nasional.
c. Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah
Menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lain-lain pendapatan
terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga
dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang
dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar
kembali. Sedangkan Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar
biasa, dan/atau krisis solvabilitas.
Arah Kebijakan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan
daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan
daerah secara umum mengacu pada paket reformasi keuangan negara, yang dituangkan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Sebagai subsistem dari
pengelolaan keuangan negara dan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah,
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini telah dijabarkan secara lebih rinci dan teknis dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 memuat berbagai kebijakan
terkait perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban Keuangan
Daerah. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal mungkin
dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan
umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya
dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, APBD
dapat dipandang sebagai instrumen kebijakan fiskal bagi Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan pembangunan di daerah. Artinya. dengan APBD tersebut, paling
tidak, Pemerintah Daerah bisa mempengaruhi seluruh kegiatan perekonomian daerah
dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu APBD juga dapat dipandang
sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi, sebagai dokumen politik APBD akan
menjelaskan siapa-siapa atau sektor-sektor
apa saja yang menerima bagian terbesar dari pengeluaran Pemerintah Daerah,
serta siapa-siapa yang menanggung beban pembiayaan Pemerintah Daerah. Sebagai dokumen
ekonomi APBD menjelaskan seberapa besar alokasi penerimaan dan pengeluaran Pemerintah
Daerah yang digunakan mempengaruhi pencapaian target-target pembangunan. Mengingat
begitu strategisnya peran APBD dalam konstelasi pembangunan daerah maka
keseluruhan proses penetapan APBD ini dirasa perlu diatur dalam perundang-undangan
yang diharapkan dapat mengharmoniskan pengelolaan keuangan daerah baik antara Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat serta antara Pemerintah Daerah dan DPRD ataupun
antara Pemerintah Daerah dan masyarakat. Dengan demikian daerah dapat mewujudkan
pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, berdasarkan tiga pilar utama, yaitu transparansi,
akuntabilitas dan partisipatif. Dalam perkembangan terakhir isu-isu strategis
tentang penerimaan daerah (pendapatan daerah) dan pengeluaran daerah (belanja daerah)
adalah berkaitan dengan bagaimana meningkatkan ruang gerak (space fiscal) Pemerintah Daerah,
sehingga meningkatkan kapabilitas penerimaan daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan
pembangunan. Selain itu dari sisi pengeluaran adalah bagaimana meningkatkan
kondisi pengeluaran daerah (belanja daerah) untuk pendidikan, kesehatan,
infrastruktur dan layanan dasar lainnya. Semuanya itu akan sangat dipengaruhi
oleh pola hubungan transaksi antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam menentukan APBD.
Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur
Merujuk pada konsep hak
dan kewajiban, dan menerapkannya pada pengelolaan
keuangan daerah, maka pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih, dan merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri
dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil, Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana
Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
(SDA). Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.
Pendapatan Asli Daerah
akan tetap diupayakan menjadi sumber utama karena
berdasarkan data selama 5
(lima) tahun
terakhir ini, sumbangan PAD terhadap total
pendapatan daerah di Provinsi Jawa Timur, rata-rata 59,6%
Permasalahan
Dalam Pengelolaan Anggaran di Provinsi Jawa Timur
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur memiliki
penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannya
terhadap APBD, namun provinsi tetap mengalami kesulitan membiayai tambahan kebutuhan
pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan
menetapkan tarif pajaknya. Sesuai
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
bersifat closed list system yaitu tarif
pajak ditetapkan seragam untuk provinsi serta tidak boleh memungut pajak di luar yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Dengan demikian
kewenangan perpajakan yang ada saat ini tidak memberikan peluang
bagi daerah untuk menyesuaikan pendapatannya bila dana transfer tidak berdampak terhadap makin besarnya
tuntutan masyarakat akan pelayanan yang semakin
baik, yang tentunya tidak selamanya dapat
dipenuhi dari dana transfer. Masyarakat
akan selalu menuntut pelayanan lebih baik sesuai pajak yang dibayarnya. Untuk meningkatkan kemampuan daerah
dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya,
sekaligus untuk meningkatkan akuntabilitas daerah perlu upaya penguatan perpajakan daerah. Upaya penguatan tersebut perlu
dikaji terus-menerus agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip perpajakan,
sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masayarakat.
Selain itu, kewenangan yang semakin besar dari legislatif dalam proses
penetapan APBD bersama eksekutif sering membatasi keleluasaan gerak eksekutif untuk menetapkan prioritas-prioritas
pengeluaran yang menjadi agenda pembangunan pihak eksekutif. Pembahasan
dalam penetapan APBD di lembaga legislatif
cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line
item), dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan alokasi
anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil.
Kenyataannya setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak lembaga legislatif. Hal ini menyita waktu secara
tidak proporsional di samping kontra-produktif. Ketika satu pos anggaran yang berisi program prioritas
dari eksekutif ditolak oleh legislatif, maka hal ini membatasi kreativitas dan
ruang gerak eksekutif. Pada kondisi seperti ini, dapat diartikan, ruang gerak
fiskal bagi eksekutif menjadi terbatas, atau hal ini dapat
dipahami sebagai kondisi menurunnya kapabilitas penerimaan daerah yang dapat
dikelola oleh pihak eksekutif dengan segala kewenangannya. Paradigma
ini haruslah diubah, sehingga diskusi antara legislatif dan eksekutif dalam
penetapan anggaran nantinya lebih berfokus pada kebijakan dan prioritas
pengeluaran.
Ketika Pendapatan Asli
Daerah (PAD) hanya dapat meningkat dalam jumlah terbatas, sedangkan dana
perimbangan dari pemerintah pusat bersifat given,
maka disisi lain kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan,
kesehatan, infrastruktur serta layanan dasar lainnya sesuai amanat
undang-undang tidak dapat dihindari, maka upaya meningkatkan ruang gerak fiskal
menjadi sangat penting artinya. Dalam konteks di daerah, peningkatan ruang
gerak fiskal ini salah satunya dapat dicapai melalui harmonisasi hubungan
transaksional antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD. Peningkatan
ruang gerak fiskal ini tercapai jika keleluasaan eksekutif untuk menentukan
anggaran-anggaran yang menjadi prioritas kebutuhan pembangunan yang disusun
berdasarkan visi, misi dan program Kepala Daerah semakin meningkat. Meski legislatif
memiliki wewenang yang besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara
pihak eksekutif dan legislatif
dalam penetapan APBD terlalu berfokus pada hal-hal yang detail, sehingga
cenderung mengorbankan diskusi mengenai kebijakan.
Permasalahan yang
terkait aspek perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah bagaimana
melakukan sinkronisasi antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Apa
yang sudah ditetapkan dalam kebijakan Pemerintah Daerah harus sama dengan yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya pada saat dilakukan
penganggaran, apa yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran harus diterjemahkan sama dalam dokumen penganggaran, agar dapat
dilihat hubungan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen
penganggaran. Permasalahan untuk melakukan sinkronisasi ini sering terkendala
akibat ketidak konsistenan peraturan yang mengatur mengenai perencanaan dan
penganggaran. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJMD cukup ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah, sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Permasalahan lain yang
juga menyangkut aspek perencanaan dan penganggaran adalah masih banyaknya APBD
yang belum ditetapkan, meski tahun anggaran telah berjalan cukup lama.
Akibatnya pelayanan kepada masyarakat menjadi terhambat sebagai akibat tidak
dilaksanakannya program dan kegiatan yang menyentuh kepentingan masyarakat
banyak. Implikasi
permasalahan yang timbul sebagai akibat keterlambatan penganggaran adalah
keterbatasan pelaksanaan anggaran. Karena belum ditetapkannya APBD, maka
dokumen pelaksanaan anggaran akan menjadi terhambat.
Kesimpulan
Sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri
dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil, Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana
Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
(SDA). Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.
Pemerintah Daerah provinsi memiliki penerimaan pajak
yang cukup besar sumbangannya
terhadap APBD, namun provinsi tetap mengalami kesulitan membiayai tambahan kebutuhan
pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan
menetapkan tarif pajaknya. Sesuai
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
bersifat closed list system yaitu tarif
pajak ditetapkan seragam untuk provinsi
serta tidak boleh memungut pajak di luar yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Terkait permasalahan tersebut Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan sasaran
tekait kebijakan pendapatan daerah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan
sumber-sumber pendapatan daerah;
2.
Makin
optimalnya peningkatan pendapatan daerah
yang bersumber dari Pendapatan Asli daerah dan dana Perimbangan;
3.
Meningkatnya
efisiensi pengelolaan APBD dari sisi pendapatan;
4.
Meningkatnya
ruang gerak fiskal Kepala daerah / Wakil kepala daerah untuk mengatur alokasi
belanja dari pendapatan daerah yang ada.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan pendapatan daerah
Provinsi Jawa Timur dilaksanakan dengan arah kebijakan, sebagai berikut:
1.
Optimalisasi
usaha intensifikasi dan ektensifikasi pajak dan retribusi daerah dalam rangka taxing power di daerah;
2.
Menghapus
pajak kendaraan bermotor roda dua yang tahun pembuatannnhya lama, dan menaikan
pajak kendaraan bermotor roda empat mewah;
3.
Mendorong
pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan yang berasal dari Dana
Perimbangan melalui Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
4.
Mengembangkan
pendapatan daerah yang bersifat netral, dengan meminimalkan timbulnya dampak
distortif atas pengenaan pajak atau retribusi daerah terhadap perekonomian;
5.
Meningkatkan
kontribusi BUMD dengan upaya pengelolaan BUMD yang lebih efisien dan efektif;
6.
Penghapusan
retribusi yang membebani masyarakat kecil;
7.
Menciptakan
hubungan sinergis antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD
berlandaskan pemahaman bersama, bahwa hubungan DPRD dan Gubernur/Wakil Gubernur
tidak semata atas dasar sistem peraturan perundangan yang berlaku, tapi juga
konsensus-konsensus etis, dan nilai-nilai budaya lokal yang didasarkan pada
keadilan, kebebasan dan kebaikan bersama, meletakkan kepentingan publik di atas
kelompok/politik, birokrasi dan pribadi serta mengedepankan prinsip-prinsip good governance.
Dengan sasaran dan arah
kebijakan terkait pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Timur 2009
-2014, diharapkan sumber-sumber pendapatan
untuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat dimaksimalkan untuk membiayai
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan visi misi
yang telah ditetapkan.
Daftar Pustaka
Ahmad Yani. 2004. Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Brian C. Smith. 1985. Decentralization
The Territorial Dimension of The State, Jakarta, 2012 Telah dialih bahasakan
oleh MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).
Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang
Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah) Provinsi Jawa Timur
Tahun 2009 – 2014.
No comments:
Post a Comment