PERAN NEGARA ASING SEBAGAI AKTOR
SUPRASTATE
DALAM PROSES DEMOKRASI DI
INDONESIA
PADA ERA GLOBALISASI
PENDAHULUAN
Kata globalisasi berasal dari kata “global” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, berarti secara keseluruhun. Globalisasi
berarti suatu proses yang mencakup
keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak nampak lagi adanya
batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam keadaan global, tentu apa
saja dapat masuk sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol. Terkait dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi memiliki dimensi luas dan
kompleks yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-batas teritorial dan
kedaulatan tidak akan berdaya untuk menepis penerobosan informasi, komunikasi
dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar perbatasan.
Globalisasi dalam arti literal adalah sebuah
perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan
elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan
teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran
budaya dan ekonomi internasional.
Demikian pula pendapat beragam yang dikemukakan para ahli
berkaitan dengan konsep Globalisasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Malcolm Waters
“Globalisasi adalah sebuah proses
sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial-budaya
menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang”.
2. Emmanuel Ritcher
“Globalisasi adalah jaringan kerja
global yang secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya
terpencar-pencar dan terisolasi ke dalam saling ketergantungan dan persatuan
dunia”.
3. Thomas L. Friedman
“Globalisasi memiliki
Dimensi Ideologi dan Teknologi.
Dimensi Ideologi, yaitu kapitalisme dan
pasar bebas, sedangkan Dimensi Teknologi
adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia”.
4. Princeton N. Lyman
“Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling
ketergantungan dan hubungan antara negara-negara di dunia dalam hal perdagangan
dan keuangan”.
5. Leonor Briones
“Demokrasi bukan hanya
dalam bidang perniagaan dan ekonomi
namun juga mencakup globalisasi terhadap institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi
manusia dan pergerakan wanita”.
Fenomena globalisasi yang sedang dihadapkan oleh umat manusia
semenjak abad ke-20 dapat ditandai oleh beberapa hal, di antaranya adalah :
1. Arus Etnis ditandai dengan mobilitas manusia yang tinggi dalam bentuk
imigran, turis, pengungsi, tenaga kerja dan pendatang. Arus manusia ini
telah melewati batas-batas teritorial negara.
2. Arus Teknologi ditandai dengan mobilitas teknologi, munculnya multinational
corporation dan transnational corporation yang kegiatannya dapat menembus
batas-batas negara.
3. Arus Keuangan yang ditandai dengan makin tingginya mobilitas modal, investasi, pembelian
melalui internet penyimpanan uang di bank asing.
4. Arus Media yang ditandai dengan makin kuatnya mobilitas informasi, baik
melalui media cetak maupun elektronik. Berbagai peristiwa di belahan
dunia seakan-akan berada di hadapan kita karena cepatnya informasi.
5. Arus Ide
yang ditandai dengan makin derasnya nilai baru yang masuk ke suatu
negara. Dalam arus ide ini muncul isu-isu yang telah menjadi bagian dari
masyarakat internasional. Isu-isu ini merupakan isu internasional yang
tidak hanya berlaku di suatu wilayah nasional negara.
Berdasarkan fenomena yang nampak pada globalisasi, dapat dijumpai
adanya tanda-tanda yang dapat kita rasakan di dalam kehidupan sehar-hari
tentang globalisasi sebagai berikut :
1. Meningkatnya perdagangan
global.
2. Meningkatnya aliran modal
internasional, diantaranya investasi langsung luar negeri.
3. Meningkatnya aliran data
lintas batas, seperti penggunaan internet, satelit komunikasi dan telepon.
4. Adanya desakan berbagai
pihak untuk mengadili para penjahat perang di Mahkamah Kejahatan Internasional
(International Criminal Court), dan adanya gerakan untuk menyerukan
keadilan internasional.
5. Meningkatnya pertukaran
budaya (cultural exchange) internasional, misalnya melalui ekspor
film-film Hollywood and Bollywood.
6. Menyebarluasnya paham
multikulturalisme dan semakin besarnya akses individu terhadap berbagai macam
budaya.
7. Meningkatnya perjalanan
dan turisme lintas negara.
8. Berkembangnya
infrastruktur telekomunikasi global.
9. Berkembangnya sistem
keuangan global.
10. Meningkatnya aktivitas
perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
11. Meningkatnya peran
organisasi-organisasi internasional, seperti WTO, WIPO, IMF, yang berurusan
dengan transaksi-transaksi internasional.
GLOBALISASI DALAM ISU DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi
memiliki banyak pemahaman konsep dan kerap kali dianggap ambigu (Budiarjo,
2005: 50). Ambiguitas ini pada akhirnya menjadikan pelaksanaan demokrasi di
setiap negara di dunia hanya bergerak pada demokrasi prosedural, bukan
demokrasi substansial. Adanya Pemilu dan representatif rakyat dalam badan
pemerintahan, nyatanya tidak bisa merangkum semua aspirasi masyarakat. Seperti
contohnya di Indonesia, Pemilu yang diselenggarakan pada kenyataannya sarat
akan money politics, sehingga
rakyat cenderung terpengaruh untuk memilih delegasi tersebut. Pemilu yang
menjadi kunci dari adanya pemerintahan yang demokratis, kini justru dijadikan
sebagai simbol formalitas untuk mendapatkan legitimasi masyarakat.
Semakin
menuju ke arah kontemporer, globalisasi disebut-sebut memilih pengaruh yang
kuat pada perkembangan demokrasi. Menurut Lipset (1959 dalam Bhagwati, 2004:
94) globalisasi akan mereduksi angka kemiskinan, sehingga kesejahteraan akan
tercapai. Dengan tercapainya kesejahteraan, maka demokratisasi akan dijelang dengan
mudah karena kemunculan kaum-kaum kelas menengah ke dalam pemerintahan.
Pernyataan ini menjadikan banyak asumsi positif yang muncul antara globalisasi
dan demokrasi itu sendiri. Namun pada kenyataannya, perwujudan demokrasi di
tingkat global tidak selalu berjalan dengan mudah. Demokrasi dalam era
globalisasi ini lebih cenderung mengalami penurunan kualitas dan tererosi
maknanya.
John
Art Scholte (2000: 262) menyatakan bahwa jantung dari demokrasi sebenarnya
adalah keterbukaan, kesetaraan dan pengambilan keputusan secara kolektif.
Namun, akhir-akhir ini eksistensi demokrasi dipertanyakan bahkan cenderung
untuk diragukan. Konsep demokrasi menjadi tidak lagi sejalan karena adanya
presepsi yang berbeda-beda tentang perwujudan demokrasi terkait dengan perbedaan
latar belakang sejarah dan kondisi sosial budaya. Akibatnya, banyak negara
dunia ketiga yang terkena dampak gelombang demokratisasi justru tidak
mendapatkan status demokratis. Scholte (2000: 264-5) juga skeptis dengan
hubungan globalisasi dengan demokrasi. Pertama, ia tidak yakin bahwa
demokratisasi global berperan dalam membuat negara non-demokrasi menjadi
demokrasi, seperti misalnya kasus Indonesia, Thailand, Kazakhstan, Palestina
dan Myanmar. Kedua, Scholte berpendapat bahwa adanya Pemilu dengan peserta
multipartai cenderung diboncengi kepentingan pribadi sehingga mengesampingkan
aspirasi nasional. Ketiga, demokrasi saat ini tidak berjalan sesuai dengan
substansinya. Dan keempat, adanya defisit demokrasi ketika aktor-aktor suprastate mempengaruhi kedaulatan negara.
Dalam hal ini, lembaga formal regional dan internasional mengambil sebagian
kedaulatan negara, sehingga perwujudan kepentingan rakyat cenderung berkurang. Tidak
hanya di keempat hal itu saja yang menjadi perhatian dari Scholte. Ketika globalisasi
semakin bertumbuh dengan adanya inovasi teknologi komunikasi, maka yang
diharapkan adalah kemudahan turut serta dalam pengambilan kebijakan publik
melalui semua lini. Bahkan saat ini cukup marak dikenal dengan istilah e-democracy. Masalah yang
nyata adalah bahwa tidak setiap individu dapat mengakses pertumbuhan teknologi
ini. Akibatnya, lagi-lagi hanya sebagian pihak yang menyuarakan pendapatnya.
Ini sempat menjadi perhatian masyarakat global yang dengan pemikiran
kosmopolitnya mengidamkan adanya perubahan sosial yang egaliter sehingga
menghapus segala bentuk eksploitasi dan memperkuat kedaulatan rakyat. Oleh
karenanya, muncul reaksi gerakan global untuk menuntut hal ini. Tetapi, reaksi
kemanusiaan secara umum, hanya dilakukan oleh masyarakat yang terlibat dalam
NGO dan sebagainya. Organisasi civil
society juga kekurangan transparansi dan akuntabilitas public, organisasi
semacam ini bisa saja menjadi gerakan neofasis dan mafia demokrasi (Scholte,
2000:279).
Isu-
Isu Demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini yang dikaitkan dengan globalisasi
diantaranya mengutip pendapat Scholte (2000: 264-5) yang skeptis dengan
hubungan globalisasi dengan demokrasi yaitu salah satunya adanya defisit
demokrasi ketika aktor-aktor suprastate mempengaruhi
kedaulatan suatu negara. Aktor suprastate adalah aktor yang bentuk
kekuasaannnya melebihi kekuasaan yang dimiliki negara sebagai contoh PBB,
ASEAN, NATO dan sebagainya. Hal ini diakibatkan adanya penyerahan sebagian
kekuasaan negara-negara sebagai bentuk
representative kepada aktor supra state yang diarahkan kepada sebuah tujuan
bersama (common interest). Aktor
suprastate sendiri merupakan sebuah Organisasi Pemerintahan Internasional (International Government Organizations/ IGOs).
Peran aktor suprastate ini dapat
diindikasikan berupa peran negara asing atau negara super power yang mempunyai
pengaruh serta kepentingan terhadap negara lain yang dibalut dalam wadah yang
berupa IGOs (International Government
Organizations). Setiap proses demokratisasi (Pemilu) di negara manapun
termasuk di Indonesia. Sejak masa - masa awal kemerdekaan RI, campur tangan
asing sudah bisa dilihat pada masa Presiden Soekarno berkuasa hingga ia
terjungkal dari kekuasaannya. Terjungkalnya Soekarno dari kekuasaan disusul
dengan naiknya Soeharto tahun 1960-an disinyalir oleh banyak pengamat politik
sebagai agenda yang tidak dapat terlepas dari peran intelijen asing. Bentuk
intervensi asing yang dapat kita lihat adalah saat Pemilu tahun 2004 yang lalu.
Adanya campur tangan asing dalam Pemilu Presiden 2004 telah disinyalir Kwik
Kian Gie (mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas). Biasanya modus yang dipakai
adalah ada pejabat penting asing yang akan datang ke Indonesia, kemudian akan
ada komentar – komentar dari pejabat
asing tentang persiapan dan pelaksanaan Pemilu di Indonesia, quick qount yang
sangat agresif serta adanya pertemuan – pertemuan dengan jamuan khusus antara
para dubes asing di Indonesia dengan para calon maupun tokoh nasional, tokoh
elit – elit partai dan para Capres. Mendekati pelaksanaan Pemilu tahun 2004
saat itu, Indonesia kedatangan tamu asing, yaitu Carter, dan Collin Powell.
Jimmy Carter datang dengan istrinya Rosalynn serta mantan Perdana Menteri
Thailand Chuan Leekpai ke Indonesia, untuk memimpin para pemantau dari The
Carter Center. Carter membawa ratusan pemantau yang berada dibawah bendera The
Carter Center. Selain memantau, Carter juga ikut mengecek kesiapan KPU dalam
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan juga mengenai hubungan KPU dengan Panwaslu.
Kemudian disusul kedatangan orang nomor tiga Amerika Serikat yakni Colin Powell
(Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu) serta Direktur National
Democratic Institute (NDI), John Rowland yang melakukan pertemuan dengan Akbar
Tanjung di Gedung DPR/MPR yang diklaim mereka sebagai pertemuan reguler tentang
perkembangan Pemilu Presiden. Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup
tersebut, Rowland didampingi Senior Program Menajer dari Washington untuk Asia
Tenggara Blair King dan Direktur Program NDI Stephani Lynn. Sedangkan, Akbar Tandjung
saat itu didampingi Ketua Komisi I DPR RI Ibrahim Ambong. Kemudian kunjungan Wapres
Jusuf Kalla (JK) ke luar negeri termasuk Amerika juga disinyalir tentunya juga
tidak luput dari pembicaraan soal seputar Pemilu Indonesia tahun 2009 saat itu.
Terakhir adalah kunjungan Menteri Luar negeri AS Hillary Clinton ke Indonesia
yang dijadwalkan dua hari, 18 sampai 19 Februari 2009. Intervensi pun kadang
menggunakan modus aliran dana. Saat ini diketahui bahwa ada lima lembaga asing
yang ikut membiayai Pemilu pada tahun 2009. Total dana yang digelontorkannya
sebesar 37,5 juta dolar AS. Bantuan asing untuk pemilu merupakan global grand
strategy AS, Indonesia akan dipaksa setuju dengan proses globalisasi yang
diusung negara - negara donor, khususnya AS. Aliran dana dari AS tersebut
kadang melalui mata rantai perusahaan yang kemudian masuk ke salah satu
rekening pasangan tertentu. Salah satu contohnya seperti dalam proses Pemilu Presiden
Tahun 2004 yang lalu, dimana ada peyumbang fiktif dari 11 perusahaan di Sulawesi
Selatan. Selain itu ada juga aliran dana untuk lembaga - lembaga yang terkait
pemilu seperti KPU, Panwas, LSM dan sebagainya. Oleh karena itu ke depannya
seluruh masyarakat perlu bersikap hati-hati dalam mengikuti Pemilu 2014
mendatang.
Adanya
global grand strategy AS berupa bantuan negara asing terhadap pelaksanaan
Pemilu di Indonesia jelas akan mencederai proses demokrasi, karena siapapun
yang menjadi pemenang dalam proses Pemilu tersebut jelas memberikan kompensasi
terhadap negara asing (negara pendonor) yang memberi bantuan dana
penyelenggaraan Pemilu yang dibalut dalam rangka globalisasi. Globalisasi
berupa intervensi negara asing dalam proses penyelenggaraan Pemilu dapat
mengancam kedaulatan suatu negara karena terjadi proses transaksional dalam proses
demokrasi tersebut. Sudah saatnya Indonesia bangkit merdeka dalam arti
sebenarnya, merdeka dari dikte negara - negara asing, merdeka dalam segala lini
kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,dan hankam.
KESIMPULAN
Ungkapan
“politik global” yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan,
hegemoni dan pengaruh global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia.
Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara,
lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut
juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antara kekuatan militer yang
menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, Seperti sebuah negara, dunia
global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.
Pengaruh globalisasi politik,
menimbulkan begitu banyak kepentingan-kepentingan yang
tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan
unsur suprastate.
Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi
kecuali dengan mengkondisikan eksternal sebagai support kepentingan domestik. Maka
globalisasi politik tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan
kepentingan para pelaku yang menjalankannya.
Daftar Pustaka
1.
Bhagwati,
Jagdish. 2004. “Democracy at Bay”, dalam In
Defense of Globalization, Oxford: Oxford University Press, pp.
92-105.
2.
Budiarjo,
Miriam. 2005. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3.
Scholte,
Jan Aart. 2000. “Globalization and (Un) Democracy”, dalam Globalization: a Critical Introduction,
New York: Palgrave, pp. 261-282.
No comments:
Post a Comment