Thursday, 28 August 2014

Aktor Suprastate



PERAN NEGARA ASING SEBAGAI AKTOR SUPRASTATE
DALAM PROSES DEMOKRASI DI INDONESIA
PADA ERA GLOBALISASI

PENDAHULUAN
Kata  globalisasi berasal dari kata “global” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, berarti secara keseluruhun. Globalisasi berarti suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak nampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam keadaan global, tentu apa saja dapat masuk sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol. Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi memiliki dimensi luas dan kompleks yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-batas teritorial dan kedaulatan tidak akan berdaya untuk menepis penerobosan informasi, komunikasi dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar perbatasan.
            Globalisasi dalam arti literal adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
 Demikian pula pendapat beragam yang dikemukakan para ahli berkaitan dengan konsep Globalisasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Malcolm Waters
“Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial-budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang”.
2.     Emmanuel Ritcher
“Globalisasi adalah jaringan kerja global yang secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi ke dalam saling ketergantungan dan persatuan dunia”.
3.     Thomas L. Friedman
“Globalisasi memiliki Dimensi Ideologi dan Teknologi. Dimensi Ideologi, yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan Dimensi Teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia”.
4.     Princeton N. Lyman
“Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara negara-negara di dunia dalam hal perdagangan dan keuangan”.
5.     Leonor Briones
“Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi terhadap institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia  dan pergerakan wanita”.
Fenomena globalisasi yang sedang dihadapkan oleh umat manusia semenjak abad ke-20 dapat ditandai oleh beberapa hal, di antaranya adalah :
1.     Arus Etnis ditandai dengan mobilitas manusia yang tinggi dalam bentuk imigran,  turis, pengungsi, tenaga kerja dan pendatang. Arus manusia ini telah melewati  batas-batas teritorial negara.
2.     Arus Teknologi ditandai dengan mobilitas teknologi, munculnya multinational corporation dan transnational corporation yang kegiatannya dapat menembus batas-batas negara.
3.     Arus Keuangan yang ditandai dengan makin tingginya mobilitas modal, investasi, pembelian melalui internet penyimpanan uang di bank asing.
4.     Arus Media yang ditandai dengan makin kuatnya mobilitas informasi, baik melalui  media cetak maupun elektronik. Berbagai peristiwa di belahan dunia seakan-akan berada di hadapan kita karena cepatnya informasi.
5.     Arus Ide yang ditandai dengan makin derasnya nilai baru yang masuk ke suatu  negara. Dalam arus ide ini muncul isu-isu yang telah menjadi bagian dari masyarakat  internasional. Isu-isu ini merupakan isu internasional yang tidak hanya berlaku di  suatu wilayah nasional negara.
Berdasarkan fenomena yang nampak pada globalisasi, dapat dijumpai adanya tanda-tanda yang dapat kita rasakan di dalam kehidupan sehar-hari tentang globalisasi sebagai berikut :
1.     Meningkatnya perdagangan global.
2.     Meningkatnya aliran modal internasional, diantaranya investasi langsung luar negeri.
3.     Meningkatnya aliran data lintas batas, seperti penggunaan internet, satelit komunikasi dan telepon.
4.     Adanya desakan berbagai pihak untuk mengadili para penjahat perang di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court), dan adanya gerakan untuk menyerukan keadilan internasional.
5.     Meningkatnya pertukaran budaya (cultural exchange) internasional, misalnya melalui ekspor film-film Hollywood and Bollywood.
6.     Menyebarluasnya paham multikulturalisme dan semakin besarnya akses individu terhadap berbagai macam budaya.
7.     Meningkatnya perjalanan dan turisme lintas negara.
8.     Berkembangnya infrastruktur telekomunikasi global.
9.     Berkembangnya sistem keuangan global.
10.  Meningkatnya aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh          perusahaan-perusahaan multinasional.
11.  Meningkatnya peran organisasi-organisasi internasional, seperti WTO, WIPO, IMF, yang berurusan dengan transaksi-transaksi internasional.

GLOBALISASI DALAM ISU DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi memiliki banyak pemahaman konsep dan kerap kali dianggap ambigu (Budiarjo, 2005: 50). Ambiguitas ini pada akhirnya menjadikan pelaksanaan demokrasi di setiap negara di dunia hanya bergerak pada demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Adanya Pemilu dan representatif rakyat dalam badan pemerintahan, nyatanya tidak bisa merangkum semua aspirasi masyarakat. Seperti contohnya di Indonesia, Pemilu yang diselenggarakan pada kenyataannya sarat akan money politics, sehingga rakyat cenderung terpengaruh untuk memilih delegasi tersebut. Pemilu yang menjadi kunci dari adanya pemerintahan yang demokratis, kini justru dijadikan sebagai simbol formalitas untuk mendapatkan legitimasi masyarakat.
Semakin menuju ke arah kontemporer, globalisasi disebut-sebut memilih pengaruh yang kuat pada perkembangan demokrasi. Menurut Lipset (1959 dalam Bhagwati, 2004: 94) globalisasi akan mereduksi angka kemiskinan, sehingga kesejahteraan akan tercapai. Dengan tercapainya kesejahteraan, maka demokratisasi akan dijelang dengan mudah karena kemunculan kaum-kaum kelas menengah ke dalam pemerintahan. Pernyataan ini menjadikan banyak asumsi positif yang muncul antara globalisasi dan demokrasi itu sendiri. Namun pada kenyataannya, perwujudan demokrasi di tingkat global tidak selalu berjalan dengan mudah. Demokrasi dalam era globalisasi ini lebih cenderung mengalami penurunan kualitas dan tererosi maknanya.
John Art Scholte (2000: 262) menyatakan bahwa jantung dari demokrasi sebenarnya adalah keterbukaan, kesetaraan dan pengambilan keputusan secara kolektif. Namun, akhir-akhir ini eksistensi demokrasi dipertanyakan bahkan cenderung untuk diragukan. Konsep demokrasi menjadi tidak lagi sejalan karena adanya presepsi yang berbeda-beda tentang perwujudan demokrasi terkait dengan perbedaan latar belakang sejarah dan kondisi sosial budaya. Akibatnya, banyak negara dunia ketiga yang terkena dampak gelombang demokratisasi justru tidak mendapatkan status demokratis. Scholte (2000: 264-5) juga skeptis dengan hubungan globalisasi dengan demokrasi. Pertama, ia tidak yakin bahwa demokratisasi global berperan dalam membuat negara non-demokrasi menjadi demokrasi, seperti misalnya kasus Indonesia, Thailand, Kazakhstan, Palestina dan Myanmar. Kedua, Scholte berpendapat bahwa adanya Pemilu dengan peserta multipartai cenderung diboncengi kepentingan pribadi sehingga mengesampingkan aspirasi nasional. Ketiga, demokrasi saat ini tidak berjalan sesuai dengan substansinya. Dan keempat, adanya defisit demokrasi ketika   aktor-aktor suprastate mempengaruhi kedaulatan negara. Dalam hal ini, lembaga formal regional dan internasional mengambil sebagian kedaulatan negara, sehingga perwujudan kepentingan rakyat cenderung berkurang. Tidak hanya di keempat hal itu saja yang menjadi perhatian dari Scholte. Ketika globalisasi semakin bertumbuh dengan adanya inovasi teknologi komunikasi, maka yang diharapkan adalah kemudahan turut serta dalam pengambilan kebijakan publik melalui semua lini. Bahkan saat ini cukup marak dikenal dengan istilah e-democracy. Masalah yang nyata adalah bahwa tidak setiap individu dapat mengakses pertumbuhan teknologi ini. Akibatnya, lagi-lagi hanya sebagian pihak yang menyuarakan pendapatnya. Ini sempat menjadi perhatian masyarakat global yang dengan pemikiran kosmopolitnya mengidamkan adanya perubahan sosial yang egaliter sehingga menghapus segala bentuk eksploitasi dan memperkuat kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, muncul reaksi gerakan global untuk menuntut hal ini. Tetapi, reaksi kemanusiaan secara umum, hanya dilakukan oleh masyarakat yang terlibat dalam NGO dan sebagainya. Organisasi civil society juga kekurangan transparansi dan akuntabilitas public, organisasi semacam ini bisa saja menjadi gerakan neofasis dan mafia demokrasi (Scholte, 2000:279).
Isu- Isu Demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini yang dikaitkan dengan globalisasi diantaranya mengutip pendapat Scholte (2000: 264-5) yang skeptis dengan hubungan globalisasi dengan demokrasi yaitu salah satunya  adanya defisit demokrasi ketika aktor-aktor suprastate mempengaruhi kedaulatan suatu negara. Aktor suprastate adalah aktor yang bentuk kekuasaannnya melebihi kekuasaan yang dimiliki negara sebagai contoh PBB, ASEAN, NATO dan sebagainya. Hal ini diakibatkan adanya penyerahan sebagian kekuasaan    negara-negara sebagai bentuk representative kepada aktor supra state yang diarahkan kepada sebuah tujuan bersama (common interest). Aktor suprastate sendiri merupakan sebuah Organisasi Pemerintahan Internasional (International Government Organizations/ IGOs).  Peran aktor suprastate ini dapat diindikasikan berupa peran negara asing  atau negara super power yang mempunyai pengaruh serta kepentingan terhadap negara lain yang dibalut dalam wadah yang berupa IGOs (International Government Organizations). Setiap proses demokratisasi (Pemilu) di negara manapun termasuk di Indonesia. Sejak masa - masa awal kemerdekaan RI, campur tangan asing sudah bisa dilihat pada masa Presiden Soekarno berkuasa hingga ia terjungkal dari kekuasaannya. Terjungkalnya Soekarno dari kekuasaan disusul dengan naiknya Soeharto tahun 1960-an disinyalir oleh banyak pengamat politik sebagai agenda yang tidak dapat terlepas dari peran intelijen asing. Bentuk intervensi asing yang dapat kita lihat adalah saat Pemilu tahun 2004 yang lalu. Adanya campur tangan asing dalam Pemilu Presiden 2004 telah disinyalir Kwik Kian Gie (mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas). Biasanya modus yang dipakai adalah ada pejabat penting asing yang akan datang ke Indonesia, kemudian akan ada    komentar – komentar dari pejabat asing tentang persiapan dan pelaksanaan Pemilu di Indonesia, quick qount yang sangat agresif serta adanya pertemuan – pertemuan dengan jamuan khusus antara para dubes asing di Indonesia dengan para calon maupun tokoh nasional, tokoh elit – elit partai dan para Capres. Mendekati pelaksanaan Pemilu tahun 2004 saat itu, Indonesia kedatangan tamu asing, yaitu Carter, dan Collin Powell. Jimmy Carter datang dengan istrinya Rosalynn serta mantan Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai ke Indonesia, untuk memimpin para pemantau dari The Carter Center. Carter membawa ratusan pemantau yang berada dibawah bendera The Carter Center. Selain memantau, Carter juga ikut mengecek kesiapan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan juga mengenai hubungan KPU dengan Panwaslu. Kemudian disusul kedatangan orang nomor tiga Amerika Serikat yakni Colin Powell (Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu) serta Direktur National Democratic Institute (NDI), John Rowland yang melakukan pertemuan dengan Akbar Tanjung di Gedung DPR/MPR yang diklaim mereka sebagai pertemuan reguler tentang perkembangan Pemilu Presiden. Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut, Rowland didampingi Senior Program Menajer dari Washington untuk Asia Tenggara Blair King dan Direktur Program NDI Stephani Lynn. Sedangkan, Akbar Tandjung saat itu didampingi Ketua Komisi I DPR RI Ibrahim Ambong. Kemudian kunjungan Wapres Jusuf Kalla (JK) ke luar negeri termasuk Amerika juga disinyalir tentunya juga tidak luput dari pembicaraan soal seputar Pemilu Indonesia tahun 2009 saat itu. Terakhir adalah kunjungan Menteri Luar negeri AS Hillary Clinton ke Indonesia yang dijadwalkan dua hari, 18 sampai 19 Februari 2009. Intervensi pun kadang menggunakan modus aliran dana. Saat ini diketahui bahwa ada lima lembaga asing yang ikut membiayai Pemilu pada tahun 2009. Total dana yang digelontorkannya sebesar 37,5 juta dolar AS. Bantuan asing untuk pemilu merupakan global grand strategy AS, Indonesia akan dipaksa setuju dengan proses globalisasi yang diusung negara - negara donor, khususnya AS. Aliran dana dari AS tersebut kadang melalui mata rantai perusahaan yang kemudian masuk ke salah satu rekening pasangan tertentu. Salah satu contohnya seperti dalam proses Pemilu Presiden Tahun 2004 yang lalu, dimana ada peyumbang fiktif dari 11 perusahaan di Sulawesi Selatan. Selain itu ada juga aliran dana untuk lembaga - lembaga yang terkait pemilu seperti KPU, Panwas, LSM dan sebagainya. Oleh karena itu ke depannya seluruh masyarakat perlu bersikap hati-hati dalam mengikuti Pemilu 2014 mendatang.
Adanya global grand strategy AS berupa bantuan negara asing terhadap pelaksanaan Pemilu di Indonesia jelas akan mencederai proses demokrasi, karena siapapun yang menjadi pemenang dalam proses Pemilu tersebut jelas memberikan kompensasi terhadap negara asing (negara pendonor) yang memberi bantuan dana penyelenggaraan Pemilu yang dibalut dalam rangka globalisasi. Globalisasi berupa intervensi negara asing dalam proses penyelenggaraan Pemilu dapat mengancam kedaulatan suatu negara karena terjadi proses transaksional dalam proses demokrasi tersebut. Sudah saatnya Indonesia bangkit merdeka dalam arti sebenarnya, merdeka dari dikte negara - negara asing, merdeka dalam segala lini kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,dan hankam.

KESIMPULAN
Ungkapan “politik global” yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antara kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.
            Pengaruh globalisasi politik, menimbulkan begitu banyak                 kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Terkadang justru kepentingan sebuah negara sendiri tidak akan bisa terpenuhi kecuali dengan mengkondisikan eksternal sebagai support kepentingan domestik. Maka globalisasi politik tidak lain adalah pergulatan global dalam mewujudkan kepentingan para pelaku yang menjalankannya.








Daftar Pustaka
1.        Bhagwati, Jagdish. 2004. “Democracy at Bay”, dalam In Defense of Globalization, Oxford: Oxford University Press, pp. 92-105.
2.        Budiarjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3.        Scholte, Jan Aart. 2000. “Globalization and (Un) Democracy”, dalam Globalization: a Critical Introduction, New York: Palgrave, pp. 261-282.


No comments:

Post a Comment