Thursday, 28 August 2014

PERAN MEDIA MASSA DALAM MARKETING POLITIK PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2014



PERAN MEDIA MASSA DALAM MARKETING POLITIK
PADA PEMILIHAN PRESIDEN 2014

Pendahuluan
Media massa telah menjadi salah satu kekuatan penting abad modern. Revolusi bidang sains dan teknologi membuat media massa memiliki spektrum yang demikian luas, menjangkau seluruh wilayah, lapisan masyarakat dengan intensitas yang masif. Dalam konteks politik, media massa merupakan salah satu kekuatan politik penting yang mempengaruhi proses politik. Karena itulah keberadaan media massa, terutama pers bebas dianggap sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Begitu luar biasanya kekuatan media massa ini digambarkan oleh Malcolm X dengan pernyataan bahwa “the media’s the most powerfull entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses”. Media massa merupakan entitas terkuat di muka bumi karena kemampuannya dalam membentuk dan mengendalikan kesadaran massa. Dengan kekuatan tersebut, media massa bahkan mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi masyarakat seperti halnya seorang dokter yang mengobati pasiennya. 
Persoalannya kemudian, sejauh mana media massa itu berpegang pada fakta-fakta objektif dan menghadirkan kebenaran bagi masyarakat? Apakah media massa dapat menjaga independensinya dari berbagai penetrasi kepentingan? Termasuk dalam konteks politik, mampukah media massa sebagai saluran marketing politik untuk menjaga posisinya sehingga bersifat nonpartisan?
Pemasaran politik atau yang umumnya dikenal dengan marketing politik (political marketing), sebagaimana disampaikan oleh Firmanzah (2007) adalah seperangkat metode yang dapat memfasilitasi kontestan (individu atau partai politik) dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi politik, karakteristik pemimipin partai dan program kerja partai kepada masyarakat. Iklim demokrasi yang berkembang di Indonesia semenjak era reformasi telah membuka kesempatan bagi berbagai partai politik untuk berkembang. Praktek politik di Indonesia sendiri telah berkembang sedemikian pesat dengan memanfaatkan aplikasi berbagai disiplin ilmu manajemen seperti marketing. Hal ini didorong oleh heterogennya masyarakat Indonesia serta meningkatnya taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat yang membuat partai politik harus mengaplikasikan berbagai praktek marketing untuk dapat bersentuhan dengan masyarakat.
Dewasa ini, pemasaran (marketing) sudah banyak diterapkan dalam politik, institusi politik pun membutuhkan pendekatan alternative untuk membangun hubungan dengan, konstituen dan masyarakat luas, dalam hal ini marketing sebagai disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis yang diasumsikan berguna bagi institusi politik. Dalam pemasaran politik, beragam cara dan pola dilakukan dalam rangka tersebut. Misalnya ada yang memasang bendera di jalan-jalan. Lihat saja pada untuk menyemarakkan Pemilu tahun 2014 yang telah berlalu, aneka spanduk membanjiri di tiap-tiap sudut jalan, mulai dari sekedar memberikan ucapan selamat Ramadhan dispanduk-spanduk hingga yang terang-terangan cari dukungan. Dalam marketing politik yang di tekankan adalah pengunaaan pendekatan dan metode pemasaran (marketing) untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efesien dan lebih efektif membangun dua arah dengan konstituen dan masyarakat. hubungan ini diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.
Marketing politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tetapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Dalam marketing politik, isu politik bukan sekedar produk yang di promosikan, melainkan juga keterkaitan simbol dan nilai yang menghubungkan individu. Jika dicermati, aktivitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik dan para tokohnya itu rata-rata baru sebatas pemanfaatan peran media massa (publikasi) dan riset politik. Untuk riset politik, sudah lama dimanfaatkan oleh elit parpol atau kandidat parpol yang maju dalam Pilkada, dan riset untuk para caleg baru menjelang Pemilu 2014 yang lalu.

Konseptualisasi Marketing Politik
Marketing menurut Bruce I Newman adalah proses memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising, harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa image politisi, platform, pesan politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen yang tepat.Pendapat lain dikemukakan oleh Mauser, G yang mendifinisikan marketing sebagai ‘influencing mass behavior in competitive situations’. Marketing politik dianalogikan kepada marketing komersial. Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audience dari pemilih yang harusnya mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang dipadati lebih dari satu ‘brand’ produk. Meskipun memang akan ada perbedaan mendasar antara marketing politik dengan marketing komersial. Misalnya, marketing politik mengukur kesuksesan tidak dalam term keuntungan melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power. Dalam bukunya Hand Book of Political Marketing, Newman menambahkan dalam peta marketing kandidat (Candidat Marketing Map) paling tidak ada enam tahap yang harus diperhatikan:
1.        Riset lingkungan (environment research) : yakni seting dan konteks dimana seorang kandidat mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini terkait dengan upaya mendifinisikan isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat. Misalnya pada tahap ini meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter satisfaction or dissatisfaction), isu dan konsern penting pemilih, peta demografi pemilih, riset partai dominan atau independen dan sebnagainya.
2.        Analisis penilaian internal dan eksternal (internal and external assesment analysis). Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya, kekuatan dan kelemahan organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, kekuatan dan kelemahan kompetitor.
3.        Marketing strategis (strategic marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income, pendidikan, etnis, ideologi kelompok dan lain-lain.), target dan positioning (citra kandidat versus citra lawan).
4.        Sering tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campign strategy) misalnya menyangkut positioning latar belakang dan qualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi konsep pribadi kandidat dan sebagainya.
5.        Komunikasi, distribusi dan perencanaan organisasi (communication, distribution and organization plan). Tahap ini misalnya menekankan pada sosok penampilan, publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format serta desain medianya. Termasuk penyiapan organisasinya misalnya saja, fundraiser and development staff, Issue and Research Staff, Media and Publicity Staff, Voulenteers and Party Workers dan sebagainya.
6.        Pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen pemilih partai, segmen kontributor, segmen media dan publisitas.

Di dalam tulisan lainnnya di buku lain, Newman menulis tentang formula kesuksesan marketing politik yang mestinya mengikuti beberapa aturan dasar. Pertama, menyediakan waktu yang banyak untuk mempelajari kebutuhan dari target customers. Kedua, membuat team pengembangan customer. Ketiga, mendapatkan dukungan dari seseorang yang berkedudukan tinggi di organisasi dan orang yang siap menjadi pembela, menyediakan banyak waktu untuk mengumumkan produk baru, kesuksesan pengembangan produk baru meminta organisasi untuk memapankan sebuah organisasi yang efektif untuk menangani proses pengembangannya.
Marketing politik akan terlihat dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh masing-masing kandidat. Dalam definisi lainnya, Pfau dan Parrot mendefinisikan kampanye sebagai “A Campaign is conscious, sustained and incremental process designed to be implemented over a specified period of time for the purpose of influencing a specified audience (kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Media Massa Sebagai Saluran Marketing Politik
Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch, ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik. Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi, menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam marketing politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa. Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat penting dalam proses marketing politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan, komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah. Dengan daya jangkau yang relatif luas dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media massa seperti televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan, bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangannya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan sebagainya. Proses marketing politik di era sekarang sangat sulit menafikan keberadaan media massa sebagai salah satu saluran utama yang dapat dipergunakan dalam komunikasi politik. Saluran media massa ini memegang posisi penting di luar saluran face-to-face informal, struktur sosial tradisional, saluran input dan saluran output.

Perspektif Teori Agenda Setting
Teori Agenda Setting diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang telah diterbitkan dalam Public Opinion Quarterly pada tahun 1972. Menurut kedua pakar ini jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Agenda Setting menggambarkan pengaruh yang kuat dari media, terutama kemampuannya untuk mengatakan isu apa yang penting dan tidak. McComb dan Shaw menyelidiki kampanye presiden di tahun 1968, 1972 dan 1976. Dalam risetnya tahun 1968, mereka fokus pada dua elemen pokok yakni : kesadaran dan informasi. Dalam riset empiris di sebuah wilayah di Chapel Hill North Caroline. Saat itu riset mensurvey 100 orang pemilih yang belum memutuskan pilihan tentang apa yang mereka pikirkan di tengah berita aktual yang dipublikasikan media. Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill dengan urutan prioritas pada responden. Hasil yang hampir identik dan cocok dengan hipotesis mereka bahwa media massa memposisikan agenda opini publik dengan penekanan topik-topik tertentu yang khusus. Alexis S Tan meyimpulkan bahwa dalam Teori Agenda Setting, meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak.
Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana issue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. Sementara itu Manhein sebagaimana dikutip oleh Effendy, menyatakan bahwa terdapat konseptualisasi agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting yakni agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijakan. Masing-masing agenda tersebut mencakup dimensi-dimensi sebagai berikut: pertama, untuk agenda media, dimensi-dimensinya :
·           Visibility (visibilitas) yakni jumlah dan tingkat menonjolnya berita.
·           Audience salience (tingkat menonjolnya bagi khalayak) yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
·           Valence (Valensi) yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa.
Kedua, agenda khalayak, adapun dimensi-dimensi yang biasanya ada dalam agenda khalayak adalah :
·           Familiarity (keakraban) yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.
·           Personal Salience (penonjolan pribadi) yakni relevensi kepentingan dengan ciri pribadi.
·           Favorability (Kesenangan) yakni pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita
Ketiga, agenda kebijakan, adapun dimensi-dimensi yang biasanya ada dalam agenda kebijakan adalah :
·           Support (dukungan) yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu.
·           Likelihood of action (kemungkinan kegiatan) kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
·           Freedom of action (kebebasan bertindak) yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.

Marketing politik di media massa tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Komunikator politik yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan atau kandidat dalam Pemilu). Pada kenyataannya menurut perspektif teori agenda setting, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusikan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dan sebagainya. Framing merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan marketing politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan beberapa hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan marketing politik di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur marketing politik yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh.
Ketiga, struktur mikro, ini merupakan marketing politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian.
Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Marketing politik dalam media massa tentu saja berbeda dengan marketing yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Marketing di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang di anggap penting. Bila Prabowo dan Partai Gerindra secara terus menerus diberi label penolong dan pelindung para petani, pedagang tradisional maka lambat laun Prabowo akan dianggap dalam persepsi khalayak sebagai penolong dan pelindung wong cilik. Iklan Prabowo dalam berbagai versi di televisi ternyata mampu menaikan tingkat penerimaan khalayak akan sosok Prabowo dan partai Gerindra, jika media selalu mengangkat citra Prabowo yang dekat dengan kaum petani nelayan dan pedagang pasar tradisional maka pemilih pun akan memikirkan bahwa Prabowo sebagai sosok yang penting sebagaimana yang dicitrakan oleh media.
Kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa marketing politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan marketing yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali cara pandang seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.

Perspektif Teori Spiral Of Silence
Elizabeth Noelle-Neumann (seorang professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman) adalah orang yang memperkenalkan teori spiral keheningan/kesunyian ini. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1984 melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Secara ringkas teori ini ingin menjawab pertanyaan, mengapa orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas? Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Ide terpenting yang mendasari model ini adalah bahwa sebagian besar individu mencoba menghindari isolasi dalam pengertian sendirian mempunyai kepercayaan atau sikap tertentu. Oleh karenanya seseorang memperhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer.
Tesis teori ini bersandar pada dua asumsi. Pertama, bahwa orang mengetahui mana opini yang berkembang dan mana opini yanng tidak berkembang. Hal ini disebut quasistatistical sense karena orang mempunyai perasaan terhadap presentase penduduk terhadap posisi-posisi tertentu. Asumsi kedua, adalah bahwa orang menyesuaikan pengungkapan opini mereka terhadap persepsi-persepsi ini. Teori Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut: individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkung­annya, terutama dari media massa.
Sprial kesunyian tampaknya disebabkan oleh ketakutan terhadap keterasingan. Seperti yang dinyatakan oleh Noelle-Nueman, ”berjalan bersama dengan kelompok adalah keadaan yang membahagiakan, tetapi jika hal ini tidak dapat dilakukan karena anda tidak akan sependapat dengan keyakinan yang dinyatakan secara umum, paling tidak anda akan diam sebagai pilihan kedua, sehingga orang lain akan bersama anda”.
Dengan demikian, dapat kita nyatakan bahwa spiral kesunyian bukan sekedar keinginan berada pada pihak yang menang, melainkan merupakan usaha untuk menghindari keterasingan dari kelompok sosial. Spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori media massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama.
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity); (2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan (3) konsensus tentang nilai-nilai di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.

Kesimpulan
              Pertumbuhan partai politik dan media massa muncul bersamaan sebagai produk reformasi, dan keduanya menjadi pilar terpenting dalam demokratisasi di Indonesia. Media massa yang demikian bebas diharapkan mampu memberikan akses informasi yang beragam bagi kebutuhan masyarakat. Setiap saat curahan informasi sedemikian masif, mencoba mengambil alih ruang publik dan membentuk kesadaran massa. Tak terkecuali informasi politik terkait kontestasi antar parpol maupun kandidat capres/cawapres yang diusungnya. Adalah wajar jika setiap kandidat capres/cawapres berkepentingan untuk berkomunikasi dengan massa dalam kerangka sosialisasi gagasan maupun membentuk citra guna menarik dukungan massa. Media massa karena itu menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan intensitas interaksi secara langsung antara para capres/cawapres dengan konstituennya yang demikian tersebar dan dalam jumlah yang besar.
              Hubungan kepentingan di antara dua kekuatan ini dalam perkembangannya tidak hanya melahirkan kontrak-kontrak komersial yang bersifat profesional, seperti periklanan dalam bisnis biasa. Seringkali, hubungan ini menjadi memiliki dimensi politis dimana antara capres/cawapres dengan parpol pengusungnya kemudian memiliki hubungan afiliatif dengan media massa, baik karena tendensi politik dari media massa itu sendiri maupun konflik status dimana pemilik media massa juga merangkap tim sukses dalam pilpres. Lihat saja setidaknya dalam pemberitaan MNC Group dan TV One terhadap pasangan Prabowo Hatta dan Metro TV dengan pasangan Jokowi Kalla. Meski perlu dibuktikan lebih jauh, namun setidaknya potensi tendensius itu lebih besar bagi kelompok media tersebut. 
              Hubungan afiliatif media massa dengan capres/cawapres maupun parpol pengusungnya berdampak pada objektifitas informasi, bahkan potensi politisasi pemberitaan media. Perburuan rating dan keuntungan tidak lagi menjadi satu-satunya motivasi, tetapi sangat dimungkinkan insentif politik lain dari pembelaan media massa terhadap kelompok politik tertentu. Hipotesis Mutz & Reeves (2005) tentang media massa dan kepentingan politik setidaknya menjelaskan bahwa penggambaran politik di media massa memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan, kecenderungan untuk menyalahkan pihak tertentu, menempatkan politik selalu negatif, maupun sebaliknya.
              Pendekatan marketing politik dalam Pilpres 2014 akan semakin intensif karena dukungan media massa. Saat ini industri media di Indonesia sangat maju pesat, sehingga memungkinkan digunakan secara intensif dalam marketing politik para kandidat baik perseorangan maupun kelompok. Kedua teori yang dibahas di atas tentunya memiliki cara pandang masing-masing dalam melihat fenomena ini. Teori Agenda Setting lebih melihat bahwa media mampu menonjolkan apa yang nantinya juga akan dianggap penting oleh khalayak. Teori Spiral of Silence menunjukkan seseorang akan memerhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana semakin tidak populer. Pandangan minoritas biasanya menyesuaikan diri dengan opini publik yang berkembang. Sementara media massa biasanya menjadi berpengaruh dalam pembentukan opini publik tersebut. Dengan demikian kedua teori tersebut, cukup bisa menjelaskan realitas marketing politik dalam perhelatan Pemilu Presiden 2014.
             















Daftar  Pustaka
Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1998).
Blumler, Jay G. and Gurevitch, Michael (1995).The Crisis of Public Communication. (London and New York : Routledge).
Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries (Cambridge : Harvard University Press,1977).
McClosky, Herbert., Political Participation, International Encyclopedia of the Social Sciences, Edisi ke-2 (New York: The McMillan Company and the Free Press, 1972), XII.
Powel Jr., Bingham. Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence. (New York : Harvard University Press. 1982).
Newman, Bruce., The Mass Marketing of Politics Democracy in An Age of Manufactured Images, (London, New Delhi : Sage Publications, 1999).
Mauser, G., Political Marketing : An Approach to Campign Strategy, (New York : Praeger, 1983).
Noer, Deliar., Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali, 1983)
Newman, Bruce I (ed.), Handbook of Political Marketing, (London : Sage Publication Inc., 1999).
Newman, Bruce I and Perloff, Richard M, Political Marketing : Theory, Research and Applications, in Kaid, Lynda Lee, Handbook of Political Communications Research, (London : Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004).
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994).
Roger, EM & Storey J.D. Communication Campaign. In C.R. Berger & S.H Chaffee (ed..), Handbook of Communications Science, (New Burry Park, CA : Sage, 1987)
Pfau, Michael & Roxanne Parrot. Persuasive Communication Campaign, (Massachussets: Allyn and Bacon, 1993).
Suryadi,Syamsu. Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia. Dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun. Indonesia dan Komunikasi Politik. (Jakarta : Gramedia, 1993).
Tan, Alexis S (1981). Mass Communication Theories and Research. (Ohio : Grid Publising, Inc).

PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK PADA REZIM YANG BERKUASA



PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
PADA REZIM YANG BERKUASA

PENDAHULUAN
Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis„ Bureau ‟, yang berarti “kantor”, dan kata Yunani „ kratein ‟ yang berarti aturan atau pemerintah. Kantor disini bukan menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah sistem kerja yang berada dalam kantor tersebut. Dalam kamus bahasa Jerman arti kata birokrasi adalah kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan dalam menentukan kebijakan sistem administrasi sipil dalam kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan pejabat dalam administrasi pemerintah. Sebagai suatu bentuk institusi, birokrasi telah ada sejak lama. Raison d’etre keberadaannya adalah munculnya masalah-masalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi. Demikianlah maka tugas rumit membangun dan mengatur saluran-saluran air ke seluruh penjuru negeri pada zaman Mesir Kuno telah melahirkan birokrasi skala besar yang pertama di dunia. Selain di Mesir, peradaban kuno lainnya juga membentuk birokrasi untuk menunjang pengaturan dan pengorganisasian kota. Hal ini sebagaimana yang ditemui di Roma dan Cina pada masa Dinasti Han, di mana pengaturan birokrasinya mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Confucius tentang kepegawaian. Seiring dengan bertambah kompleksnya masalah dan hal yang harus diatur, kemunculan organisasi-organisasi birokratis kemudian menjadi semakin bertambah banyak dan semakin dirasakan sebagai hal yang urgen di era modern.
Dalam bentuknya yang modern birokrasi pertama kali muncul di Prancis pada abad ke 18. Seiring waktu pada abad ke 19 Jerman menjadi negara yang paling sukses dalam mengembangkan birokrasi modern yang rasional dan disiplin, sampai-sampai negara-negara Eropa yang lain menjadi iri kepadanya. Dalam hubungannya dengan era modern, memang birokrasi seolah-olah menjadi paket yang tak terpisahkan dalam setiap pembangunan masyarakat modern. Keberadaan birokrasi menjadi norma yang tak terelakkan bagi setiap tatanan masyarakat modern yang dinamis dan rasional.Tanpa kehadiran birokrasi, tak dapat dibayangkan bagaimana suatu pemerintahan akan mengimplementasikan kebijakannnya. Tanpa birokrasi, juga tak terbayangkan pula bagaimana populasi manusia yang padat yang mendiami suatu wilayah tertentu akan dapat diatur.
Birokrasi adalah faktisitas institusional masyarakat modern, birokrasi bukanlah institusi sederhana yang tak perlu diproblematisasikan lebih lanjut. Secara alami, sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi yang kompleks memberikan justifikasi yang lebih dari cukup bahwa keberadaannya dilandasi oleh suatu perencanaan yang rasional dan sistematis. Demikian pula, dalam operasionalisasinya tak jarang birokrasi memberikan pengaruh yang besar bagi aktor-aktor sosial yang ada di luar birokrasi.
Blau dan Meyer bapak ahli sosiologi mendefinisikan birokrasi adalah satu sistem kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berdasarkan            aturan-aturan rasional dan sistematis yang bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka menyelesaikan tugas administrasi. Birokrasi pemerintah merupakan sistem pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah berlandaskan hierarki dan jenjang jabatan. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai susunan cara kerja yang sangat lambat, dan menurut pada tata aturan yang banyak likunya. Adapun fungsi dan peran birokrasi pemerintah yakni:
1.     Melaksanakan pelayanan publik;
2.     Pelaksana pembangunan yang profesional;
3.     Perencana, pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah);
4.     Alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netral).
Adapun tujuan birokrasi yakni:
1.     Sejalan dengan tujuan pemerintahan;
2.     Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan Negara;
3.     Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional;
4.     Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi dan lain-lain.

GAMBARAN UMUM BIROKRASI PEMERINTAH DI INDONESIA
Di Negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang diidealkan oleh Max Weber Nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Sebagai salah satu negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis birokrasi kerajaan, sehingga dalam upaya penerapan birokrasi yang modern, yang terjadi hanya bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana yang telah ditetapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber mengenai dominasi patrimonial, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi. Dalam model Weber, tentang dominasi birokrasi patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa dan mengontrol kekuasaaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut Weber yang hampir secara keseluruhan terjadi di Indonesia antara lain:
1.     Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi;
2.     Jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaaan;
3.     Pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik atau pun administratif;
4.     Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Tidak mudah mengidentifikasi penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia. Namun, perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum seperti efektifitas, efesiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia yakni:
1.    Sentralisasi yang cukup kuat.
Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu ciri umum yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam penampilan birokrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah bekerja dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif terhadap hidup dan berkembangnya nilai-nilai sentralisrik tersebut.
2.   Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi.
Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam struktur juga merupakan salah satu ciri umum yang sering melekat pada setiap organisasi birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam struktur birokrasi pemerintah.
3.    Pendelegasian wewenang yang kabur.
Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian wewenang masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah di Indonesia sudah hierarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanakan. Dalam kenyataannya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
4.    Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan.
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara lengkap. Kalaupun ada sering tidak dijalankan secara konsisten. Disamping hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam penyusunannya, hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas. Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan baik jika didukung oleh rumusan tugas yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan  yang telah dirumuskan secara jelas pula. Selain itu masih banyak aspek-aspek lain yang menonjol dalam birokrasi di Indonesia,  diantarannya adalah perimbangan dalam pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan terendah.
Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi, hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang  sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak yang perlu diperbaiki.

PERAN BIROKRASI SEBAGAI MESIN POLITIK
Birokrasi merupakan salah satu diantara tiga pilar kekuasaan Orde Baru selain Golkar dan ABRI. Untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan Orde Baru yang membangun kekuasaannya selama 32 tahun terutama dalam memanfaatkan birokrasi pemerintah, menurut Eep Saefulloh Fatah (1998) terbangun melalui setidaknya empat proses. Pertama, sentralisasi. Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi. Pada awal kelahiran Orde Baru, penguasa berdalih bahwa sentralisasi (salah satunya dalam bidang birokrasi) adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat. Kedua, otonomisasi. Sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum. Dimana penguasa dan rakyat disekat di dua ruangan yang terpisah. Inilah otonomisasi, yakni proses yang mengarah pada pembentukan kekuasaan otonom vis a vis masyarakatnya, yang pernah disebut oleh Karl W Jackson sebagai “bureaucratic polity” atau kepolitikan birokratik. Sejalan dengan itu Orde Baru pun mengonfirmasikan penggambaran Geovanni Gentile, seorang filsuf Italia terkemuka: “Negara bukanlah kehendak semua orang yang merealisasikan dirinya, melainkan kehendak yang berhasil merealisasikan dirinya sendiri. Hasilnya adalah subordinasi kehendak individu terhadap kehendak negara”. Ketiga, personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasi di tangan Presiden Soeharto. Proses ini terutama terlihat tegas semenjak akhir 1970-an segera setelah Presiden Soeharto berhasil mencapai “sukses” dalam tiga proyek sekaligus. Yakni: Reseleksi lingkungan elit politik di sekitar presiden dengan loyalitas yang terjaga yang dijalankan sejak peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974; pengumpulan tiga sumber kekuasaan sangat menentukan di tangan Presiden Soeharto, yaitu Presiden-Kepala Negara, Panglima Tertinggi ABRI, dan Ketua Dewan Pembina Golkar; dan pelembagaan format politik otoritarian melalui pelbagai regulasi ekonomi dan politik. Dengan sendirinya jelas, bahwa birokrasi pemerintah mulai dari tingkat yang paling tinggi, sampai terendah memiliki loyalitas yang tinggi pada kebijakan Presiden Soeharto. Keempat, sakralisasi. Orde Baru tidak hanya menjalankan sentralisasi, otonomisasi, dan personalisasi, melainkan juga sakralisasi. Kekuasaan diposisikan sebagai sesuatu yang sakral, yang tidak bisa khilaf, yang tidak bisa bersalah, bebas dari kritik, tak bisa dituntut, digugat, dan apalagi dijungkirkan. Operasi kekuasaan seakan-akan hanya mengenal dua aturan. Pasal pertama: penguasa tak bisa salah. Pasal kedua: jika penguasa bersalah, lihat pasal pertama. Pada lembaga birokrasi Orde Baru jelas sekali merasakan keadaan ini, walaupun merupakan sakralisasi tersendiri oleh individu (Presiden Soeharto), dengan loyalitas yang terus menerus dalam birokrasi yang ada dengan di topang oleh faktor politik, ekonomi dan kekuatan ABRI, dengan sendirinya menciptakan sakralisasi pada sosok Presiden Soeharto oleh kolega dan orang-orang birokrat yang menikmati kekuasaannya.
Karena itu, birokrasi di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pada masa Orde Baru seperti di jelaskan sebelumnya, kecendrungan tersebut tidak lepas dari konfigurasi kultural, ekonomi, dan politik, ikut membentuk profil birokrasi Indonesia. Karenanya sepanjang usia negara Indonesia dan terlebih lagi pada masa pemerintahan Orde Baru dominasi politik atas birokrasi pemerintah sangat besar pengaruhnya. Itulah sebabnya napas panjang kekuasaan Orde Baru tetap terjaga oleh bertahannya aliansi strategi Orde Baru di antara Presiden dan birokrasi, disamping militer, teknokrasi, dan pemodal. Dengan kata lain, Indonesia dapat dikatakan merupakan salah satu negara yang memiliki sistem politik yang menggerakkan birokrasi sebagai salah satu aktor utama dalam segala kegiatan politik. Terlebih lagi pada masa Orde Baru, birokrasi merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melaksanakan kegiatan politik secara mandiri, dimana hampir semua kegiatan masyarakat di kontrol dan dikendalikan oleh birokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap proses pembuatan kebijakan di Indonesia bersifat birokratik (Mas’oed, 2008: 332). Salah satu program andalan dalam pembangunan di masa Orde Baru yakni Program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha “stabilisasi di bidang politik dan ekonomi” yang dilancarkan sejak Oktober 1966, di kenal dengan Pelita 1 (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 444). Program ini secara jelas menunjukkan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada tehnokrat yang berkedudukan dalam kursi birokrasi. Dengan dimulainya program Pelita ini, para tehnokrat yang duduk di kursi birokrasi menjalankan tugasnya demi menyukseskan program tersebut. Dalam level nasional, Mentri Keuangan dan Ketua BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional) bertindak sebagai “The Guardian of Public Treasury” (Penjaga Kekayaan Negara). Sedangkan, departemen-departemen dan        badan-badan lainnya bertindak sebagai “The Spending Advocates” (Pembelanja).
Karena sangat vitalnya peran demokrasi dalam pembangunan seperti di atas, maka oleh Soeharto dengan melalui beberapa kriteria hubungan antara Presiden dan birokrasi seperi melalui sentralisasi, otonomisasi, personalisasi, dan sakralisasi berdasarkan isinya masing-masing dapat membuat birokrasi ke dalam jalur politik yang tidak lagi netral kekuasan seperti pada masa Presiden Soekarno, namun menjadi salah satu kekuatan politik untuk dapat melaksanakan program pembangunan pada masa Orde Baru. Dalam bahasanya Karl D. Jackson, seorang ahli politik dan birokrasi, model birokrasi Orde Baru disebut juga bureucratic polity yang memiliki suasana politik menentukan segala yang terjadi dalam lingkungan domestik dan negara. Karakteristik semacam ini didukung oleh beberapa ciri. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi itu sendiri. Kedua, parlemen, partai politik maupun kelompok kepentingan berada dalam posisi yang begitu lemah tanpa mampu mengontrol jalannya birokrasi. Ketiga, massa di luar demokrasi secara politik adalah pasif tanpa peran yang berarti. Keberadaan birokrasi di era Orde Baru seakan disalahartikan oleh penguasa, karena birokrasi dijadikan alat tanggungan untuk mempertahankan kekuasaan.
Setelah peristiwa 20 Mei 1998 yang di kenal dengan reformasi,  telah membuka kotak Pandora yang telah lama tersimpan dalam laci pemerintahan orde baru. Bukan hanya keterbukaan menyatakan pendapat yang di bungkam dalam kotak pandora tersebut, melainkan yang menjalankan birokrasi menjadi bagian lingkaran satu atap dari sistem yang berlaku. Kecendrungan inilah yang dapat membuat hubungan antara patron dan klien menjadi tetap terarah dalam satu lingkaran kebijakan saling mendukung tanpa reseve dari bawahan. Terbukanya kebebasan untuk berbicara dan berpendapat setelah lahirnya reformasi, membuka jalan baru dalam memahami bagaimana sistem politik, sistem pemerintahan, yang di jalankan oleh rezim orde baru tersebut. Begitulah memang kita dapat memahami konteks kesejarahan dari sistem pemerintahan setelah rezim yang menguasai pemerintahan tersebut sudah kehilangan taring atau lengser dari prabon kekuasaannya. Terkecuali itu, jika sebuah rezim mampu menciptakan generasi baru maka otomatis dengan sendirinya tidak akan ada mesin atau kunci lain yang dapat membuka kedok pemerintahannya. Karena itu sebuah pemerintahan di katakan berhasil (menurut logika politik praktis) jika mampu menciptakan generasi baru yang sehaluan dengan kepentingannya, sehingga yang nampak adalah sebuah kontinuitas dari sistem pemerintahan yang ada.
Adanya reformasi yang membuka jalan untuk menaikkan Prof. Ing. B.J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga telah membuka sebuah jalan baru untuk memahami sistem pemerintahan atau birokrasi pada masa sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan rezim Soeharto yang di kenal dengan Orde Baru. Berbagai dinamika politik dan pemerintahan serta kejelekan pemerintahan rezim Orde Baru menjadi diskusi hangat dalam forum publik, tulisan pelurusan sejarah pada masa itu baik melalui buku, koran, buletin dan media lainnya mengulas tentang orde baru bagaikan cendawan di musim hujan.
Kini hampir 15 tahun reformasi telah berlalu, namun satu hal yang tetap menarik dari perjalanan bangsa ini salah satunya adalah sistem sentralisasi birokrasi yang menjadi ciri Orde Baru yang telah mendahuluinya. Sisi positif dan negatif akan selau ada dalam setiap pemerintahan, karena kita harus memahaminya dengan logika kemanusiaan. Namun di balik itu semua, di bandingkan dengan masa politik yang lain, Orde Baru telah memberikan gambaran sistem birokrasi yang berbeda dari masa pemerintahan yang lain tersebut. Sentralisasi dalam berbagai variannya menjadi jurus andalan sebagai ciri birokrasi pada saat itu.
Kemampuan Soeharto sebagai patron (bos besar) dalam mengakumulasi birokrasi pemerintahan sampai pada birokrasi negara yang paling rendah (klien) dengan kekuatan yang dimilikinya menciptakan sistem birokrasi yang memiliki warna tersendiri, bahkan ada opini yang mengatakan bahwa salah satu akibat dari sentralisasi birokrasi tersebut adalah apa yang di kerjakan oleh birokrasi bukan untuk melayani rakyat yang semestinya di jalani, melainkan bagaimana melayani atasan (birokrasi yang semestinya melayani menjadi di layani). Selain itu, loyalitas yang tinggi pada atasan dan kebijakan atasan, sampai puncak tertinggi (Soeharto) melalui alat negara telah mampu membuat birokrsi sejalan dengan kehendak dan skenario serta logika birokrasi dari dirinnya sendiri. Karena itu keseragaman adalah ciri utama dari sistem birokrasi pada saat itu, yang pada intinya disinilah terciptanya birokrasi yang patrineal.

KESIMPULAN
Birokrasi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari proses dan kegiatan politik. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang be perilaku dan bertindak politik (consist of people acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan politik dapat muncul dari nilai bagi seseorang atau kelompok orang yang bisa diperoleh atau bisa pula hilang dari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dihampir semua masyarakat semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang dijalankan melalui mesin birokrasinya adalah merupakan cara terbaik untuk menciptakan otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul diantara orang secara individu dan orang secara kelompok-kelompok.
Konsep ideal birokrasi Max Weber memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.     Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan (berkemampuan memisahkan urusan pribadi dengan urusan dinas).
2.     Hierarki jabatan (perjenjangan, tingkatan) jabatan yang jelas.
3.     Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas (adanya pembagian kerja yang jelas).
4.     Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
5.     Mereka memiliki gaji berjenjang menurut kedudukan di dalam hirarki dan     hak-hak pensiun. Pejabat dapat selalu menempati posnya dalam keadaan tertentu dapat juga dihentikan.
6.     Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas atau keahlian.
7.     Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya, maupun dengan sumber yang tersedia dalam pos tersebut.
8.     Pejabat yang tunduk dalam sistem disipliner dan kontrol yang seragam
Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena dalam prakteknya hanya menimbulkan problem inefisiensi. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien tapi ternyata setelah diterapkan menjadi batu penghalang yang tidak lagi menjadi efisien. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis atau dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan mesin politik bagi rezim yang berkuasa. 







DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Cetakan I, Thafa Media, Dua Satria Offset, Yogyakarta.
Amitai, Etziomi, 1964, Modern Organization, Emglewood Clifst, Prentice Hall New Jersey.
Caiden, Gerald, E, 1982, Public Administratio, Edisi ke 2, Californian Pilisades Oublisher.
Weber, Max, 1947, The Teory of Social and Economis.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.