Thursday 28 August 2014

PERANG KOTA KECIL



REVIEW BUKU PERANG KOTA KECIL
Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia
(Gerry van Klinken)

Penulisan dalam buku ini telah menggunakan teknik-teknik analisis yang cukup inovatif dari teori contentious politics (politik perseteruan, pengembangan dari teori gerakan sosial), Contentious Politics atau dalam beberapa tulisan diterjemahkan sebagai Politik Perseteruan, pada dasarnya merupakan cara atau usaha kolektif untuk memperoleh posisi tawar yang lebih baik dibanding lawan politiknya. Bisa juga dikatakan sebagai teknik yang merujuk terhadap fenomena-fenomena pergerakan yang sering disertai kekerasan untuk tujuan-tujuan tertentu, lebih kepada upaya menuntut perubahan terhadap tekanan dan dominasi.dalam mengeksplanasikan enam episode kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1997 sampai 2002. Secara keseluruhan, keenam episode kekerasan tersebut terjadi di :
-        Kalimantan Barat,
-        Maluku (Ambon),
-        Sulawesi Tengah (Poso),
-        Maluku,
-        Maluku Utara dan,
-        Kalimantan Tengah.
Keenam episode tersebut, dalam artian tertentu, merupakan “politik lokal dengan cara lain”. Pada tiap-tiap episode, orang-orang yang mementukan jalannya konflik dengan peran utama mereka menggalang mobilisasi dan koalisi yang semuanya termotivasi secara politis. Lebih lanjut, Van Klinken membagi kekerasan yang terjadi di Indonesia menjadi empat tipe besar, yaitu: 
1.     Kekerasan Pemisahan Diri. Yang paling terkenal adalah ledakan-ledakan kekerasan yang disponsori oleh militer di Timor Timur yang mempermasalahkan jajak pendapat pada tahun 1999. Kekerasan represif serupa tengah terjadi di Aceh dan, di tingkat yang lebih rendah, Papua sepanjang masa itu.
2.     Kekerasan Komunal Skala Besar, yaitu kekerasan yang terjadi antar agama atau antar etnis.
3.     Huru Hara Komunal Lokal,  beberapa insiden kekerasan terjadi dengan skala kota kecil atau kota besar dan berlangsung selama beberapa hari. Yang paling terkenal adalah huru-hara besar-besaran di Jakarta pada Mei 1998 yang mengarah pada pengunduran diri Soeharto. Sebelum itu, berbagai huru-hara anti Cina yang pendek tetapi sengit terjadi pada tahun 1996 -1997 di kota-kota Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Makasar (Sulawesi Selatan). Setelah itu berbagai huru –hara Kristen- Muslim terjadi di Ketapang (Jakarta) dan Kupang (Timor Barat) pada November 1998.
4.     Kekerasan Sosial. Kekerasan ini tidak begitu menonjol, tetapi menuntut korban yang cukup besar, adalah fenomena “sosial” seperti vigilantisme (main hakim sendiri terhadap para pencuri) dan perselisihan-perselisihan antar desa. Kekerasan-kekerasan ini juga memuncak setelah jatuhnya Orde Baru, tetapi tanpa hubungan “politics” yang jelas. Ini terjadi khusunya di Jawa, Lombok dan Sulawesi selatan. Serangkaian pembunuhan yang menggegerkan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai tukang santet di Jawa Timur pada akhir 1998 agaknya bisa digolongkan di antara         huru-hara komunal yang kurang lebih terorganisir di satu pihak dan kekerasan sosial di pihak lain.
Kekerasan teroris yang baru-baru ini banyak menyedot perhatian bisa dianggap sebagai tipe kelima. Dibandingkan dengan tipe-tipe kekerasan yang lain, walaupun kekerasan ini menuntut korban tewas yang lebih kecil, namun dampak goncangan dari korban yang tewas tentu tidak sebanding dengan angkanya.
Buku karya Van Klinken ini lebih memfokuskan diri terhadap kekerasan tipe nomor dua, yaitu kekerasan komunal skala besar. Sebab kekerasan komunal skala besar ini dianggap sebagai hal baru di Indonesia dan oleh karenanya buku ini mencoba menjelaskannya secara lebih jauh. Van Klinken mulai bercerita dari kekerasan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari dan Februari 1997. Penduduk asli Dayak mulai menyerang para pendatang Madura di kota kecil Sanggau Ledo yang menyebar ke kota lain di kabupaten itu sehingga membuat puluhan ribu orang lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dan dua tahun setelah peristiwa Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang Muslim dan Kristen di Ambon. Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu akhir tahun 1998 dan awal tahun 1999, kekerasan komunal juga meledak di dua tempat lain. Di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kekerasan kembali terjadi, walaupun terjadi di tempat yang berbeda, namun sekali lagi mengakibatkan penggusuran terhadap orang-orang Madura. Dan di Poso, sebuah kota kecil Kalimantan Tengah, kekerasan terjadi antara orang Islam dan Kristen. Setahun kemudian, pada akhir tahun 1999, ketegangan yang memuncak meledak di Maluku Utara yang melibatkan beberapa pihak. Antara Muslim dengan Kristen dan Muslim dengan Muslim. Kemudian lagi-lagi penduduk asli Dayak menyerang para pendatang Madura di kota Sampit, Kalimantan Tengah pada Februari 2001.
Jadi di Kalimantan telah terjadi tiga kali kekerasan komunal dan masing-masing adalah bentuk kekerasan sepihak dan bukan merupakan perang sipil antara dua pihak yang mempunyai kekuatan yang seimbang. Tiap kali kekerasan terjadi, kelompok etnik yang dominanlah (Dayak atau Melayu) yang melakukan pengusiran terhadap etnik minoritas yang sangat dibenci, yaitu Madura. Kekerasan hanya berlangsung selama beberapa minggu dan berakhir dengan kemenangan di pihak mayoritas.
Namun hal ini berbeda dengan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso dimana konflik telah menyerupai perang sipil. Berbeda dengan di Kalimantan, semua episode disini menyangkut pertempuran antara          kelompok-kelompok agama yang kira-kira seimbang. Orang-orang Muslim dan Kristen saling bertempur di tiga wilayah itu, meskipun di Maluku Utara pertempuran Muslim-Kristen juga dibarengi pertempuran etnis Kao-Makian dan pertempuran antar sesama Muslim. Ketiga konflik tersebut berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus dan gelombang demi gelombang.
Pada saat terjadi konflik komunal di beberapa daerah di luar Pulau Jawa tersebut peran negara menjadi hilang seolah-olah ada pembiaran oleh negara, semestinya negara menggunakan segala daya dan upaya untuk memberikan rasa aman dan kondusif kepada masyarakat di daerah-daerah konflik tersebut, namun pada kenyataannya rasa aman tersebut hampir tidak ada atau dengan kata lain negara memberikan rasa aman kepada masyarakat pada titik nadir terendah. Pada saat hilangnya peran negara untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam hal ini dijalankan oleh fungsi aparat TNI/Polri, menjamurlah para penegak keamanan swadaya dari masyarakat yang mengatasnamakan golongan etnis maupun agama  yang membantu saudara-saudara mereka yang tertindas di daerah konflik, seperti contoh Laskar Jihad yang dimobilisasi baik ke Ambon, Sambas, Sampit maupun daerah konflik lain yang mengatasnamakan konflik agama sebagai pembenaran. Hal ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila maupun UUD 1945 dimana bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan serta jiwa nasionalisme, sehingga dapat dikatakan pada saat tersebut terjadi chaos atau keretakan persatuan Bangsa Indonesia yang telah ditanamkan oleh para Founding Father dengan mempersatukan Yong Ambon, Yong Celebes, Yong Borneo, Yong Sumatra, Yong Jawa, Yong Bali dan sebagainya dalam ikatan Sumpah Pemuda.
Meskipun perbedaan ini nyata, di tingkat yang lebih dalam lagi, kekerasan etnik dan kekerasan keagamaan yang terjadi di wilayah yang lebih timur pada dasarnya bisa diperbandingkan. Di tiap-tiap kasus, orang biasa sama-sama merasa digerakkan oleh ketakutan politis dan kemudian melakukan satu aksi, sementara kaum elite lokal membuat perhitungan sendiri berdasar peluang politis.
Berapa banyak yang mati? Kekerasan kolektif non-pemisahan diperkirakan oleh United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) telah melenyapkan lebih dari 10.000 nyawa di Indonesia pada periode 1990-2003 (Varshney, Panggabean dan Tadjoedin 2004). Secara keseluruhan (dan dengan mempertahankan perkiraan-perkiraan konservatif UNSFIR) sebuah perkiraan kasar untuk korban tewas akibat kekerasan yang terkait dengan transisi Indonesia 1998 hampir mencapai 19.000 orang dan lebih dari separuhnya tewas akibat konflik komunal dan sebagian besar sisanya akibat kekerasan pemisahan diri.
Dengan hanya menuliskan kekerasan non pemisahan diri dan mengesampingkan kekerasan sosial, UNSFIR menarik beberapa kesimpulan: Pertama, Baik jumlah kejadian maupun jumlah korban tewas meningkat tajam pada tahun 1996 dan mencapai puncaknya pada tahun 1999-2000 dan setelah itu menurun dengan cepat. Kedua, hampir 90% dari korban tewas tersebut akibat kekerasan komunal. Dengan demikian kekerasan komunal memakan korban tewas terbesar dari semua kekerasan kolektif yang ada. Ketiga, keenam provinsi dengan kekerasan terbesar adalah Maluku Utara (25% dari korban tewas), Maluku (sekitar Ambon18,3%), Kalimantan Barat (13,6%), Jakarta (11,8%), Kalimantan Tengah (11,5%) dan Sulawesi Tengah (6%). Kecuali Jakarta, tempat-tempat ini adalah lokasi kekerasan komunal skala besar.
Episode-episode kekerasan komunal dalam sejarah Indonesia mempunyai ideologi-ideologi politik bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religius. Yang membedakan kekerasan pasca Orde Baru adalah bahwa masalah-masalah kelas dan bangsa Indonesia praktis tidak ada dan pertarungan dilakukan hampir sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal. Inilah yang mengguncang publik Indonesia yang sebelumnya percaya betul bahwa menjadi orang Indonesia tidak banyak berkaitan dengan etnisitas atau agama. Kekerasan tersebut kini merupakan masa lalu. Perlu diingat bahwa semua itu merupakan kekerasan transisional, bukan sebuah perang yang permanen.
Dalam hal ini rakyat Indonesia perlu memulai debat yang lebih serius dari yang pernah ada mengenai bentuk demokrasi seperti apa yang mereka inginkan. Beberapa suara dalam debat tersebut tentu akan menyatakan bahwa mereka dari dulu telah melihat bahwa demokrasi akan memberi kesempatan besar bagi sentimen-sentimen “primodial” yang berpotensi menimbulkan kekerasan.     Bentuk-bentuk politik yang dialogis, sipil, dan inklusif juga banyak dilakukan di Indonesia sekarang ini. Bahkan dalam sebuah masyarakat yang begitu terbelah oleh identitas komunal yang merupakan kasus yang tidak lain dihadapi Indonesia, demokrasi bisa diterapkan. Mungkin perlu adanya semacam “koalisi politik” consociational (Lijphart 1977, 1999). Perang reformasi di kota-kota kecil menghadapkan rakyat Indonesia pada apa yang Partha Chattereje dalam bukunya yang sangat brilian disebut “politik orang-orang yang diperintah” (Chatterjee 2004).
Pada zaman pascakolonial, ketika massa besar yang dia namakan               ‘sublatern citizen’ (warga taklukan) mulai berpartisipasi dalam politik populer, mereka mengekpresikan pemahaman mereka akan simbol kekuasaan populer yang inspiratif dengan cara berkelompok. Mobilisasi etnik merupakan bagian dari hal ini, yang membuat galau para elite modernisasi yang memiliki komitmen pada aturan-aturan formal demokrasi parlementer.
Salah satu respons terhadap tantangan-tantangan itu, menurut Chatterjje (2004 ; 50) adalah dengan mengalihkan pandangan ke sebuah varian dan strategi kolonial pemerintahan tak langsung: “Ini melibatkan penundaan proyek modernisasi, dengan memperkuat zona-zona masyarakat sipil sorjuis yang dilindungi dan menjalankan fungsi-fungsi hukum dan ketertiban dan kesejahteraan pemerintah lewat “ para pemimpin alam” dari populasi rakyat yang diperintah.”
Sebuah respons yang lebih berpencerahan, lanjut Chatterjee, dimulai dengan pemahaman bahwa zona agak kabur dari politik populer pada kenyataannya menyodorkan kemungkinan-kemungkinan positif. Baik kelas-kelas taklukan serta elite-elite pembawa modernisasi sudah berada di jalan transformasi internal, sebab mereka belajar dari satu sama lain. Respon terhadap “politik orang yang diperintah” ini berusaha menyetir (proyek pencerahan itu) lewat semak berduri perseteruan-perseteruan dalam apa yang disebut masyarakat politis.
Secara keseluruhan, buku ini mampu menampilkan secara jelas gambaran mengenai kekerasan komunal serta demokratisasi di beberapa wilayah Indonesia. Didukung dengan pendeskripsian objek yang cukup akurat serta data yang valid dan bahasa penyampaian yang komunikatif. Pemberian solusi dan pemecahan praktis juga merupakan salah satu nilai plus dari buku ini.














REVIEW BUKU PERANG KOTA KECIL
Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia
(Gerry van Klinken)




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjycNqYgZCC58a77cpw8CztSR1VTvSo0f7hq5QSTkNEQAqNFrUGKKEivuAi7hILdSg3FA8tA9LBAepMg-P1sdKSL1ZqBQjOhN86KSWF0DGXLVRM6Gpk3wJu-tivfPi6qrY95gqgGzmWVfur/s320/unair.jpg 



(Disusun dalam rangka memenuhi Ujian Tengah Semester
 Mata Kuliah Globalisasi, Demokrasi dan Desentralisasi)





ANANG NOOR BAIQUNI
NIM: 071314453008



JURUSAN MAGISTER ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014

No comments:

Post a Comment