Thursday 28 August 2014

DESENTRALISASI FISKAL “ UPAYA PENGUATAN KEUANGAN DAERAH”



DESENTRALISASI FISKAL
“ UPAYA PENGUATAN KEUANGAN DAERAH”

Pendahuluan
Menurut kamus bahasa, desentralisasi berarti pengurangan pemusatan administrasi pada suatu pusat tertentu dan pemberian kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (lokal). Pengertian ini sekaligus menyatakan gagasan desentralisasi sebagai suatu gejala politik yang melibatkan administrasi dan pemerintahan. Desentralisasi menyangkut pendelegasian kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam suatu hirarki teritorial, apakah hirarki tersebut merupakan tingkatan pemerintahan dalam suatu negara ataukah tingkatan jabatan dalam suatu organisasi berskala besar.
Dalam studi ilmu politik, desentralisasi merujuk pada distribusi kekuasaan berdasarkan kewilayahan (teritorial). Desentralisasi berkenaan dengan sejauh mana kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) diserahkan melalui hirarki yang secara geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan proses yang memungkinkan berlangsung pembagian tersebut. Salah satu fokus perhatian desentralisasi adalah mengenai pembagian utama dalam negara kesatuan, misalnya Inggris dan Wales membagi “counties” dan “distric’ ; di Prancis terdapat departement dan communes”. Selain negara kesatuan, model pembagian kekuasaan lain adalah federalisme yang memberikan bukti hadirnya dua bentuk konstitusi utama di mana desentralisasi dapat dipelajari.
Selain itu setiap negara bagian dalam federasi, seperti 50 negara bagian di Amerika Serikat atau 19 negara bagian di Nigeria, masing-masing dapat dipandang sebagai suatu negara kesatuan yang memiliki sistem pemerintah lokalnya sendiri-sendiri.
Desentralisasi mencakup berbagai jenis hirarki yang merupakan gabungan beragam institusi dan fungsi yang berbeda. Setiap tingkat pemerintahan dalam suatu negara kesatuan atau federal dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Demikian pula, badan administratif pada semua tingkatan pemerintahan dapat mempraktekan desentralisasi dalam organisasi mereka.
Kebutuhan akan desentralisasi tampaknya bersifat universal. Bahkan negara-negara kecil pun mempunyai Pemerintahan Daerah dengan kadar otonomi tertentu       (P. King, 1982, 125: lihat juga Duehacek, 1970, 3ff). Semua negara dewasa ini agaknya akan berhadapan dengan keharusan untuk memenuhi kebutuhan akan desentralisasi ini. Kebutuhan tersebut secara sederhana dapat muncul berdasarkan alasan-alasan adminstrasi praktis. Fungsi-fungsi negara modern mensyaratkan kebutuhan itu dapat berlangsung pada tingkat lokal.     Pajak-pajak harus dikumpulkan dan peraturan mesti ditegakkan. Pada negara kesejahteraan klaim (tuntutan) harus dinilai dan kemanfaatan (benefit) harus di bayar. Sementara pada negara-negara sedang berkembang, para petani mesti diberikan pelayanan berkaitan dengan pinjaman, benih, dan pupuk.
Daya tarik desentralisasi tidaklah semata-mata merupakan kebalikan dari sentralisasi, tetapi juga karena desentralisasi dapat diasumsikan mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan cacat dari sentralisasi. Desentralisasi mempunyai suatu sisi positif. Desentralisasi umumnya dikaitkan dengan suatu lingkup tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik yang luas baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Secara ekonomis, desentralisasi dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi dengan tuntutan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan secara lokal dan barang publik (Shefard, 1975). Desentralisasi berguna untuk mengurangi biaya, memperbaiki output dan memanfaatkan sumber daya manusia secara lebih efektif (D.K. Hart, 1972).
Secara politis, desentralisasi diharapkan dapat memperkuat akuntabilitas (pertanggungjawaban), keterampilan politis dan integrasi nasional. Desentralisasi membawa pemerintahan lebih dekat kepada masyarakat. Desentralisasi menyediakan pelayanan-pelayanan yang lebih baik terhadap kelompok masyarakat. Desentraliasi mempromosikan kebebasan, kesamaan dan kesejahteraan (Maas, 1959; D.M. Hill, 1974).
Namun demikian, desentralisasi tidaklah tanpa kritik. Dalam konteks beberapa teori mengenai negara, desentralisasi tampak parokial (berwawasan sempit) dan separatis. Desentralisasi mengancam kesatuan dari kehendak umum (general will). Desentralisasi memperkuat kepentingan-kepentingan yang sempit dan tersekat-sekat (sectional). Desentralisasi bersifat “anti egalitarian” (anti kesamaan) melalui dukungannya pada keanekaragaman regional dalam penyediaan barang-barang publik.  

Teori-Teori Desentralisasi
            Dewasa ini desentralisasi memiliki banyak pendekatan dan diakomodasikan dalam berbagai bentuk pandangan tentang negara. Apabila dipandang dari konteks teori politik, desentralisasi selalu diasumsikan sebagai salah satu bentuk dari politik. Pemerintahan yang menjalankan desentralissi dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk evaluasi normatif dari bentuk-bentuk wewenang di bidang politik, dilaksanakan untuk mengimplementasikan dua kondisi yang mendasar. Yang pertama, adalah bahwa pemerintah di tingkat bawah yang lebih rendah yang akan menjalankan otonomi. Pemerintah tingkat lebih rendah menjalankan pemerintahannya sendiri sebagai suatu institusi politik yang berakar dari daerahnya dari mana mereka mendapatkan kekuasaan hukumnya. Mereka tidak akan diatur oleh wakil-wakil pemerintah pusat yang ada di daerah akan tetapi diatur oleh institusi politik yang muncul dari daerah tersebut. Yang kedua adalah bahwa institusi –institusi yang dimaksudkan di atas akan direkrut secara demokratis. Mereka akan memutuskan suatu kebijaksanaan dengan mempertimbangkan prosedur-prosedur.
            Kondisi yang pertama (pemerintahan sendiri) tidak memerlukan kondisi kedua (demokrasi), apabila suatu masyarakat mungkin akan menjadi lebih baik menjadi pemerintahan yang otonom lewat pemerintahan sistem kerajaan yang turun-temurun, lewat institusi –institusi federal ataupun bentuk pemerintahan yang  lain. Von Gneist, seorang idealis Prussia abad  ke -19 sangat mempercayai bahwa Pemerintah Daerah adalah merupakan suatu kondisi yang penting dari suatu negara yang ideal, membatalkan institusi-institusi perwakilan dan persamaan politik untuk membantu anggota-anggota dari kelas golongan atas. Pemerintah Daerah pada kenyataannya menegaskan seperti itu sebagai satu cara menentang pelaksanaan demokrasi (Whalen, 1960). Di Inggris Toulmin dan Smitt, dalam karangannya yang ditulis pada pertengahan abad ke -19, juga menolak demokrasi sebagai referensi bagi tradisi pemerintahan yang parokial sebelumnya dengan memilih pejabat-pejabat yang dinominasikan oleh hakim setempat (D.M. Hill, 1974, hal.26).
            Akan tetapi dewasa ini asumsi secara umum bahwa penyelenggaraan pemerintahan sendiri suatu daerah dalam suatu negara bangsa akan diorganisasikan secara demokratis, meskipun ada kesempatan untuk pendapat-pendapat yang berbeda seperti misalnya seberapa jauh seperangkat institusi dan prosedur dimaksud memenuhi persyaratan demokratis.

Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi pemerintahan, baik di negara federal maupun di negara kesatuan, menimbulkan beberapa masalah yang paling sulit dalam bidang keuangan publik. Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah memerlukan pengeluaran oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah tersebut harus mengamankan pendapatannya untuk membiayai pengeluaran. Beberapa masalah yang sering kali timbul adalah : sumber pendapatan apa yang terbaik, seberapa besar dan luas cakupannya, ketergantungan terhadap pemerintahan yang lebih tinggi, apakah ketergantungan tersebut mengurangi otonomi Pemerintahan Daerah dan melemahkan akuntabilitas dan resposibilitas pemilih dan masyarakat, efek inflasi apa yang berpengaruh terhadap pengeluaran daerah, mengapa beberapa pemerintah pusat menolak pelimpahan pendapatan ke pemerintah daerah dan sebagainya.
Masalah keuangan Pemerintah Daerah pasti erat hubungannya dengan sebagian besar keputusan-keputusan lain yang harus dibuat tentang desentralisasi di negara-negara kontemporer. Terutama hubungan antara pembiayaan pemerintah daerah dengan hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah dengan keuangan publik yang terdesentralisasi hanya dapat dipisahkan secara artificial. Kontroversi yang terjadi selama bertahun-tahun adalah mengenai pengaruh ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah merupakan desentralisasi kewenangan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang lebih berkualitas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip money follow function, maka pelaksanaan desentralisasi kewenangan tersebut harus diikuti dengan desentralisasi fiskal. Sekalipun demikian, derajat desentralisasi kewenangan dan derajat desentralisasi fiskal tidak selalu berada pada tingkat yang sama sebab hal tersebut sangat bergantung pada kondisi suatu negara. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa derajat desentralisasi fiskal sangat tergantung pada kebutuhan terhadap pelaksanaan desentralisasi kewenangan. Dengan kata lain bahwa efektifitas pelaksanaan desentralisasi kewenangan sangat tergantung pada dukungan yang diberikan melalui desentralisasi fiskal.
Kondisi tersebut menyebabkan format dan pola desentralisasi fiskal sangat bervariasi dengan dampak yang sangat bervariasi pula, “walaupun desentralisasi diterapkan dengan format yang sama, dapat saja memberikan hasil berbeda, tergantung pada besar kecilnya perbedaan kondisi di antara negara-negara tersebut “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000). Artinya idealisasi pola desentralisasi fiskal sangat terkait dengan berbagai permasalahan negara, misalnya masalah pemerintahan, kewenangan, politik, sosial maupun masalah budaya. Dengan demikian penetapan format dan pola desentralisasi fiskal harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Terdapat tiga bentuk pokok desentralisasi fiskal yang ditinjau dari  derajat kemandirian pengambilan keputusan, yaitu
“ Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggungjawab yang berbeda dalam lingkungan Pemerintah Pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke Pemerintah Daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000)

Dalam pelaksanaan ketiga variasi bentuk desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan dalam tingkat yang berbeda atau dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari tingkat yang paling sentralistis mengarah pada tingkat desentralisasi mengarah pada tingkat desentralisasi yang dianggap paling ideal. Dinyatakan pula bahwa desentralisasi fiskal terutama mencakup beberapa hal, yaitu:
a.         Self Financing atau cost recovery dalam pelayanan publik  terutama melalui pengenaan retribusi daerah;
b.        Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c.         Peningkatan PAD melalui penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama pajak properti (PBB), Pajak Penjualan (PPn), Pajak Penghasilan Perorangan.
Transfer dari Pemerintah Pusat terutama berasal dari sumbangan umum (DAU), sumbangan khusus (DAK), sumbangan darurat (Dana Darurat) dan bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA. Desentralisasi fiskal di Indonesia masih berada dalam tingkat yang sentralistis, sebab “ hampir tiga perempat (75 persen) total pengeluaran negara secara langsung ditentukan pusat, lainnya sebesar 10 persen ditransfer ke Pemerintah Daerah. Namun, secara efektif penggunannya dikontrol oleh pusat. Bahkan yang masih tersisa, sebesar 15 persen dari total pengeluaran negara, juga banyak dipengaruhi pusat melalui proses perencanaan sampai dengan persetujuan APBN. Sehingga, secara keseluruhan, distribusi dari tanggungjawab pengeluaran anggaran masih tetap sentralisitis” (Anwar Shah, 2000).
Kondisi ini sangat terkait dengan adanya kondisi bahwa sebagian besar kewenangan masih merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih besar pada Pemerintah Daerah, namun hal tersebut belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari konsep implementasi desentralisasi fiskal. Kurangnya dukungan tersebut Nampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar Pemerintah Daerah untuk membiayai kegiatan pemerintahan, terlebih lagi untuk kegiatan pembangunan, sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak dapat ditingkatkan secara optimal sesuai tuntutan semangat otonomi. Fenomena ini merupakan hal yang wajar sebab “ jika suatu negara mendestralisasikan tanggungjawab pengeluaran yang lebih besar dibandingkan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun  “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000).
Otonomi Daerah merupakan perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, merubah tatanan kehidupan ekonomi masyarakat yang masih rendah ke arah yang lebih baik, serta mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Undang – Undang  Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Sebagaimana konsep dasar dari Otonomi Daerah adalah pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing–masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan.  Maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggerakan segala kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan serta mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang dapat menjadi sumber pembiayaan di daerah. Suatu daerah otonom akan mampu berotonomi apabila daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah Pusat mempunyai porsi semakin kecil. Sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu kemandirian atau kemampuan keuangan daerah dicerminkan dari  adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam mendukung penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan ketersedian sumber daya keuangan yang tentunya bukan sedikit, apabila suatu daerah yang tidak memiliki dana yang cukup atau memadai tentunya memerlukan tambahan dari pihak lain dalam mendukung pelaksananan program pembangunan yang telah direncanakan tersebut. Pihak lain yang dimaksud adalah suatu lembaga Perbankan, Pemerintah Pusat atau pihak asing yang peduli dengan program pembangunan suatu daerah. Realita yang terjadi umumnya pada kabupaten- kabupaten yang baru terbentuk atau baru mengalami pemekaran dari kabupaten induk, bahwa sumber daya keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah yang menjadi sumber pembiayaan bagi daerah cenderung menunjukan suatu kondisi yang masih jauh dari yang diharapkan, indikasinya adalah bahwa kondisi ini akan menyebabkan kemandirian keuangan yang rendah serta ketergantungan terhadap sumber pembiayaan kepada Pemerintah Pusat masih tinggi.  
Selain itu, kemandirian yang lemah juga dapat disebabkan oleh adanya konsekuensi kebijakan yang terkandung dalam konstitusi. Dalam UUD 1945, Pasal 33 menyatakan bahwa tanah, air dan segala sesuatu yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan rakyat dikendalikan oleh Pemerintah Pusat.  Akibatnya sumber penerimaan yang strategis seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) meskipun terletak di wilayah Pemerintah Daerah menjadi sumber pendapatan bagi Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Daerah hanya mengelola sumber pendapatan yang nonstrategis seperti pajak hotel, pajak reklame, dan pajak restoran. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya kemandirian keuangan Pemerintah Daerah. Jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan tulang punggung sumber pembiayaan pembangunan daerah itu mengalami kenaikan secara terus menerus akan berdampak pada peningkatan kemampuan atau kemandirian sumber daya keuangan yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, serta mengurangi ketergantungan pembiayaan terhadap Pemerintah Pusat.
Kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah dapat dilihat dari derajat fiskal suatu daerah yaitu dengan menggunakan variabel pokok kemampuan keuangan daerah, yang selanjutnya kemampuan keuangan dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan daerah dan total belanja yang mencerminkan kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan merupakan suatu kondisi dimana Pemerintah Daerah tidak rentan terhadap sumber pendanaan di luar kendalinya atau pengaruhnya (CICA,1997).
Sebagai contoh perbandingan realisasi PAD Dipenda Jawa Timur dengan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur selama 5 (lima) tahun sebagaimana tabel di bawah ini:



PERBANDINGAN REALISASI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
DINAS PENDAPATAN PROVINSI JAWA TIMUR
DENGAN PENDAPATAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
No.
Tahun
PAD DIPENDA
Pendapatan Daerah
%
1.
2.
3.
4.
5.
2009
2010
2011
2012
2013
4.931.762.475.042.00
6.016.523.349.824,94
7.339.553.859.353,52
7.863.227.376.466,00
9.464.416.237.214,37
7.827.694.815.532,45
8.837.303.648.090,00
11.843.162.193.867,00
15.551.059.767.017,00
17.390.237.194.309,00
63,00
68,08
61,97
50,56
54,42
Sumber: Penkas Dipenda Prov. Jatim

Pada Tabel di atas dapat diketahui bahwa, PAD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Timur selama 5 (lima) tahun terakhir rata-rata memberi kontribusi sebesar 59,6 %. Dari data tersebut menunjukan bahwa masih adanya ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat terkait pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur.

Keuangan Daerah
            Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 379) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
            Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Dengan demikian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang. Keuangan daerah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat.

Sumber Keuangan Daerah
            Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri  atas : 
a.    Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah
b.   Dana Perimbangan
Merupakan sumber Pendapatan Daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana Perimbangan merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi (Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin, 2007 : 173-174). Dana Perimbangan terdiri dari :
1.      Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
       2.    Dana Alokasi Umum
   Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
       3.              Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas nasional.
c.    Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Sedangkan Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas.

Arah Kebijakan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara umum mengacu pada paket reformasi  keuangan negara, yang dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
Sebagai subsistem dari pengelolaan keuangan negara dan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini telah dijabarkan secara lebih rinci dan teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 memuat berbagai kebijakan terkait perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, APBD dapat dipandang sebagai instrumen kebijakan fiskal bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Artinya. dengan APBD tersebut, paling tidak, Pemerintah Daerah bisa mempengaruhi seluruh kegiatan perekonomian daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu APBD juga dapat dipandang sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi, sebagai dokumen politik APBD akan menjelaskan siapa-siapa atau sektor-sektor apa saja yang menerima bagian terbesar dari pengeluaran Pemerintah Daerah, serta siapa-siapa yang menanggung beban pembiayaan Pemerintah Daerah. Sebagai dokumen ekonomi APBD menjelaskan seberapa besar alokasi penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah yang digunakan mempengaruhi pencapaian target-target pembangunan. Mengingat begitu strategisnya peran APBD dalam konstelasi pembangunan daerah maka keseluruhan proses penetapan APBD ini dirasa perlu diatur dalam perundang-undangan yang diharapkan dapat mengharmoniskan pengelolaan keuangan daerah baik antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat serta antara Pemerintah Daerah dan DPRD ataupun antara Pemerintah Daerah dan masyarakat. Dengan demikian daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, berdasarkan tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Dalam perkembangan terakhir isu-isu strategis tentang penerimaan daerah (pendapatan daerah) dan pengeluaran daerah (belanja daerah) adalah berkaitan dengan bagaimana meningkatkan ruang gerak (space fiscal) Pemerintah Daerah, sehingga meningkatkan kapabilitas penerimaan daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Selain itu dari sisi pengeluaran adalah bagaimana meningkatkan kondisi pengeluaran daerah (belanja daerah) untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan layanan dasar lainnya. Semuanya itu akan sangat dipengaruhi oleh pola hubungan transaksi antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam menentukan APBD.

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur
Merujuk pada konsep hak dan kewajiban, dan menerapkannya pada pengelolaan keuangan daerah, maka pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, dan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan  Keuangan Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil, Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA). Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.
Pendapatan Asli Daerah akan tetap diupayakan menjadi sumber utama karena berdasarkan data selama 5 (lima) tahun terakhir ini, sumbangan PAD terhadap total pendapatan daerah di Provinsi Jawa Timur, rata-rata 59,6%

Permasalahan Dalam Pengelolaan Anggaran di Provinsi Jawa Timur
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur memiliki penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannya terhadap APBD, namun provinsi tetap mengalami kesulitan membiayai tambahan kebutuhan pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan menetapkan tarif pajaknya. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bersifat closed list system yaitu tarif pajak ditetapkan seragam untuk provinsi serta tidak boleh memungut pajak di luar yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dengan demikian kewenangan perpajakan yang ada saat ini tidak memberikan peluang bagi daerah untuk menyesuaikan pendapatannya bila dana transfer tidak berdampak terhadap makin besarnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang semakin baik, yang tentunya tidak selamanya dapat dipenuhi dari dana transfer. Masyarakat akan selalu menuntut pelayanan lebih baik sesuai pajak yang dibayarnya. Untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya, sekaligus untuk meningkatkan akuntabilitas daerah perlu upaya penguatan perpajakan daerah. Upaya penguatan tersebut perlu dikaji terus-menerus agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip perpajakan, sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan  pemerintah dan pelayanan kepada masayarakat.
Selain itu, kewenangan yang semakin besar dari legislatif dalam proses penetapan APBD bersama eksekutif sering membatasi keleluasaan gerak eksekutif  untuk menetapkan prioritas-prioritas pengeluaran yang menjadi agenda pembangunan pihak eksekutif. Pembahasan dalam penetapan APBD di lembaga legislatif cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item), dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak lembaga legislatif. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional di samping kontra-produktif. Ketika satu pos anggaran yang berisi program prioritas dari eksekutif ditolak oleh legislatif, maka hal ini membatasi kreativitas dan ruang gerak eksekutif. Pada kondisi seperti ini, dapat diartikan, ruang gerak fiskal bagi eksekutif menjadi terbatas, atau hal ini dapat dipahami sebagai kondisi menurunnya kapabilitas penerimaan daerah yang dapat dikelola oleh pihak eksekutif dengan segala kewenangannya. Paradigma ini haruslah diubah, sehingga diskusi antara legislatif dan eksekutif dalam penetapan anggaran nantinya lebih berfokus pada kebijakan dan prioritas pengeluaran.
Ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya dapat meningkat dalam jumlah terbatas, sedangkan dana perimbangan dari pemerintah pusat bersifat given, maka disisi lain kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur serta layanan dasar lainnya sesuai amanat undang-undang tidak dapat dihindari, maka upaya meningkatkan ruang gerak fiskal menjadi sangat penting artinya. Dalam konteks di daerah, peningkatan ruang gerak fiskal ini salah satunya dapat dicapai melalui harmonisasi hubungan transaksional antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD. Peningkatan ruang gerak fiskal ini tercapai jika keleluasaan eksekutif untuk menentukan anggaran-anggaran yang menjadi prioritas kebutuhan pembangunan yang disusun berdasarkan visi, misi dan program Kepala Daerah semakin meningkat. Meski legislatif memiliki wewenang yang besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara pihak eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD terlalu berfokus pada hal-hal yang detail, sehingga cenderung mengorbankan diskusi mengenai kebijakan.
Permasalahan yang terkait aspek perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah bagaimana melakukan sinkronisasi antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Apa yang sudah ditetapkan dalam kebijakan Pemerintah Daerah harus sama dengan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya pada saat dilakukan penganggaran, apa yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran harus diterjemahkan sama dalam dokumen penganggaran, agar dapat dilihat hubungan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran. Permasalahan untuk melakukan sinkronisasi ini sering terkendala akibat ketidak konsistenan peraturan yang mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJMD cukup ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Permasalahan lain yang juga menyangkut aspek perencanaan dan penganggaran adalah masih banyaknya APBD yang belum ditetapkan, meski tahun anggaran telah berjalan cukup lama. Akibatnya pelayanan kepada masyarakat menjadi terhambat sebagai akibat tidak dilaksanakannya program dan kegiatan yang menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Implikasi permasalahan yang timbul sebagai akibat keterlambatan penganggaran adalah keterbatasan pelaksanaan anggaran. Karena belum ditetapkannya APBD, maka dokumen pelaksanaan anggaran akan menjadi terhambat.
Kesimpulan
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan  Keuangan Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil, Dana Bagi Hasil terbagi menjadi Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA). Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.
Pemerintah Daerah provinsi memiliki penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannya terhadap APBD, namun provinsi tetap mengalami kesulitan membiayai tambahan kebutuhan pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan menetapkan tarif pajaknya. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bersifat closed list system yaitu tarif pajak ditetapkan seragam untuk provinsi serta tidak boleh memungut pajak di luar yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Terkait permasalahan tersebut Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan sasaran tekait kebijakan pendapatan daerah sebagai berikut:
1.        Meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah;
2.        Makin optimalnya peningkatan pendapatan  daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli daerah dan dana Perimbangan;
3.        Meningkatnya efisiensi pengelolaan APBD dari sisi pendapatan;
4.        Meningkatnya ruang gerak fiskal Kepala daerah / Wakil kepala daerah untuk mengatur alokasi belanja dari pendapatan daerah yang ada.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur dilaksanakan dengan arah kebijakan, sebagai berikut:
1.        Optimalisasi usaha intensifikasi dan ektensifikasi pajak dan retribusi daerah dalam rangka taxing power di daerah;
2.        Menghapus pajak kendaraan bermotor roda dua yang tahun pembuatannnhya lama, dan menaikan pajak kendaraan bermotor roda empat mewah;
3.        Mendorong pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan melalui Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
4.        Mengembangkan pendapatan daerah yang bersifat netral, dengan meminimalkan timbulnya dampak distortif atas pengenaan pajak atau retribusi daerah terhadap perekonomian;
5.        Meningkatkan kontribusi BUMD dengan upaya pengelolaan BUMD yang lebih efisien dan efektif;
6.        Penghapusan retribusi yang membebani masyarakat kecil;
7.        Menciptakan hubungan sinergis antara eksekutif dan legislatif dalam penetapan APBD berlandaskan pemahaman bersama, bahwa hubungan DPRD dan Gubernur/Wakil Gubernur tidak semata atas dasar sistem peraturan perundangan yang berlaku, tapi juga konsensus-konsensus etis, dan nilai-nilai budaya lokal yang didasarkan pada keadilan, kebebasan dan kebaikan bersama, meletakkan kepentingan publik di atas kelompok/politik, birokrasi dan pribadi serta mengedepankan prinsip-prinsip good governance.
Dengan sasaran dan arah kebijakan terkait pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Timur 2009 -2014, diharapkan sumber-sumber pendapatan untuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat dimaksimalkan untuk membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan visi misi yang telah ditetapkan.










Daftar Pustaka 
Ahmad Yani. 2004. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Brian C. Smith. 1985. Decentralization The Territorial Dimension of The State, Jakarta, 2012 Telah dialih bahasakan oleh MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).
Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah)  Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2014.

No comments:

Post a Comment