Thursday 28 August 2014

ANALISA PERUMUSAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PARKIR DI SIDOARJO



ANALISA PERUMUSAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2012
TENTANG PENYELENGGARAAN PARKIR DI SIDOARJO

Pendahuluan
Desentralisasi pemerintahan, baik di negara federal maupun di negara kesatuan, menimbulkan beberapa masalah yang paling sulit dalam bidang keuangan publik. Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah memerlukan pengeluaran oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah tersebut harus mengamankan pendapatannya untuk membiayai pengeluaran. Beberapa masalah yang sering kali timbul adalah: sumber pendapatan apa yang terbaik, seberapa besar dan luas cakupannya, ketergantungan terhadap pemerintahan yang lebih tinggi, apakah ketergantungan tersebut mengurangi otonomi Pemerintahan Daerah dan melemahkan akuntabilitas dan resposibilitas pemilih dan masyarakat, efek inflasi apa yang berpengaruh terhadap pengeluaran daerah, mengapa beberapa pemerintah pusat menolak pelimpahan pendapatan ke pemerintah daerah dan sebagainya.
Masalah keuangan Pemerintah Daerah pasti erat hubungannya dengan sebagian besar keputusan-keputusan lain yang harus dibuat tentang desentralisasi di negara-negara kontemporer. Terutama hubungan antara pembiayaan pemerintah daerah dengan hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hubungan antara pemerintah dengan keuangan publik yang terdesentralisasi hanya dapat dipisahkan secara artificial. Kontroversi yang terjadi selama bertahun-tahun adalah mengenai pengaruh ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana dari pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah merupakan desentralisasi kewenangan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang lebih berkualitas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip money follow function, maka pelaksanaan desentralisasi kewenangan tersebut harus diikuti dengan desentralisasi fiskal. Sekalipun demikian, derajat desentralisasi kewenangan dan derajat desentralisasi fiskal tidak selalu berada pada tingkat yang sama sebab hal tersebut sangat bergantung pada kondisi suatu negara. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa derajat desentralisasi fiskal sangat tergantung pada kebutuhan terhadap pelaksanaan desentralisasi kewenangan. Dengan kata lain bahwa efektifitas pelaksanaan desentralisasi kewenangan sangat tergantung pada dukungan yang diberikan melalui desentralisasi fiskal.
Kondisi tersebut menyebabkan format dan pola desentralisasi fiskal sangat bervariasi dengan dampak yang sangat bervariasi pula, “walaupun desentralisasi diterapkan dengan format yang sama, dapat saja memberikan hasil berbeda, tergantung pada besar kecilnya perbedaan kondisi di antara negara-negara tersebut “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000). Artinya idealisasi pola desentralisasi fiskal sangat terkait dengan berbagai permasalahan negara, misalnya masalah pemerintahan, kewenangan, politik, sosial maupun masalah budaya. Dengan demikian penetapan format dan pola desentralisasi fiskal harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Terdapat tiga bentuk pokok desentralisasi fiskal yang ditinjau dari  derajat kemandirian pengambilan keputusan, yaitu
“ Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggungjawab yang berbeda dalam lingkungan Pemerintah Pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke Pemerintah Daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000)
Dalam pelaksanaan ketiga variasi bentuk desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan dalam tingkat yang berbeda atau dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari tingkat yang paling sentralistis mengarah pada tingkat desentralisasi mengarah pada tingkat desentralisasi yang dianggap paling ideal. Dinyatakan pula bahwa desentralisasi fiskal terutama mencakup beberapa hal, yaitu:
a.         Self Financing atau cost recovery dalam pelayanan publik  terutama melalui pengenaan retribusi daerah;
b.        Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c.         Peningkatan PAD melalui penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama pajak properti (PBB), Pajak Penjualan (PPn), Pajak Penghasilan Perorangan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih besar pada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi daerah dalam pemenuhan PAD, namun hal tersebut belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari konsep implementasi desentralisasi fiskal. Kurangnya dukungan tersebut Nampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar Pemerintah Daerah untuk membiayai kegiatan pemerintahan, terlebih lagi untuk kegiatan pembangunan, sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak dapat ditingkatkan secara optimal sesuai tuntutan semangat otonomi. Fenomena ini merupakan hal yang wajar sebab “ jika suatu negara mendestralisasikan tanggungjawab pengeluaran yang lebih besar dibandingkan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun  “ (Richard M. Bird & Francois Vaillancourt, 2000).
Otonomi Daerah merupakan perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, merubah tatanan kehidupan ekonomi masyarakat yang masih rendah ke arah yang lebih baik, serta mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Undang – Undang  Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Sebagaimana konsep dasar dari otonomi daerah adalah pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing–masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan.  Maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggerakan segala kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan serta mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang dapat menjadi sumber pembiayaan di daerah. Suatu daerah otonom akan mampu berotonomi apabila daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah Pusat mempunyai porsi semakin kecil. Sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu kemandirian atau kemampuan keuangan daerah dicerminkan dari  adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah dijadikan salah satu tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Era otonomi daerah telah terjadi pergeseran peran pelaku perekonomian nasional, meskipun pada intinya tetap bertumpu pada; pemerintah, swasta, dan koperasi. Pemerintah Daerah menjadi pelaku utama dalam perekonomian, karena dituntut mampu menggali dan mencari dana bagi pembiayaan pembangunan sendiri. Pemerintah Daerah dituntut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dengan memanfaatkan peluang yang ada; baik itu dari sumber sendiri (daerah), nasional, serta internasional. Sebaliknya setiap peristiwa ataupun kejadian di dunia internasional dapat berdampak langsung kepada penyelenggaraan di daerah, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan. Dalam kerangka pembangunan ekonomi seperti itulah peran ekonomi Pemerintah Daerah diletakkan.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 6 menyebutkan bahwa PAD bersumber dari :
1.      Pajak Daerah
2.      Retribusi Daerah
3.      Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
4.      Lain-lain PAD yang sah.
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagai pelaku ekonomi utama di daerah, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencoba menerapkan kebijakan parkir berlangganan untuk meningkatkan PAD dengan mewajibkan pemilik kendaraan yang berplat W Sidoarjo membayar retribusi parkir.
Parkir berlangganan telah memiliki payung hukum sejak tahun 2006, atau sejak Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 namun, menurut informasi dari Dinas Perhubungan Sidoarjo, pelaksanan parkir berlangganan mulai diselenggarakan secara optimal sejak tahun 2009 karena upaya babat alas-babat alas yang menemui kendala karena solidnya sistem pemilik lahan yang sudah sejak lama berlangsung. Berbagai permasalahan yang terdapat selama lebih dari 3 tahun dari lama pelaksanaan parkir berlangganan diakui oleh pihak Dinas Perhubungan menghadapi banyak kendala, baik itu mengenai pungutan   liar oleh juru parkir maupun tuntutan dari masyarakat agar tidak diwajibkan dalam membayar dalam arti lain, masyarakat diperbolehkan memilih membayar retribusi parkir secara berlangganan atau secara non berlangganan (konvensional).
                  Berbagai penjelasan dikemukakan oleh masing-masing stakeholder dan semua stakeholder sepakat bahwa perumusan parkir berlangganan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yakni PAD yang besar bagi Kabupaten Sidoarjo yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan daerah. Aspek-aspek lain seperti aspek politik  ditengarai masih ada, misalnya dengan memanfaatkan momentum penolakan beberapa fraksi di DPRD terhadap parkir berlangganan yang getol menolak pelaksanaan parkir berlangganan hanya ketika berada di depan media sebagai bentuk pencitraan terhadap partai mereka, juga mengenai pembangunan yang bisa dilakukan Pemerintah Kabupaten dengan peningkatan PAD dari sektor Retribusi Daerah.
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan Peraturan Daerah tentang retribusi tersebut tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur tentang ketentuan mengenai:
a.       Nama,obyek, dan Subyek retribusi;
b.      Golongan retribusi;
c.       Cara mengukur tingkat pengguna jasa yang bersangkutan;
d.      Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
e.       Struktur dan besarnya tarif retribusi;
f.       Wilayah pemungutan;
g.      Tata cara pemungutan;
h.      Sanksi administrrasi;
i.        Tatacara penagihan;
j.        Tanggal mulai berlakunya.
Pemungutan retribusi parkir di Sidoarjo menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa, Pemungutan retribusi pelayanan parkir dapat dilakukan :
a.       Secara langsung, dan
b.      Secara berlangganan.
Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara langsung sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) huruf a dipungut oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, pemungutan retribusi baik parkir tepi jalan umum, parkir ditempat khusus, maupun parkir insidentil dilaksanakan oleh petugas parkir dengan menggunakan bukti pembayaran berupa media pungut. Media Pungut hanya berlaku satu kali parkir dan sesudahnya tidak dapat dipakai kembali.
Sedangkan Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara berlanggganan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Resort Sidoarjo, adapun pemungutan retribusi dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang ber nopol W Sidoarjo dan terdaftar pada Kantor Bersama SAMSAT Sidoarjo pada saat perpanjangan STNK/BBNKB. Setiap pemilik kendaraan bermotor yang telah membayar retribusi parkir berlangganan diberi tanda bukti pelunasan yang telah diporporasi dan bernomor seri serta stiker. Retribusi parkir  berlangganan berlaku untuk pelayanan parkir tepi jalan umum dan parkir di tempat khusus parkir milik Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Pada awalnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memandang bahwa sektor parkir memiliki potensi menjadi sumber dana yang bagus apabila dikelola sendiri oleh pemerintah sehingga terdapat dua keuntungan yang dapat dirasakan sekaligus, yakni pendapatan bagi Kabupaten Sidoarjo yang meningkat serta penataan parkir yang lebih rapi. Pada awal tahun 2006  Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Parkir dan mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah  yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo sebagai landasan hukum untuk menetapkan besarnya retribusi dan pelaksanaannya di lapangan. Perumusan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2006 ini sempat ditentang oleh juru parkir yang bertugas di wilayah Sidoarjo karena akan mematikan pekerjaan mereka, paling tidak penghasilan mereka akan berkurang daripada saat pelaksanaan parkir non-berlangganan (konvensional). Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan.
Kebijakan publik dapat dipahami sebagai sarana untuk perebutan sumber-sumber kekuasaan (politik, ekonomi serta berbagai sumber lainnya yang bisa diperebutkan dalam perumusan kebijakan). Kebijakan pembayaran retribusi parkir secara berlangganan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo merupakan sarana perebutan sumber-sumber kekuasaan tersebut antar masing-masing stakeholder. Stakeholder yang terkait dalam parkir berlangganan antara lain adalah:
1.        Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sebagai lembaga pembuat kebijakan parkir berlangganan dan mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo yang bertujuan untuk peningkatan  PAD dari sektor retribusi.
2.        DPRD Kabupaten Sidoarjo
DPRD  Kabupaten Sidoarjo sebagai lembaga pembuat Peraturan Daerah untuk dijadikan landasan hukum untuk menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kabupaten Sidoarjo.
3.        Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo
SKPD ini bertugas sebagai pelaksana dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Parkir berlangganan serta melakukan pengawasan terhadap juru parkir yang nakal atau curang, serta berwenang untuk menindak setiap pelanggaran yang ada, dan Dinas Perhubungan membuat karcis parkir/ stiker parkir berlangganan sebagai tanda parkir.
4.        Masyarakat Sidoarjo
Masyarakat sebagai pengguna jasa atau yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten, serta memenuhi kewajiban yang timbul akibat kebijakan tersebut, sebagai contoh membayar retribusi parkir setiap tahun bagi pemilik kendaraan ber nopol W Sidoarjo.
5.        Juru parkir kawasan parkir berlangganan.
Petugas yang melakukan teknis pelaksanaan parkir sebagaimana perintah dalam Peraturan Daerah yang bertugas untuk menjaga, mengatur dan menata parkir yang ada di Kabupaten Sidoarjo.
6.        Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) Sidoarjo
Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran retribusi parkir berlangganan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor 1 tahun.
7.        Polres Sidoarjo
Lembaga yang bertugas menindak, menyelidiki, menyidik secara ranah hukum  apabila terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo.
8.        DPPKAD (Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Kabupaten Sidoarjo
Instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan sebagai pengelola hasil dari penarikan retribusi parkir berlangganan. Serta melaporkan kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo hasil dari retribusi yang dipungut dari masyarakat.
Pelaksanaan parkir berlangganan ini memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan data dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Sidoarjo pendapatan dari retribusi parkir berlangganan 3 tahun dari 2010 s/d 2012 cukup besar yaitu pada tahun 2010 mencapai Rp.18.000.000.000, tahun  2011 mencapai Rp. 20.258.103.000 sedangkan dan pada tahun 2012 sebesar 20.754.231.000.
1.        Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mendapatkan 82% dari Retribusi parkir .
2.        Polres Sidoarjo mendapatkan 5% dari Retribusi parkir.
3.        Propinsi Jawa Timur Mendapatkan 13% dari Retribusi parkir.

Faktor-faktor penghambat pelaksanaan parkir berlangganan
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah Kabupaten Sidoarjo pasti tidak lepas dari permasalahan. Dari permasalahan tersebut terjadi karena adanya beberapa faktor. Adapun faktor penghambat pelaksanaan parkir berlangganan diantaranya:
1.         Kenakalan para jukir yang menarik pungutan liar kepada pengguna retribusi parkir berlangganan;
2.         Lemahnya pengawasan terhadap jukir, karena petugas pengawas terbatas;
3.         Adanya ancaman dari juru parkir yang mau ditindak tegas oleh petugas dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo
4.         Gaji  pengawas yang kecil, yaitu sebesar Rp.1.000.000.-/Bulan.
5.         Kurangnya pro aktif dan antusias dari masyarakat pengguna parkir berlangganan untuk lebih taat kepada peraturan yang sudah tertulis tentang pelaksanaan retribusi parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo,
6.         Sedikitnya lahan parkir berlangganan yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, yang tidak menjangkau pada daerah pelosok atau perbatasan;
7.         Tidak disebutkannya perlindungan hukum dan hak yang tertulis di dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir Berlangganan untuk masyarakat.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran parkir di Kabupaten Sidoarjo belum berjalan secara efektif dan optimal selama pelaksanaannya di lapangan. Diharapkan kedepannya, masing-masing pihak dapat saling memahami peranan dan tugasnya masing. Bagaimana aktor-aktor pembuat kebijakan bisa membenahi kebijakan-kebijakan yang telah ada, dan sebagai pelaksana di lapangan juru parkir  dan masyarakat dapat mendukung kebijakan tersebut dengan mentaati peraturan yang telah ditetapkan.
Selain Faktor Penghambat pelaksanaan parkir berlangganan, adapula permasalahan berhubungan dengan keluhan dari Stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan parkir berlangganan, antara lain :
1.        Masyarakat pengguna jasa parkir
Kebanyakan masyarakat Sidoarjo tidak setuju dengan adanya parkir berlangganan ini, karena masyarakat sering dirugikan. Mulai banyaknya pungutan liar yag dilakukan oleh juru parkir resmi, keamanan kendaraan tidak terjamin serta kurangnya titik parkir.
2.        Jukir
Sering adanya laporan tentang pungutan liar yang dilakukan oleh jukir tidak terlepas dari keluhan para jukir. Antara lain Seringnya gaji yang telat, Gaji jukir yang minim yaitu sebesar Rp. 700.000,-/bulan, hal ini jauh dari KHL yang ditetapkan oleh Gubernur Jatim, serta mahalnya karcis yang harus dibeli oleh jukir di Dinas Perhubungan, yaitu Rp. 100,000,- /bendel untuk Motor dan Rp. 150,000,-/bendel untuk Mobil, sehingga juru parkir tidak punya untung dalam penjualan karcis..Selain itu para jukir harus setor kepada pemilik lahan.
3.        Pengawas Dinas Perhubungan
Tidak hanya masyarakat dan jukir yang mempunyai keluhan, begitupun juga petugas pengawas parkir berlanggganan pun juga mempunyai kendala, yakni minimnya gaji petugas pengawas, kurangnya fasilitas tempat yang digunakan untuk melakukan pengawasan, mulai dari tidak adanya toilet, tendanya kurang layak, karena kalau hujan pasti petugas terkena percikan air hujan, selain itu juga sering bingung dengan juru parkir resmi, karena juru parkir resmi seringkali menyerahkan rompinya ke juru parkir tidak resmi.

Kajian Teori
Kajian terhadap perumusan kebijakan publik dapat menggunakan teori elit dan model rasional - komprehensif. Model elit dalam formulasi kebijakan berangkat dari teori yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan refleksi dari kepentingan para elit pembuat kebijakan. Menurut model elit bahwa kebijakan publik yang mencerminkan     nilai-nilai kepentingan rakyat hanyalah mitos dan bukan merupakan realitas kehidupan masyarakat demokrasi. Thomas R. Dye mengatakan bahwa masyarakat memiliki perilaku apatis dan tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kebijakan publik, sehingga yang terjadi adalah opini-opini yang dikeluarkan oleh para elit pembuat kebijakan yang mendorong masyarakat beropini mengenai permasalahan dan kebijakan yang diperlukan yang berarti para elit membentuk opini masyarakat dan bukan masyarakat yang membentuk opini elit pembuat kebijakan. Semakin tinggi kadar elit dalam suatu kebijakan semakin besar pula keresahan masyarakat terhadap suatu kebijakan.
            Model yang kedua adalah model rasional - komprehensif, yang mengggambarkan bahwa para elit pembuat kebijakan cenderung memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Semakin besar dampak kerugian dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka kecil kemungkinan kebijakan tersebut akan diundangkan. Salah satu elemen dalam model perumusan kebijakan rasional - komprehensif ini adalah mengenai kalkulasi untung rugi penerapan suatu kebijakan serta pemilihan terhadap kebijakan yang dirasa memberikan dampak keuntungan lebih besar daripada alternatif kebijakan lainnya.

Kesimpulan
Dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo merupakan tindaklanjut dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Secara politik ada beberapa pihak yang mempunyai kepentingan antara lain:
1.        Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam hal ini Dinas Perhubungan yang mendorong rumusan parkir berlangganan tetap dilaksanakan, karena selama ini sektor parkir berlangganan memberikan kontribusi 26 % dari penerimaan PAD sektor retribusi, selain memberikan kontribusi yang besar dibandinngkan dengan parkir non berlangganan juga untuk mengatur ketertiban, keamanan dan kerapian kendaraan bermotor yang diparkir di tepi jalan umum.
2.        DPRD Kabupaten Sidoarjo, sebagai lembaga representatif bagi masyarakat Sidoarjo memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanan parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo apakah sudah sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012.  Lembaga ini juga menampung segala bentuk keluhan, kritik dan saran dari masyarakat pengguna jasa parkir berlangganan, sehingga dari keluhan-keluhan ini, DPRD bisa mengambil tindakan-tindakan yang dirasa perlu untuk keberlangsungan implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2012.
3.        Provinsi Jawa Timur dalam hal ini Dinas Pendapatan, merupakan SKPD teknis yang diberi kewenangan Gubernur untuk mengadakan MoU bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Polres Sidoarjo terkait pelaksanan parkir berlangganan di kab/kota, sehingga implementasi parkir berlangganan diusahakan tetap berjalan  secara berkelanjutan. Parkir berlangganan ini memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi sebesar 13%, kontribusi ini diberikan atas pemberian pelayanan pembayaran di Samsat Sidoarjo serta penggunaan data base kendaraan bermotor yang ada di Samsat Sidoarjo.
4.        Kepolisian Resort Sidoarjo sebagai unsur pengawal kebijakan parkir berlangganan, sehingga pelaksanaan di lapangan berjalan dengan lancar, kepentingan untuk mempertahankan implementasi parkir berlangganan karena adanya kontribusi yang diberikan sebesar 5% yang merupakan bagian operasional keamanan parkir berlangganan di wilayah hukum Sidoarjo,
5.        Masyarakat terpolarisasi menjadi dua ada yang menolak  rumusan kebijakan ini serta ada yang menerima. Masyarakat yang menolak lebih cenderung karena adanya keluhan terkait pelaksanaan teknis di lapangan, satu sisi masyarakat sudah membayar parkir berlangganan di Samsat Sidoarjo bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor 1 tahun, tetapi masyarakat juga masih ditarik pungutan parkir di area parkir berlangganan oleh para juru parkir
6.        Juru parkir lebih banyak menolak kebijakan parkir berlangganan, mereka tidak mau disalahkan terkait komplain dan tuntutan masyarakat mengenai pelaksanan parkir berlangganan. Para juru parkir menilai bahwa mereka tidak memaksa bagi pengguna parkir di kawasan berlangganan untuk membayar akan tetapi apabila ada yang memberi mereka menerima. Para juru parkir sepakat bahwa kebijakan parkir berlangganan merugikan mereka, alasannya jelas pendapatan mereka turun. Sebulan para juru parkir ini digaji Rp. 700.000,-, namun mereka masih harus membaginya dengan pemilik lahan/bos mereka. Selain itu gaji juru parkir sering dipotong oleh oknum Dinas Perhubungan.Dalam perumusan kebijakan parkir berlangganan ini para juru parkir tidak pernah diundang rapat, yang diundang hanya pemilik lahan parkir atau bos mereka.
7.        Para pengusaha parkir cenderung dikalahkan kepentingannya dengan pelaksanaan kebijakan parkir berlangganan. Pelaksanaan parkir berlangganan yang diatur dan dikelola oleh pemerintah berarti mematikan sumber pendapatan para pengusaha parkir.

Saran
Kebijakan pelaksanaan parkir berlangganan merupakan perumusan semua stakeholder yang terkait baik dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, DPRD Kabupaten Sidoarjo, Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Timur maupun unsur kepolisian serta masyarakat sebagai obyek kebijakan. Kebijakan yang sudah baik ini hendaknya terus dijalankan dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan teknis di lapangan. Besarnya potensi PAD dari retribusi parkir berlangganan ini merupakan modal untuk membangun infrastruktur serta pelayanan publik kepada masyarakat Sidoarjo. Hal-hal yang perlu di benahi dalam perumusan kebijakan parkir berlangganan antara lain:
1.        Pemerintah kabupaten Sidoarjo selaku pembuat kebijakan parkir berlangganan yang mempunyai kewenangan dibidang pelayanan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, perlu untuk melakukan pembenahan dalam sistem parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo. Khususnya dalam pelayanan yang selama ini dikeluhkan para konsumen (masyarakat). Diharapkan Dinas Perhubungan sebagai perwakilan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam pelaksanaan parkir berlangganan melakukan tindakan sebagai berikut:
a.         Menindak tegas terhadap jukir yang nakal,
b.         Melakukan evaluasi dalam perekrutan jukir,
c.         Memberikan pengawasan dan pengecekan yang lebih ketat terhadap petugas jukir resmi,
d.        Mengkaji ulang  gaji para jukir,
e.         Memberikan fasilitas yang layak kepada pengawas,
f.          Memperluas kawasan parkir berlangganan, khususnya di daerah perbatasan,
g.         Memperbaiki sistem perparkiran yang selama ini jukir tidak memberikan bukti karcis resmi bagi pengendara motor yang berlangganan, supaya memberikan bukti karcis yang bertujuan untuk bukti apabila terjadi kehilangan kendaraan bermotor,
h.         Secara periodik melakukan sosialisasi ke setiap kelurahan/desa yang bertujuan supaya masyarakat antusias dan mendukung program parkir berlangganan.
2.        Dalam penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya Pemerintah Kabupaten membuat suatu tim untuk menangani keluhan konsumen dalam bentuk badan pengaduan masyarakat. Upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan upaya-upaya hukum, mengingat upaya hukum memerlukan proses yang ribet, biaya mahal, tenaga dan waktu yang cukup lama. Masyarakat yang merasa dirugikan karena pungutan liat terhadap parkir berlangganan hendaknya melapor kepada Dinas Perhubungan, sehingga ada fungsi kontrol untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat terhadap juru parkir yang nakal.
3.        Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, DPRD Kabupaten Sidoarjo, Kepolisian Resort Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam hal ini Dinas Pendapatan Provinsi harus terus aktif mengawal kebijakan parkir berlangganan ini, jika semua komponen ini telah berjalan dalam hal pengawasan sesuai tugas dan fungsinya, dapat dipastikan keluhan-keluhan masyarakat terhadap juru parkir yang nakal dapat segera diselesaikan dengan baik.
Pengawasan komprehensif semua komponen stakeholder terhadap rumusan pelaksanan parkir berlangganan diharapkan memberikan keuntungan bagi semua pihak karena besarnya PAD suatu daerah akan kembali lagi kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan publik.
Daftar Pustaka

Ahmad Yani. 2004. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Brian C. Smith. 1985. Decentralization The Territorial Dimension of The State, Jakarta, 2012 telah dialih bahasakan oleh MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).
Budiarjo, Miriam, (1991). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiwinarno, (2008). Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dunn, William, (1998). Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: edisi II Gajah Mada University Press.
Nugroho, Rian (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo.
Wibawa, Samudra, (2011). Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Parkir
Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Kabupaten Sidoarjo



No comments:

Post a Comment